Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Trotoar: Anak Tiri Ruang Publik Jakarta

30 September 2015   09:30 Diperbarui: 30 September 2015   17:38 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Drastis

Aneka persoalan ini menjadi tanda bahwa populasi yang tinggi tak ditopang oleh daya dukung lingkungan yang baik. Salah satu ruang publik yang terdampak adalah trotoar. Tengok saja situsi trotoar yang ada di ibu kota. Lihat saja seperti apa nasibnya. Ruang publik yang satu ini sungguh-sungguh menjadi anak tiri. Tak hanya terpinggirkan dan tak dianggap, keberadaannya pun diinjak-injak. Persis seperti anak tiri yang diperlakukan dengan kejam.

Situasi ini tak lepas dari kondisi Jakarta sebagaimana disinggung di atas. Penyebab pun bertali temali antara lain ketidakseimbangan volume kendaraan dan ketersediaan jalan.  Data yang dikeluarkan Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya menyebutkan jumlah kendaraan bermotor di Jakarta dan sekitarnya bertambah sebanyak 5.500 hingga 6.000 unit kendaraan per hari.

Jumlah tersebut didominasi oleh sepeda motor yang mencapai 4.000 hingga 4.500 unit per hari. Sementara kendaraan roda empat sebanyak 1.600 unit per hari. Meski tak didasari analisis mendalam, namun bisa diduga pertambahan jumlah sepeda motor tak lepas dari alasan finansial (kesanggupan membeli dan merawat) juga terutama sifat kendaraan yang mudah bergerak dan bisa dipakai menerobos kemacetan ibu kota.

Peningkatan kendaraan berlangsung terus. Jumlah unit kendaraan bermotor di Jakarta hingga akhir 2014 sebanyak 17.523.967 unit yang didominasi oleh kendaraan roda dua dengan jumlah 13.084.372 unit. Rerata pertumbuhan kendaraan mencapai 11 atau 12 persen per tahun. Sementara panjang jalan yang ada yakni 7.650 Km dengan luas 40,1 Km2 atau 6,2% dari luas wilayah DKI (data tahun 2011) dan angka pertumbuhan jalan hanya sekitar 0.01 % per tahun.  Maka jelas, pertumbuhan kendaraan  yang tak dibarengi dengan pertambahan panjang jalan akan menyebabkan kemacetan.

Dengan perhitungan demikian maka tengok saja apa yang terjadi di ruas-ruas jalan utama di ibu kota, terlebih pada jam-jam sibuk. Jalanan macet, dan tak sedikit pengendara sepeda motor yang memilih cara cepat dengan menerobos trotoar.


Trotoar pun berubah menjadi perluasan jalan raya. Suasana pedestrian menjadi tak nyaman dan  para pejalan kaki semakin tersudut dan hak-haknya pun tercabut. Munculnya sejumlah gerakan seperti dari Koalisi Pejalan Kaki lewat aksi ‘Menyelamatkan Trotoar untuk Pejalan Kaki’ menjadi antitesis dari keprihatian atas situasi miris trotoar di ibu kota.

Tak Steril

Situasi ini semakin diperparah dengan kehadiran PKL (Pedagang Kaki Lima) yang biasa berjualan dengan mamakai badan trotoar.  Di Jakarta sebagian besar PKL masih belum terorganisir sehingga lebih memilih trotoar sebagai tempat berjualan.

Belum lagi kehadiran para tukang ojek yang kerap menjadikan trotoar sebagai tempat berlabuh atau ‘mangkal’. Lihat saja suasana pedestrian di kawasan Jakarta Pusat seperti di kawasan Thamrin, Kebon Sirih dan Sudirman. Sejumlah titik di ruas-ruas jalan tersebut dipadati PKL dan menjadi destinasi para tukang ojek, terlebih yang berdekatan dengan halte bus dan persimpangan.

Maraknya layanan ojek motor berbasis aplikasi tak hanya menawarkan kemudahan transportasi bagi masyarakat ibu kota. Kehadiran moda transportasi tersebut pun menimbulkan persoalan karena tak memiliki tempat khusus sebagai pangkalan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun