Fenomena wisuda dari jenjang TK hingga SMA kini tak sekadar seremoni pelepasan siswa, tetapi berubah menjadi ajang pamer gaya dan status sosial. Toga, kebaya mewah, studio foto mahal, bahkan selempang bertuliskan "MIPA" yang seolah menyerupai gelar akademik seperti "S.MIPA", menjadi pemandangan yang lazim di media sosial. Padahal, mereka belum pernah kuliah, belum merasakan menjadi mahasiswa, tetapi tampil seolah baru menyelesaikan program sarjana. Lalu, apakah fenomena ini sah secara akademik? Apakah penggunaan atribut toga oleh siswa SMA dibenarkan?
Secara aturan, tidak ada kewajiban bagi siswa SMA untuk melaksanakan wisuda apalagi menggunakan toga. Merujuk pada Permendikbud No. 23 Tahun 2016 tentang Standar Penilaian, serta regulasi terbaru dari Kemendikbudristek, tidak ditemukan pasal atau ketentuan yang mewajibkan sekolah menggelar wisuda bagi siswa di jenjang pendidikan dasar maupun menengah. Artinya, kegiatan wisuda adalah kegiatan pilihan, bukan bagian dari proses wajib kelulusan. Bahkan, beberapa pemerintah daerah mulai melarang wisuda berbayar di sekolah karena dianggap membebani orang tua dan keluar dari esensi pendidikan.
Namun yang justru mengkhawatirkan adalah tren berlebihan di kalangan pelajar dan orang tua yang menjadikan wisuda SMA sebagai ajang gaya-gayaan. Tak sedikit yang memaksakan penggunaan toga, selempang palsu berembel-embel akademik, bahkan gelar jurusan seperti "MIPA", hanya agar terlihat keren dan mapan secara sosial. Toga dipakai tanpa makna, hanya demi konten.
Padahal, toga adalah simbol akademik yang sakral. Ia bukan sekadar pakaian seragam kelulusan, melainkan lambang dari pencapaian ilmiah dan kerja keras bertahun-tahun dalam dunia pendidikan tinggi. Toga digunakan dalam upacara wisuda sebagai lambang bahwa seseorang telah menyelesaikan satu jenjang akademik secara sah dan formal. Dalam sejarahnya, toga adalah warisan dari tradisi pendidikan klasik, yang digunakan untuk menandai kemenangan intelektual dan integritas akademik.
Dalam tradisi akademik, penggunaan toga hanya diperuntukkan bagi mereka yang telah melewati fase-fase kritis dan kompleks dalam pendidikan tinggi. Pemakaian toga bukan hak semua orang. Ia adalah simbol pengakuan resmi dari lembaga pendidikan tinggi, diberikan setelah seseorang menjalani proses panjang.
Seorang mahasiswa yang layak mengenakan toga adalah mereka yang telah:
- Menyelesaikan kuliah teori dan praktikum dari semester ke semester.
- Mengikuti kegiatan praktikum di laboratorium dan membuat laporan praktikum yang harus diuji kelayakannya.
- Menyusun skripsi (atau tugas akhir setara), melewati seminar proposal, sidang skripsi, revisi berulang kali dari dosen pembimbing maupun penguji.
- Melaksanakan magang, menyusun laporan magang, dan  menjalani sidang magang untuk menguji pengalaman kerjanya secara akademik.
- Bagi mahasiswa program S2, diwajibkan untuk menulis dan mempublikasikan jurnal ilmiah, baik di jurnal nasional terakreditasi atau jurnal internasional.
Semua proses itu bukan hal mudah. Diperlukan disiplin, ketahanan mental, kecerdasan, dan kerja keras yang konsisten bertahun-tahun. Maka ketika seseorang baru lulus SMA, belum menjalani semua proses itu, tetapi sudah mengenakan toga dan bergaya seolah sarjana, tentu menjadi bentuk pelecehan simbolik terhadap dunia akademik. Menggunakan toga tanpa menjalani proses tersebut ibarat memakai medali tanpa pernah ikut bertanding. Ini bukan hanya soal estetika atau gaya, tetapi menyangkut etika, integritas, dan penghormatan terhadap proses ilmiah.
Karenanya, penggunaan toga oleh siswa SMA atau TK tanpa dasar akademik yang setara dapat dikatakan sebagai bentuk devaluasi makna sakral toga itu sendiri. Bahkan jika niatnya hanya "ikut-ikutan" atau sekadar "konten", hal ini bisa memperlihatkan betapa longgarnya pemahaman publik terhadap nilai dan martabat akademik yang sesungguhnya.
Sayangnya, banyak remaja dan orang tua yang terjebak dalam euforia media sosial dan budaya pencitraan. Bukan ingin belajar, tapi ingin terlihat berhasil. Tidak sedikit dari mereka rela menggelontorkan uang hanya untuk sesi foto wisuda buatan yang sebenarnya tidak punya dasar hukum atau akademik yang kuat. Di sisi lain, banyak pelajar yang tidak tahu arah hidupnya setelah SMA, apakah akan kuliah, bekerja, atau bahkan berhenti sekolah, tetapi sudah merayakan "kelulusan" seolah segalanya telah tercapai.
Kritik terhadap fenomena ini pun muncul dari berbagai pihak, termasuk Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang secara tegas menyatakan bahwa wisuda semacam ini hanya menjadi beban tambahan bagi keluarga miskin. Dedi bahkan menyarankan agar acara perpisahan dilakukan secara mandiri oleh siswa, tanpa melibatkan sekolah, agar tidak menjadi sorotan dan polemik publik.
Solusi dan Tanggapan yang Perlu Diambil: