Sejak zaman Belanda, polisi di negeri ini lahir bukan untuk melayani rakyat, tapi untuk melayani penguasa. Polisi kolonial dibentuk sebagai tentara dalam negeri---alat penjajah untuk mengawasi dan menekan rakyat jajahan.
Warisan itu masih terasa hingga kini. Pangkat polisi Indonesia masih sama dengan militer: letnan, kapten, kolonel, jenderal. Struktur komandonya pun mirip barak tentara, bukan lembaga sipil. Tidak heran wajah polisi kita lebih kental dengan kultur militer daripada pelayanan publik.
Lihatlah Brimob. Unit ini sejak awal dibentuk Belanda sebagai pasukan tempur menghadapi perlawanan rakyat. Hari ini pun Brimob masih berkarakter militeristik: bersenjata berat, beroperasi layaknya tentara. Padahal statusnya polisi.
Ironisnya, Belanda sendiri---sang penjajah---sudah berubah. Setelah reformasi 1990-an, polisi Belanda menjadi sipil penuh. Mereka tidak lagi pakai pangkat kolonel atau jenderal. Panggilannya sederhana: agent, inspecteur, commissaris. Polisi di Belanda kini adalah pelayan publik, bagian dari civil service.
Indonesia berbeda. Penjajahnya sudah berubah, yang dijajah justru tidak mau berubah. Polri masih mempertahankan wajah kolonial: pangkat militer, pasukan paramiliter, dan doktrin tentara. Itulah sebabnya rakyat kerap melihat polisi lebih mirip tentara dalam negeri daripada pengayom masyarakat.
Kalau Indonesia ingin benar-benar modern dan demokratis, Polri harus direformasi total. Hilangkan pangkat militer. Ubah doktrin dari tentara menjadi sipil. Evaluasi ulang keberadaan unit paramiliter. Karena selama polisi masih bermental kolonial, rakyat hanya akan melihat polisi sebagai alat kekuasaan, bukan pelindung mereka.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI