Mohon tunggu...
sichanang
sichanang Mohon Tunggu... Gak perlu ucapan terimakasih atas pelaksanaan tugas!

Penulis. Blog pribadi : www.sichanang.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

'Mengasramakan' Asmara

17 Maret 2025   23:15 Diperbarui: 18 Maret 2025   11:05 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Foto by Copilot) Terhubung dalam batasan tertentu.

Greg termenung di sudut cafe yang baru buka. Barista dan waiters masih sibuk menyiapkan pernak-pernik untuk menjamu para tamu yang diharap akan datang sepanjang hari nanti. Lantai yang baru di pel pun belum juga kering sempurna. Aroma pewangi masih menguar diterpa sinar matahari yang masuk menembus beberapa celah jendela dan dedaunan. Greg duduk bersandar sembari memandang langit-langit yang di cat warna hitam dan besi-besi saling melintang sebagai hiasan.

Tas, ponsel, dan dompet tergelatak begitu saja di meja kecil dihadapannya. Mengisi waktu menunggu, Greg tertarik dengan tumpukan majalah di sampingnya. Diambilnya satu majalah yang tampak lecek, dengan niat tak sungguh-sungguh ingin membacanya. Lembar-lembaran majalah itu dibuka sekenanya. Hingga pada satu halaman pandangannya terhenti. Mendadak Greg tampak serius menelusuri kata demi kata, kalimat-kalimat di lembaran majalah itu dibacanya dengan seksama.

Tampak judul tulisan di lembar majalah itu "Cinta Platonik, Menuju Cinta Sejati". Greg serius membaca dalam beberapa posisi duduk berganti-ganti. Dari menunduk ogah-ogahan, lalu tegak serius, hingga bersandar santai. Beberapa saat lamanya Greg asyik menekuni halaman majalah yang semula tak diniatkan membaca itu. Awalnya hanya mencari kesibukan, mengalihkan kegelisahan sambil menunggu kopi yang ia pesan tiba di mejanya.

"Ini yang kubutuhkan. Akhirnya kutemukan argumentasi yang dapat menjelaskan tentang rasa yang selama ini mengganggu", batin Greg sambil masih bersandar di sofa di ujung cafe.

***

Greg memutar kenangannya pada peristiwa tiga bulan silam. Di satu sore, setelah panggilan video Greg dimatikan semena-mena oleh R dengan alasan yang tak sepenuhnya dimengertinya.

"Harusnya kalau tak mau dihubungi kan tinggal cuekin aja, gak usah dipencet tombol hijau itu kalau sekejap kemudian dimatikan!" pekik Greg kesal sendiri. "Gak jelas...."

Kemudian Greg memutar pula ingatannya saat dirinya bertemu dengan R di cafe siang hingga sore itu. "Jelas-jelas sepanjang waktu itu dia tampak menikmati seluruh obrolan dalam pertemuan itu, tapi kenapa sesampainya di rumah langsung kirim pesan marah-marah. Pake nuduh mesum segala. Padahal selain salaman, tak ada sedikit pun aku menyentuhnya". Greg membela diri.

Lamunan Greg terhenti saat mba waiters datang mengantarkan pesanannya. Setelah berterima kasih, Greg langsung mengambil gelas dan menyeruput kopi tubruk pesanannya. Sebatang kretek dinyalakan, lalu asapnya dihembuskan. Asap mengepul di bawah lampu gantung sudut cafe dengan tudung berwarna abu-abu itu.

Sejenak Greg galau. Antara mau melanjutkan lamunannya yang terjeda atau melanjutkan membaca tulisan di majalah yang masih berada dipangkuannya.

Setelah terjeda beberapa saat lamanya, Greg membuka tasnya dan mengeluarkan laptop. Dengan gerakan yang tenang Greg menyalakan laptop, membuka sebuah file dari salah satu folder. Dibacanya tulisan dari file dengan judul 'Aku & Kamu, Perkenalan Tertunda' itu baris demi baris, mulai dari premis hingga sinopsis. Lalu, setelah menghembuskan kepulan asap kretek, Greg tersenyum pahit.

Sederet pertanyaan muncul di kepala Greg. "Apa artinya menyempurnakan perkenalan yang tertunda? Bagaimana caranya menjalin pertemanan yang tak sekadar tegur sapa? Dan, seperti apa konsep pertemanan sesungguhnya itu?"

Yang pasti, Greg tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan itu seorang diri. Pertanyaan itu terkait erat keberadaannya dengan seseorang berinisial R. Dan kini Greg tak punya daya untuk mencari jawabannya karena R telah mengunci pintu jawabannya. Greg memiliki keinginan untuk melanjutkan episode "Dua pribadi yang saling bercermin" itu, namun ia khawatir energinya tak cukup untuk menghadapi kebekuan dinding pertahanan keakuan R.

***

Tujuh bulan berselang. Greg berjalan penuh keraguan di lorong hotel bintang lima itu, dan berhenti di kamar bernomor sesuai dengan yang tertera di pesan WA yang diterimanya sore itu selepas pulang kantor. Dipencet tombol bel, dan tak lama kemudian pintu terbuka. Sebuah senyum menyambut dan mempersilahkan masuk tanpa salaman atau pelukan hangat. Greg memasuki kamar mewah itu dengan seribu tanda tanya di kepalanya. Langkahnya tertuju pada jendela kaca lebar dengan pemandangan gedung-gedung bertingkat yang beradu tinggi, lampu-lampu kota yang berebut menerangi senja yang mulai temaram.

Sorotan mata R terus mengawasi langkah Greg. Saat Greg duduk di mini sofa di ujung ruangan di bawah lampu, R duduk di atas ranjang dengan sprei warna putih yang masih rapi. Sejenak keduanya saling pandang, lalu hampir bersamaan saling mengangkat bahu.

"Jadi...?" Greg seperti hendak melempar tanya namun tak dilanjutkan kalimatnya.

"Apa...?" R menimpali sambil mengerutkan dahinya, entah apa yang dipikirkannya.

Sejenak mereka berdua tampak kebingungan harus memulai dari mana untuk mengisi pertemuan itu.

Setelah keduanya berada dalam kesunyian untuk beberapa saat lamanya. "Baiklah...," R mulai membuka percakapan. "Begini, seperti pesan yang kamu kirim beberapa hari lalu, tentang 'Cinta Platonik' itu, aku ingin bukti bahwa itu benar-benar bisa diwujudkan sebagai awal kembali lanjutan hubungan diantara kita. Jujur, sebenarnya tadinya aku enggan untuk melanjutkan hubungan ini, tapi kupikir tawaranmu itu menarik untuk dicoba".

Greg menyimak kata demi kata yang disampaikan R. Dia tetap tenang, duduk santai dengan melipat kedua tangan di dadanya.

"Aku hendak menguji, sanggupkah kita menjalin hubungan tanpa melibatkan romantisme atau hasrat seksual diantara kita. Jujur aku gak tahu hasilnya akan seperti apa kedekatan emosional dan intelektual yang didasari persahabatan, tanpa adanya unsur asmara itu. Dan juga gak yakin apa bisa diwujudkan.  Karenanya, aku ingin mengujinya disini".

Greg tampak bingung harus merespon apa. Dia berusaha menyimak.

"Kamu siap diuji Greg?"

Ditanya begitu, Greg tampak kebingungan. Seulas senyum memoles wajahnya yang berusaha tenang. Namun ia juga tak sanggup menutupi kecanggungan karena tak menduga arah pembicaraan R itu. "Bagaiman cara mengujinya?"

R tampak di atas angin karena dia yang memegang kendali.

"Ada dua pilihan, yang biasa-biasa saja atau yang luar biasa, mungkin sedikit gila! Kamu pilih yang mana?"

Greg berpikir. Ia memainkan gerak ekspresi di wajahnya. Keningnya, matanya, mulutnya, semua mengekspresikan isi pikirannya.

"Aku penasaran kalau yang luar biasa seperti apa?" Greg bicara dengan gaya menantang.

"Baik...," R bangkit dari duduknya, menuju tempat pengatur lampu di kamar itu. Diredupkan pencahayaan di kamar itu hingga hampir gelap. Kini pencahayaan ruangan itu justru didominasi oleh cahaya dari luar yang menembus kaca yang luasnya hampir sepenuh satu sisi dindingnya. Lalu R kembali ke tempatnya semula.

"Sekarang ayo kita buktikan kalau memang benar bahwa hubungan ini tanpa melibatkan hasrat seksual!"

"Caranya?" Tanya Greg tetap memperhatikan R dibawah keremangan ruangan yang warnanya berubah-ubah sesuai dengan cahaya yang datang dari luar.

R berdiri, lalu berjalan ke arah menjauh dari posisi Greg duduk. Ia berhenti di depan sebuah cermin yang lumayan besar di kamar itu. Kini ia bicara menghadap cermin, dimana ia bisa melihat ke arah Greg dari cermin itu.

"Caranya, kita lepaskan pakaian kita!" R bicara dengan nada yang terjaga intonasinya.

"Gila...!" Pekik Greg sambil melemparkan tubuhnya ke sandaran sofa tempatnya duduk. "Seriusan, memang harus begitu banget cara mengujinya?"

"Iya!" Jawab R yang kini berdiri di tempat yang lebih gelap karena cahaya yang masuk terhalang tirai yang menggantung di ujung dinding.

"Goks bener ide kamu ini R!" Greg masih tak percaya dengan gagasan itu. Dia masih menyandarkan tubuhnya ke sofa sambil kedua tangannya memegangi kepalanya. Lalu Greg menggeleng seolah tak percaya.

"Emangnya salah?" R mengintip dari cermin dihadapannya.

"Ya enggak sih, emangnya gak ada cara lain, misalnya cukup dibicarakan, membuat komitmen, lalu kita saling percaya gitu?"

"Terlalu biasa itu. Toh selama ini kamu memang suka bicara!" Nada bicara R dinaikkan.

Greg tertawa, lagi dan lagi sambil geleng-geleng kepala.

"Ayo kita mulai, lepas pakaianmu!" Setelah mengakhiri kalimatnya, tanpa basa-basi lagi R mulai membuka kancing baju hingga melepas helai demi helai pakaian kerjanya.

Melihat R mulai melepas pakaiannya, Greg pun bangkit dari duduknya. "Oke lah kalau begitu...." Lalu, dilepaskannya pula pakaiannya satu per satu. Keduanya sama-sama berdiri dalam jarak di keremangan ruangan itu sambil melepas pakaian hingga akhirnya keduanya sama-sama berada dalam ketelanjangannya.

"Sudah. Lalu...?" Tanya Greg kemudian.

"Lalu, mari kita lanjutkan bicara..." R yang dalam keadaan telanjang itu pun kini kembali duduk di bibir ranjang. Cahaya dari luar yang menerobos kaca menyorotnya. Greg pun ikut duduk. Dia kembali duduk di sofa yang tadi didudukinya.

Ketelanjangan mereka sepertinya menahan untuk mulai saling bicara.

Lalu, tiba-tiba Greg seperti teringat sesuatu. "Jangan-jangan kamu terinspirasi lirik lagunya Ebiet G. Ade ya, 'Untuk Kita Renungkan'?"

R tertawa kecil. "Enggak juga sih. Kalau aku terinspirasi lagu itu, seharusnya saat ini kuajak kamu mandi bareng, supaya kita jadi benar-benar bersih." Tersungging senyum di sudut bibir R.

"Bukannya cukup dengan merenungkan, maksud lagu itu, tengoklah ke dalam sebelum bicara?"

"Bisa jadi mungkin kita tak perlu bicara. Masing-masing cukup merenung, bercermin, lalu tertawa...," R menggantung suasana.

"Atau, tidakkah kamu ingin duduk di sebelahku sini R?!" Nada suara Greg sedikit menggoda.

"Plis deh, gak usah mancing di air keruh!" Seru R ketus.

"Bukan mancing, tapi ini kan ujian, ya harusnya terima tantangan dong!"

Sejenak keduanya terdiam.

"Cukup begini saja. Ada jarak yang cukup diantara kita. Bukankah seharusnya asrama putri dan putra memang biasanya berjarak atau terpisah." R melempar argumentasi yang masuk akal.

"Ya sudah kalau itu kehendak ibu kepala asrama!" Greg tertawa.

Setelah tawa mereka usai, ruangan itu kini kembali sunyi. Pergantian sorot cahaya dari luar yang mengubah-ubah suasana kamar itu. Kadang redup, kadang terang bercahaya warna-warni.

***

"Selamat pagi Greg...." demikian isi pesan WA yang dikirim R pagi itu dari rumahnya.

Greg membaca pesan di ponselnya masih dalam balutan selimut serba putih di kamar hotel. Greg baru bangun.

Lalu, muncul pesan lanjutannya. "Nikmati istirahatmu."

Kini Greg mengubah posisinya jadi bersandar. Greg mengingat kejadian semalam, saat akhirnya R meninggalkannya seorang diri di kamar itu setelah mereka berdiam diri dalam waktu cukup lama tanpa bicara. Greg belum berniat membalas pesan yang dikirim R itu.

"Makasih ya semalam kamu membiarkanku dalam kebersamaan tanpa menyentuhku hingga aku pulang."

Greg tersenyum setelah membaca pesan R itu. "Iya sama-sama, makasih juga telah berbagi ketelanjangan, yang sejujurnya aku belum paham betul maknanya."

"Yup, anggap saja itu sebagai bagian dari dua pribadi yang bercermin. Selanjutnya, kita bisa mulai saling memberi dan menerima dukungan emosional. Memberi perspektif berbeda untuk mendorong kita menjadi versi terbaik dari diri kita. Dengan ketelanjangan itu memberi pesan, bahwa kita bisa saling jujur dan percaya."

Greg mengangguk-anggukkan kepalanya.

Greg kemudian membalas dengan mengirim pesan suara, "Okelah kalau begitu. Aku mau mandi. Sampai nanti...."

"Jiiiaaahhh dia ngasih pengumuman penting!" R mencibir sambil mengibaskan tangannya. Ditutup ponselnya. R yang saat itu sudah berada di depan rumah, bergegas mengunci pintu dan bersiap menyambut hari dengan membawa kenangan yang mengiringi langkahnya dengan senyuman.

Terogong, Maret 2025.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun