Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aceh: Mekkah Kedua dan Misi Terselubung Snouck Hurgronje

2 Oktober 2017   18:43 Diperbarui: 3 Oktober 2017   08:24 9493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, untuk memperkuat pendapatnya diatas, Snouck sempat mengutarakan bahwa kehebatan Sultan Iskandar Muda yang di dengungkan oleh rakyat Aceh sebagai sultan terbesar di Kerajaan Aceh Darussalam, adalah tidak lebih dari sekadar mitos dan legenda belaka saja. Tapi belakangan, pendapat itu dibantah langsung oleh Denys Lombard melalui bukunya berjudul Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskdandar Muda (1607-1636). Lombard berpendapat bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan sultan yang besar dan pernah membawa Aceh ke puncak kegemilangan. Karenanya, kebesaran Sultan Iskandar Muda bukanlah sebuah mitos atau dongeng yang melegenda di Aceh, sebagaimana yang diungkapkan oleh Snouck. Kali ini Snouck benar-benar keliru, dan ia pun telah memutarbalikkan fakta sejarah Aceh.

***

Snouck Hurgronje, selain dikenal sebagai Abdul Gafar (nama samarannya), ia juga dikenal oleh masyarakat Aceh (terutama di Gayo) dengan nama Abu Puteh. Mungkin karena kulitnya berwarna putih sebagaimana umumnya orang Eropa, maka masyarakat menjulukinya sebagai ulama berkulit putih atau Abu Puteh. Tapi jangan lupa, Snouck adalah ulama palsu. Dan untuk asumsi nama Abu Puteh ini hanya persepsi biasa saja, belum tentu benar pastinya.

Namun publik tidak terlalu peduli, meskipun juga menyimpan rasa kecurigaan, entah Snouck berkulit putih atau tidak, yang jelas ia memang membawa bekal pengetahuan agama Islam untuk diajarkan kepada masyarakat Aceh. Sehingga selamatlah Snouck dari kedok penyamarannya sebagai orientalis Belanda. Terlebih lagi, kelihaiannya dalam berbahasa Arab dan sebagian bahasa Aceh, turut membawa keuntungan besar bagi Snouck.

Andai waktu itu, meskipun dalam sejarah kami tidak dibolehkan untuk menggunakan kata seandainya, karena setiap sejarah itu telah terjadi, tetapi mengingat tulisan ini tidak bersifat ilmiah maka saya mencoba menggunakan kata "seandainya."

Ya, seandainya waktu itu, jika saja rakyat Aceh sudah mengetahui betul tentang keberadaan orientalis dan orientalisme yang telah menyatu padu dengan kepentingan kolonialisme dan imperialisme, saya membayangkan entah apa yang terjadi pada Snouck Hurgronje di Aceh.


Saya mulai mengira, sudah pasti rakyat Aceh akan berang atas kedok yang dilakukan oleh Snouck. Bisa jadi rakyat Aceh akan mengejar Snouck untuk mambalas atas penghinaan ini, atau Snouck terpaksa angkat kaki dari Aceh lebih cepat dari waktu yang dibutuhkan. Jika itu yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa pertualangan Mekkah kedua Snouck di Aceh akan dihentikan oleh rakyat Aceh. Terlebih lagi, jika kedok Snocuk di Aceh terbongkar maka akan berakhir tragis. Praktis, hanya ada satu pertualangan berbahaya Snouck, yaitu di kota suci Mekkah, Arab Saudi.

Namun karena rakyat Aceh tidak mengetahui soal orientalis Belanda itu, maka Snouck Hurgonje sukses melakukan penyamaran di Aceh secara leluasa dan seenak hatinya. Alasan lain mengapa penyamaran Snouck di Aceh tidak diketahui oleh publik adalah waktu itu rakyat Aceh sangat patuh dengan para alim ulama, dan oleh karenanya, keberadaan dan penyamaran Snouck sebagai ulama (palsu) di Aceh begitu mudah dilakukan.

Di samping itu juga, rakyat Aceh sangat mencurahkan segala perhatiannya terhadap perang yang sedang terjadi. Segenap tenaga, pikiran dan nyawanya ditujukan untuk berperang dengan Belanda, apalagi di tambah dengan semangat jihad fisabilillah. Maka, atas alasan inilah keberadaan orientalis asal Belanda di Aceh, menjadi hal yang terabaikan bahkan cenderung tertipu. Barangkali rakyat Aceh memang lupa atas keberadaan intel dari orang Belanda itu sendiri, bukan hanya intel atau cuak dari orang Aceh yang memihak Belanda saja.

Tetapi, terlepas dari itu semua, kenyataan bahwa sejarah itu telah terjadi di masa lalu, Snouck pun berhasil melakukan penyamarannya di Aceh. Itulah sebabnya mengapa tidak ada kata "seandainya" dalam sejarah. Semuanya telah terjadi di masa lalu dan tidak dapat diandaikan lagi. Jika suatu waktu Anda menemukan kata "seandainya" dalam penulisan sejarah, itu jelas hanya sebatas imajinasi dari seorang penulis saja atau anggaplah sebagai sebuah tesa yang diajukan oleh si penulis. Paham?

Solo, 30 September 2017.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun