Mohon tunggu...
Chaerol Riezal
Chaerol Riezal Mohon Tunggu... Sejarawan - Chaerol Riezal

Lulusan Program Studi Pendidikan Sejarah (S1) Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Program Studi Magister Pendidikan Sejarah (S2) Universitas Sebelas Maret Surakarta, dan saat ini sedang menempuh Program Studi Doktor Pendidikan Sejarah (S3) Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang hobinya membaca, menulis, mempelajari berbagai sejarah, budaya, politik, sosial kemasyarakatan dan isu-isu terkini. Miliki blog pribadi; http://chaerolriezal.blogspot.co.id/. Bisa dihubungi lewat email: chaerolriezal@gmail.com atau sosial media.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Aceh: Mekkah Kedua dan Misi Terselubung Snouck Hurgronje

2 Oktober 2017   18:43 Diperbarui: 3 Oktober 2017   08:24 9493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembelotan yang dilakukan oleh Umar --yang sebelumnya gigih mendukung pasukan Aceh, lalu menyeberang ke Belanda dan akhirnya kembali lagi ke pangkuan rakyat Aceh-- mengakibatkan Deijkerhoff dipecat sebagai Gubernur Belanda dan digantikan oleh Van Heutsz. Pada saat Van Heutsz mengambil alih tampuk pimpinan itu, ia langsung meninggalkan kebijakan dan pola lama yang diterapkan oleh Deijkerhoff dalam menghadapi pasukan Aceh: dari lunak menjadi agresif.

Van Heutsz, seperti wajahnya yang sangar, memang dikenal di Aceh sebagai jenderal Belanda yang agresif dan arogan. Ia tak segan-segan untuk menumpas setiap perlawanan rakyat Aceh, bahkan terkesan sangat mementingkan ego dan kehendaknya. Namun tanpa di duga, pada saat Van Heutsz berkuasa, sejak saat itulah saran Snouck mulai diterima dengan baik yang di dukung oleh kebijakan Van Heutsz yang dominan dalam ekspedisi militer Belanda diseluruh wilayah Aceh.

Berikutnya Snouck menyarankan kepada Van Der Wijk untuk menyerang Pidie, sebuah saran yang di aminkan oleh penguasa kolonial Belanda. Pada tahun 1898, dibawah pimpinan Van Heutsz, ekspedisi besar-besaran ke Pidie pun dimulai. Sungguh, ekspedisi ini merupakan operasi militer terbesar dan terparah dari seluruh perang Belanda di Aceh dan juga penghancuran yang paling besar dan sadis atau (sekali lagi) ada genosida di Aceh.

Untuk menyempurnakan langkah serangan militernya, Belanda mendatangkan Snouck dari Batavia ke Aceh dan menunjukknya sebagai penasehat perang untuk menemani Van Heutsz dalam setiap kali Van Heutsz hendak melakukan serang militer ke pos-pos pasukan Aceh.

Rekomendasi kedua Snouck adalah berkaitan dengan golongan aristokrat masyarakat Aceh yang dikenal dengan nama Uleebalang (kaum bangsawan). Dalam kajiannya mengenai struktur masyarakat Aceh selama menyamar di Aceh, Snouck menyimpulkan bahwa terdapat 3 golongan penting dalam masyarakat Aceh, yaitu sultan, ulama dan uleebalang.

Snouck berpendapat bahwa sultan adalah golongan yang paling rapuh dari segi politik, sebab ia tak memiliki kekuatan yang kuat dan hanya sebagai simbol kerajaan saja. Dengan kata lain, sultan tidak memiliki pengaruh apapun dan tidak berarti apa-apa. Bagi Snouck, hanya para uleebalang-lah yang memiliki kekuasaan di setiap wilayahnya masing-masing. Sementara ulama, adalah pemegang otoritas agama Islam di Aceh.


Karena itulah, Snouck menyarankan kepada kolonial Belanda agar tidak melihat arti penting kedudukan sultan dalam struktur masyarakat Aceh, dan karenanya harus ditinggalkan saja. Tetapi lain halnya dengan keberadaan para ulama dan uleebalang. Snouck berpendapat, bagi ulama yang tidak bisa diajak kompromi harus dihadapi secara tegas dan keras. Sementara para uleebalang harus diberikan kerjasama yang intens atau bentuk dukungan lainnya.

Mengenai kerjasama atau memberikan dukungan kepada para uleebarang Aceh (kelompok adat), dianggap oleh Van't Veer sebagai pola kebijakan kolonial tradisional. Untuk hal ini, Snouck memberikan rekomendasi yang serupa. Namun, hal ini juga dianggap oleh Snouck cukup relevan untuk diterapkan di Aceh, terutama terkait dengan apa yang diklaim sebagai polarisasi masyarakat Aceh ke dalam tiga kategori diatas.

Kebijakan itu rupanya membawa keuntungan bagi Belanda. Pada tahun 1898 di Aceh terjadi fenomena "lapor" cukup besar dari para uleebalang. Uleebalang Aceh kerapkali memberikan informasi penting kepada kolonial Belanda, terutama mengenai keberadaan pasukan Aceh dan tempat persembunyiannya. Bagi uleebalang yang melapor atau memberikan informasi penting mengenai Aceh kepada kolonial Belanda, maka sebagai imbalannya mereka akan mendapatkan hadiah berupa uang atau kekuasaan di daerahnya masing-masing. Inilah yang disebut oleh Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien sebagai cuak atau pengkhianat.

Dapatlah dikatakan bahwa para uleebalang Aceh yang menyerah dan bekerja sama dengan Belanda merupakan agen utama kolonial Belanda dalam melakukan berbagai kebijakan. Di sinilah keberadaan para uleebalang Aceh sebagai orang yang memikul "tugas peradaban" yang dicanangkan oleh Snouck sebagai "Asosiasi Budaya."

Khusus untuk Sultan Aceh yang dianggap oleh Snouck hanya sebagai simbol kerajaan dalam struktur masyarakat Aceh, saya (penulis) keberatan atas pendapat Snouck. Oleh karena itu, saya tidak setuju mengenai pendapat tersebut. Snouck, barangkali hanya melihat keberadaan sultan Aceh di masa perang melawan Belanda saja, tetapi tidak melihat jauh ke belakang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun