Mohon tunggu...
Meta Maftuhah
Meta Maftuhah Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan UMKM dan survey sosial ekonomi yang senang menulis blog.

Visit my blog : http://www.ceumeta.com Contact : meta.maftuhah@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

"Mimpi Kaya dari Berkebun Sayur," Harapan Petani Kota Kelas Mikro

22 Mei 2019   20:41 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:09 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembibitan juga menjadi kunci sukses kedua. Kalau manusia, tahap pembibitan ibarat bayi baru lahir. Harus disimpan di ruangan khusus dengan treatment khusus. Petani sudah sangat "jagoan" membuat bibit yang baik. Bibit yang baik, berasal dari benih yang baik. Urusan benih, ternyata masih jadi masalah. Saat ini, mudah mencari benih, ada di supermarket dengan harga setara semangkuk mie ayam. Sayangnya bukan petani yang membuat, karena banyak perijinan yang harus disiapkan.

Pemeliharaan tanaman, perlu juga pengetahuan yang cukup. Saat ini petani memiliki masalah yang pelik berkaitan pemeliharaan tanaman. Untuk menggunakan teknologi budidaya, investasi dibutuhkan cukup besar. Bertani di lahan, tentunya punya resiko, hama dan penyakit. Memerlukan berbagai sentuhan supaya tanaman selamat sampai panen.  Saat ini,  bertani cabe seluas 5000 m2, saya harus merogoh kocek 5-8 juta rupiah membeli pestisida, baik dipakai atau tidak. Siap-siap kalau tanaman terkena hama atau penyakit. Biaya bertani sayuran lain bisa lebih murah, termasuk bertani padi. Tetapi, perubahan iklim membuat hama dan penyakit semakin meningkat.

Baru pekan lalu saya mendapat info dari seorang teman, bahwa di IPB telah diciptakan alat untuk mengetahui kebutuhan pupuk dan obat untuk tanaman. Alat ini menggunakan teknologi IOT (Internet Of Thing). IOT digunakan untuk mengetahui akurasi dosis pupuk maupun pestisida. Teknologi yang canggih sudah banyak digunakan, sayang belum masif. Di satu sisi, banyak petani senior yang tidak mudah untuk dikenalkan kepada teknologi baru. "Abah mah lihat contoh, kalau hasilnya bagus, Abah ikut." Ungkap Abah yang mengolah lahan di kebun.

Terakhir adalah panen. Berubahnya struktur penduduk di desa membuat panen saat ini butuh biaya tinggi. Banyaknya kaum perempuan yan gbekerja di pabrik, mengakibatkan tenaga panen menjadi berkurang. Belum lagi harga tanaman yang fluktuatif. Pernah kami mencoba menggagas harga flat untuk sayuran. Saat kontrak dengan pabrik, harga bisa flat. Tapi kalau jual ke pasar, harga fluktuatif seperti naik roller coaster. Kadang sangat tinggi, kadang turun, bergantung pada supply dan demand di pasar.  Menjual langsung ke konsumen, adalah upaya untuk tetap mendapat harga tinggi.

dok.pribadi
dok.pribadi

2. Off Farm (Pasca Panen, Distribusi, Pemasaran)

Di off farm, walau tidak sepelik on farm juga masih banyak PR yang belum selesai. Pasca panen, masih banyak petani yang menghasilkan limbah cukup besar. Untuk petani yang rajin, limbah sayuran dapat diolah menjadi pupuk, sehingga mengirit biaya. Tapi, sebagian petani sudah habis waktunya di kebun. Tidak punya cukup waktu lagi untuk mengolah limbah.

Distribusi, kalau di sentra pertanian tidak usah khawatir. Banyak pengusaha angkutan yang siap mengirimkan barang hingga ke konsumen yang umumnya pasar induk. Kalau sulit, simpan saja hasil panen di pinggir jalan, nanti juga ada yang mengangkut. Saat saya berkebun cabe, cukup tiditip ke supir elf, cabe sampai dengan selamat ke pasar induk, mudah kan. 

Pemasaran sebagai sub sektor yang marjinal, tapi penting, termasuk sektor pertanian. Petani umumnya menanam dulu baru mencari pasar.  Jarang yang dapat pasar dulu baru menanam. Ya, tinggal bilang sama pengepul, urusan selesai. Tapi, harga ya jangan ditanya. Kalau bagus, bisa beli satu mobil, tapi kalau lagi jelek, ongkos panen bisa lebih mahal dari harga jual. "Kawan, saya tahu rasa itu, berat, biar saya saja."

dok.inilahkoran
dok.inilahkoran

Prospek Pertanian di Era Digital

Di era digital, semakin banyak yang melirik sektor pertanian. Baru hari senin kemarin saya diminta sharing di soft launching sebuah e-commerce produk pertanian. Belum lagi adik-adik kelas saya yang semakin keren, berjualan sayur lewat internet. Apakah itu cukup, ternyata belum. Hari ini, beberapa teman masih kebingungan menjual panen bawang merah yang terlalu banyak, di daerah lain para emak mengeluh harga bawang merah yang mahal. Semua karena afirmasi informasi. Kita belum pernah punya data akurat tentang areal produksi pertanian di satu daerah. Problemnya adalah database. Bulan lalu, seorang Kasi di Dinas Pertanian Kabupaten Bandung membuat aplikasi pendataan, tapi belum semua terdata. 

Untuk membuat pertanian menjadi tuan rumah di negeri sendiri, perlu sebuah grand disain yang melibatkan pentahelix : akademisi, pebisnis, petani, pemerintah dan penyuluh. Semua tersistematisasi hulu hingga hilir. Rantai pasok tercatat baik, pelaku terdata, luasan jelas, pasar sudah terencana. Semua dikerjakan sebagai sebuah sistem, bukan proyek tahunan yang tahun ini berjalan, tahun depan selesai. Semua butuh komitment atas dasar kecintaan pada Indonesia. Dengan jumlah penduduk yang lebih dari 260 juta, pangan masih menjadi primadona. Sehingga malu rasanya kalau melihat petani miskin. Toh pasarnya jelas, komoditinya jelas, tapi mengapa jarang melihat petani kaya?  Walau pernah gagal bertani, saya tidak kapok bertani.

Saya Alumni Fakultas Pertanian, Saya Bangga Bertani



Bandung, 22 Mei 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun