Mohon tunggu...
Cerita_Esa
Cerita_Esa Mohon Tunggu... Guru - Menulis dan membaca tidak membuatmu kaya sekejap, tapi yakini dapat membuat hidupmu beradap

@Cerita_esa karena setiap jengkal adalah langkah, dan setiap langkah memiliki sejarah, maka ceritakanlah selama itu memberi manfaat.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tentang Aku dan Waktu Berjuang #1

25 Agustus 2021   13:17 Diperbarui: 6 September 2021   11:56 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Buah jambu yang jatuh, tersungkur, terjerumus, dan terjerembab pada tanah, lumpur, debu, atau semak-semak tetaplah namanya buah.

Lima tahun yang lalu, setelah berhasil menjadi fresh fraduate terbaik hampir cumlaude memberanikan diri untuk tetap menetap di kota kecil yang katanya menjadi kota ternyaman sejuta umat. Nyatanya iya, banyak dari temanku termasuk aku yang enggan meninggalkan keelokan rupa dan rasa dan kota tersebut. Sempat putus asa dan memilih menyerah pulang.

Setelah sekian lama mencoba bertahan dengan segala alasan, mencari yang namanya pekerjaan akhirnya Allah menjawab segala doa-doaku tanpa bisa diprediksi.

            Di pagi yang telah menipis menjadi siang Allah mengadirkan Mbak Ais sebagi lantaran atas doaku. “Mbak kamu mau ngajar sama aku?”

Entah ini tawaran atau jawaban atas doa-doaku. Sempat merasa minder. Memantaskan diri saja sekolah itu adalah salah satu sekolah dengan yayasan bergengsi di kota itu. Dengan kualitas dan kuantitas yang hampir mendominasi. Semangat, alasanku agar bisa kembali lagi ke kota itu aku mengiyakan tanpa ragu. Paginya aku menyiapkan seberkas lamaran dan setumpuk angan-angan pertanyaan dan kira-kira jawaban bila ada tes wawancara. 10.00 WIB tepatnya 20 Juni dengan motor setengah tua bapak, aku diantar lagi ke kota itu lagi. “Ditrimo opo ora sing penting dicobo. Anggep wae setahun iki gawe sinau.”

            Kesan pertama hatiku benar-benar sejuk memasuki ruangan yang mereka sediakan untuk menunggu. Akhirnya giliranku tes wawancara. Aku diwawancarai oleh kepala sekolah langsung. Beliau sosok yang tegas pertama ku lihat. Aku yakin beliau adalah pemimpin yang mengayomi. Begitulah aku mengamati setiap ucapan beliau saat wawancara. Saat itu pula pertama kalinya aku belajar bernegosiasi dalam sebuah wawancara. Yang berujung juga tidak terlalu buruk. Segala hal pengalaman organisasi, pengalaman akademisi, dan segalakemampuan yang aku punya sudah ku informasikan. Aku sadar sebagi orang yang rendah di akamik aku harus mati-matian memperjuangkan keahlianku untuk bersaing.

            Sehari penuh was-was. Menanti SMS balasan atas wawancaraku. Alhamdulillah semua itu aku percaya izin Allah atas doa dan rido orangtua. Bahkan saat itu pun aku sempat mengalami dilema. Bagaimana tidak jika rejeki sedang dating maka bisa saja menyebabkan bimbang. Saat bersamaan aku juga diterima interview di tempat lain.

            “Pilihlah mana tempat yang bisa membuatmu belajar dan berkembang. Jadi setidaknya jika kamu belum mendapatkan hak yang layak maka kamu bisa pulang dengan ilmu yang banyak.” Sontak kata bapak tadi membuatku mantap untuk kembali mengajar di kota kesayanganku. Sekalipun harus laju dengan jarak tempuh puluhan kilo dan antar kota.

            Aku beruntung bisa memasuki dalam atmosfer yang tidak semua orang bisa memasukinya, dan tidak semua ornag pula ditawari kesempatan ini. Apalagi aku tidak linier dengan jenjang ini. Tapi dibutuhkan untuk mapel itu. Beruntungnya lagi aku bisa mendapatkan hak yang jauh lebih dari teman-temanku di luar sana.

            Saat awal pertama masuk, aku merasa dikelilingi bidadari-bidadari penuh kelembutan. Masya allah, aku lihat semua perempuan memanjangkan jilbabnya, merendahkan suaranya, dan melebarkan senyumnya. Semua itu membuatku meraksa ah apa iya ini benar tempatku sekarang. Aku masih canggung.

            Saatnya pembagian amanah Subhanallah hal yang tidak ku bayangkan juga. Di awal mengajar aku sudah diberi amanah yang luar biasa. Memegang kepercayaan mengajar di kelas atas, diberi amanah mengampu lebih dari satu mapel yang sesuai keahlianku, menjadi koordinator guru ektrakurikuler jurnalistik, mengampu pramuka. Ah, aku membayangkan akan begitu sibuk hari-hariku.

            Ah benar saja, hasil negosiasi saat tes wawancara benar-benar direkam dan dimanfaatkan oleh kepala sekolahku. Aku dihajar habis-habisan untuk mengeluarkan bakatku. Ya, benar saja dengan begitu adanya status guru outsourcing (guru dalam masa percobaan sebelum menjadi guru tetap yayasan) bisa sedikit menambah uang transport.

            Dua bulan aku di sana diamanahi untuk melatih lomba bercerita, ya aku harus benar-benar serius mempersiapkan. Bagaimana tidak, taruhannya adalah reputasi sekolah di mata kota. Alhamdulillah tahap pertama aku bisa membaw siswa putra menjadi juara 1 dan putri juara 2 tingkat kecamatan. Itu artinya kami diberi kesempatan untuk berjuang sampai kota. Tidak kusangka juga di tingkat kota aku yang guru baru kemarin harus bersaing dengan pakar-pakar pada bidangnya dalam lomba. Ah meskipun hanya terhenti menjadi juara harapan, setidaknya capaian awal karierku sudah lebih baik. Ya  ya ya aku paham pasti ada pihak sekolah yang kecewa.

            Aku bersyukur sekali awal tahunku mengajar diberi previlege biasa untuk mengembangkan diri. Bukan hanya itu saja, aku juga diberi kesempatan melatih lomba cipta syair, cipta pantun dan lomba siaga.

Huffffttt belum lagi aku dipercaya untuk menjadi guru les anak-anak khusus, menjadi bagian tim penyuksesan UN.  Jadi dalam sehari capaian terbanyak jam ngajarku adalah 10 jam pelajaran. Cukup sibuk bukan, dibandingkan dengan temanku yang waktu masuknya sama. Oh iya aku juga mengajar softskill untuk dua jenjang sekaligus.

Meskipun harus berangkat lepas subuh, namun aku tidak pernah telat sehari pun datang ke sekolah. Harus laju pula dengan bus antar kota. Itu sebabnya pula setiap ada momen tertentu aku mendapat penghargaan guru disiplin. Pernah juga disebut kepala sekolah dalam rapat besar untuk dijadikan motivasi. Ah ini bukan hal untuk meninggikan diri. Aku tahu berbagi cerita hal positif aku mengharap juga akan menjadi energi positif bagi  pembaca. Sering pula mendapat reward atas kedisiplinanku dalam mengumpulkan kisi-kisi atau soal tes. Hal ini bukan dengan semata-mata aku buat untuk mencari perhatian. Tapi cobalah bayangkan, kalua kamu hidup diantara lingkup yang positif, mendukung, dan dihargai, maka energi positif itu akan tumbuh dnegan sendirinya untuk melakukan hal terbaik.

Oh iya semester dua ini aku juga tambah sibuk. Di awal tahun sekolah ada acara besar salah satunya adalah pekan literasi, meskipun masih nggak karuan konsep awalku tapi Alhamdulillah sudah diberi kesempatan menjadi penanggungjawab. Aku benar-benar tidak habis pikir kalau aku diberi kesempatan yang begitu luar biasa untuk mengembangkan diri. Selang satu bulan, sekolahku juga mengikuti jambore tingkat provinsi. Syukurlah kesibukan masih diberikan kepadaku untuk menjadi pendamping anak-anak.

Terakhir amanah langsung yang diberikan oleh kepala sekolah yaitu mewakili sekolah satu dari lima guru untuk mengikuti pelatihan pembuatan modul tingkat JSIT se-Kedu. Aku tak henti-henti untuk bersyukur bisa belajar banyak hal.

Namun, bukan hanya itu. Lingkup pertemanan dengan sirkulasi yang teduh benar-benar merasa pada tempat yang tepat. Di mana guru juga difasilitasi untuk mengembangkan dan belajar tentang keiislamannya. Diberi kesempatan seluas-luasnya untuk mengembangkan ilmu.

“Bu besok tidak usah kuliah lagi. Yayasan kita sudah proses membangun SMA. Nanti Jenengan langsung saja mutasi ke sana.”

“Bu awal tahun ajaran ini diamanahi memegang koordinasi guru mapel “…..” kelas enam.”

Ya Allah aku tak henti-hentinya mengucap syukur atas segala nikmat ini. Merasa begitu cepat aku berproses. Benar-benar dikelilingi hal kebaikkan.

Sayangnya awal tahun ajaran setelah satu tahun mengabdi di sana aku memutuskan keluar. Dengan banyak pertimbangan dan segala hal resiko.

Ya, aku mengecewakan dan benar-benar amat mengagetkan saat terakhir aku berpamitan. Tapi maaf, kali ini pertimbangan yang matang sudah ku buat bulat sehingga benar-benar harus meninggalkan segala hal penuh previlege ini.

***

Aku pindah, dan tepatnya pulang. Banyak hal yang harus aku perbuat di rumah. Subhanallah, allah juga tidak menjauhkan rejekiku saat memutuskan kembali. Tidak lama berselang dari rumah, aku kembali diterima disalah satu sekolah swasta di dekat rumah. “Jompalng?” Ya memang iya. Tapi tidak begitu pula karena ternyata aku bertemu sosok pemimpin yang tidak begitu jauh dnegan pemikiran kepala sekolahku yang dulu. Sekolahnya kecil, bahkan jumlah satu sekolah saja sama dengan satu jenjang di sekolah yang dulu. Tapi bukan itu alasanku. Yang paling penting adalah menemukan partner kerja yang sepikiran. Sebab apa? Nyaman adalah kunci agar kita tulus dalam melakukan segala hal.

Meskipun di tahun awal masih begitu kerepotan. Menyesuaikan banyak hal.

Beruntung dalam lingkup kecil ini aku juga masih diberi kesempatan untuk mengembangkan diri. Sekalipun waktu-waktuku memang terkuras untuk kegiatan di kelas.

Aku cukup lama. Selama itu pula ternyata aku baru tahu bahwa keprofesionalan kami juga hampir sama dengan untung-untungan dengan orang-orang yang bersuara lantang dan syarat akan kepentingan.

Aku bahagia, aku menikmati, bahkan dalam hal paling menyedihkan menurut orang lain aku paling bahagia menjalani semua ini. Eksprektasi kita tidak bisa disamakan pada apapun dan siapapun. Bagian terpentingnya adalah aku memiliki PR untuk menaklukkan murid-murid terbaik sekaligus terberatku. Itu adalah amanah yang paling luar biasa buatku. Ah sama-sama menyibukkan amanah di sini juga mengeksploitasi kemampuanku, bedanya kuantitas kemaksimalannya yang berbeda.

Sempat ada rasa memberontak dan protes atas suasana baru ini. Tapi ya sudahlah. Ada kalanya belajar untuk berada pada posisi yang tidak kita inginkan.

Aku juga aktif di rumah. Mengajar dengan apa adanya untuk anak-anak di sekitar rumah. Sayang, semakin lama aku merasa tidak adanya siklus simbiosis mutualime, malah yang ada parasitisme yang sangat mencolok. Ah, nasib. Aku diakali oleh sekian anak kecil. Aku memutuskan berhenti, dengan sepihak. Yang akhirnya kesempatan ini dimanfaatkan kawan sebelah.

Aku menunggu satu tahun, dua tahun, semakin menikmati peran sebagai ibu di sekolah. Serasa memiliki banyak kesibukan mengurus anak setiap harinya.

Pasang surut penghuni juga terjadi. Maklumlah, ada keprofesionalan yang dituntut tapi tidak ada penjamin dari pihak berwenang. Tiga tahun berkelut dengan sekolah swasta tentunya akan menjadi pengalaman tersendiri.

Seiring berjalannya waktu, semakin menyamankan, semakin banyak pula pendatang baru. Ya, pendatang yang tentunya dari pihak kompetitor. Bedanya, kali situasi disini bersaing langsung ke kompetitor bukan lagi dalam lingkup antar pendidik. Bayangkan saja jumlah pengajar 10 :100. Angka 100 di sini pastinya akan bersaing setingkat kecamatan.

Aku kuat, aku nyaman, dan aku mau berjuang. Sayangnya energi positif dari kepala, kawan dan lingkungan tidak berbanding lurus dengan keadaan di atasnya. Kami adalah golongan orang-orang yang tidak mau melampaui pada garis yang sudah ditetapkan sedangkan kompetitor kami adalah orang-orang yang berambisi untuk melalui garis ketentuan. Kami kalah, khususnya aku. Pada fase ini penyemangat besarnya adalah anak-anak. Melihat mereka yang haus dengan ilmu dan rasa ingin tahu. Membuatku enggan menyerah begitu saja. Namun, semakin dilawan, semakin kencang pula badai ketidakseimbangan itu menerpa. Pada tahap akhir tiga puluh enam bulan, rasa lelah itu kembali muncul.

Aku, yang sudah ikut sibuk memperjuangkan hak kami. Ternyata nihil. Suudzonku apakah ini ada faktor pribadi atau memang birokrasi masa kini semakin memuakkan.

Aku tidak memiliki perasaan untuk sejengkal meninggalkan dalam keadaan keterpurukan diri. Berjuang, berjuang, bertahan. Sampai tepat pada titik kelemahanku pada bulan ke empat puluh delapan dalam titik melemah Allah kembali hadir dalam ketermenungan.

Melalui seorang teman, teman lama, teman yang pernah erat namun saling mengabai, namun masih memberi kesempatan aku untuk berproses. Terima kasih. Awal tahun ini aku menemui tempat baru lagi. Setelah lima tahun berkelana. Aku masih diberi waktu untuk mengelana lebih panjang lagi.

Kamu penghianat? Kamu sepah yang berhasil menghisap manisnya jambu. Tidak, aku membela diri. Ingat, kataku awal dulu. Pengabdian sudah tertancap pada hati namun ada sebongkah ilmu yang harus aku letakkan pada tempat semestinya. Bukan hanya tetang ambisi, tapi ini tentang kebermanfaat yang lebih hakiki.

Terima kasih kepada pemimpin-pemimpin yang sudah memberikan aku semangat untuk mengabdi dan mengembangkan keahlian ini dalam waktu bersamaan.

Rumusanku pada satu tahun awal, empat tahun pertengahan, dan awal tahun perjuangan baru ini dalam sebuah satu atmosfer bila dikaitkan dengan kelekatan pada Sang Pencipta ibarat 100:10:1.

Pernah menyesal tapi bersyukur. Pada tahap segala hidupku diberi jalan yang tidak monoton. Berjalan penuh liku dan tantangan. Menyesal karena tidak seperti kawan-kawanku yang mendapatkan hak khusus dengan mudahnya. Bersyukur sebab ketidakkhususan ini membuatku memahami banyak hal.

Aku masih ingin bercerita, tapi lelah. Esok kali aku cerita lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun