Mohon tunggu...
Cepi Triana
Cepi Triana Mohon Tunggu... Senang menulis, membaca, dan potografi

Oke lah

Selanjutnya

Tutup

Politik

Membaca Nalar Publik atas Pertemuan Jokowi-Prabowo

11 Oktober 2025   07:30 Diperbarui: 10 Oktober 2025   18:33 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam lanskap politik Indonesia yang kerap diwarnai drama simbolik, pertemuan dua tokoh besar seperti Presiden ke-7 Joko Widodo dan Presiden Prabowo Subianto tidak pernah berdiri sebagai peristiwa biasa. Ia selalu mengundang tafsir, spekulasi, bahkan kecurigaan publik. Ketika CNN Indonesia menurunkan berita tentang "nuansa politik di balik pertemuan Jokowi dan Prabowo" dan SINDO News menanggapi dengan "Projo sangkal narasi sinetron", kita menyaksikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar silang pernyataan. Kita menyaksikan benturan kesadaran perebutan makna di ruang publik.

Dari sudut pandang fenomenologi, politik tidak dapat dipahami hanya sebagai tindakan instrumental atau kalkulatif, melainkan sebagai ruang pengalaman makna. Dalam ruang itu, gestur sekecil apa pun seperti kunjungan, jabat tangan, atau senyum dua tokoh bisa mengandung dunia makna yang luas. Edmund Husserl, bapak fenomenologi, menegaskan bahwa kesadaran manusia selalu bersifat intensional: ia selalu diarahkan kepada sesuatu. Begitu pula kesadaran publik terhadap pertemuan Jokowi--Prabowo ia diarahkan pada pencarian makna yang tersembunyi di balik apa yang tampak.

Pertarungan Dua Horizon Makna

Dalam kasus ini, terdapat dua horizon makna yang saling berhadapan. Pertama, horizon yang dibangun oleh media dan publik bahwa pertemuan itu merupakan bagian dari strategi kekuasaan: lobi, negosiasi, atau sinyal politik tertentu. Kedua, horizon yang dibangun oleh Projo, yang berupaya mengangkat peristiwa itu sebagai "politik kebangsaan" dan menolak tafsir bahwa pertemuan tersebut sekadar drama atau "sinetron".

Kedua horizon ini sama-sama fenomenologis, keduanya berangkat dari pengalaman kesadaran yang berbeda. Bagi publik, kesadaran mereka telah dibentuk oleh pengalaman panjang menyaksikan realitas politik yang sering penuh sandiwara. Maka, ketika dua tokoh besar bertemu di tengah situasi politik yang tidak menentu, nalar publik secara otomatis menafsirnya dalam bingkai politis, bukan personal. Sebaliknya, Projo berupaya melakukan apa yang dalam fenomenologi disebut reduksi makna: menghapus unsur dramatik dan mengembalikannya pada idealisme kebangsaan. Namun, justru di titik inilah terjadi paradoks semakin keras bantahan itu diucapkan, semakin kuat pula kesan bahwa pertemuan itu memang sarat makna politik.

Fenomenologi Kecurigaan

Jika fenomenologi klasik Husserl berfokus pada "kembali ke benda itu sendiri" (zu den Sachen selbst), maka fenomenologi sosial modern seperti yang dikembangkan oleh Alfred Schutz dan Peter Berger lebih menyoroti bagaimana makna sosial dikonstruksi secara intersubjektif. Dalam konteks ini, publik bukan hanya pengamat pasif, melainkan aktor yang ikut menciptakan realitas makna. Pertemuan Jokowi--Prabowo tidak hanya terjadi di ruang fisik Kertanegara, tetapi juga di ruang kesadaran publik ruang virtual yang dipenuhi tafsir, meme, komentar, dan diskusi daring. Di sana, pertemuan itu "hidup" sebagai fenomena yang dimaknai bersama, ditafsir, ditertawakan, atau dicurigai. Itulah yang disebut fenomenologi kecurigaan bentuk kesadaran sosial yang tumbuh dari pengalaman panjang berhadapan dengan politik yang tidak transparan.

Publik kini tidak lagi percaya pada kata-kata resmi, mereka membaca "bahasa tubuh", "urutan kejadian", dan "tanda-tanda yang tersembunyi". Kesadaran ini bukan bentuk sinisme, tetapi ekspresi rasa waspada fenomenologis kesadaran bahwa setiap tampilan sosial adalah representasi yang mungkin menutupi sesuatu di baliknya.

Politik Sebagai Drama Makna

Pernyataan Freddy Damanik dari Projo yang menolak pertemuan itu disebut sinetron justru memperlihatkan bagaimana politik telah menjadi estetika peristiwa. Ketika politik kehilangan substansi ideologisnya, ia mencari legitimasi melalui pertunjukan makna. Dalam konteks ini, publik tidak lagi menilai isi pembicaraan antar-elite (yang selalu tertutup), melainkan membaca simbol, siapa mendatangi siapa, di mana, kapan, dan dengan ekspresi apa.

Fenomenologi Maurice Merleau-Ponty dapat membantu kita memahami hal ini, tubuh politisi (gesture, ekspresi, tempat, waktu) adalah medium makna. Ia tidak netral, ia menampakkan niat, relasi, dan kuasa. Maka, ketika Jokowi datang ke Kertanegara bukan sebaliknya publik menangkapnya sebagai simbol relasi kuasa baru, mungkin sebuah konsolidasi, mungkin juga pengalihan poros legitimasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun