Kegagalan utama pemerintah adalah ketidaktegasan dalam menetapkan prioritas pembangunan. Di satu sisi, pemerintah terus menonjolkan program simbolik berskala nasional untuk menegaskan kehadiran negara. Di sisi lain, pemerintah mengabaikan desentralisasi fiskal yang selama dua dekade terakhir menjadi pilar tata kelola pembangunan Indonesia. Pemangkasan transfer ke daerah dan sentralisasi Posisi ruang fiskal Indonesia kian terhimpit. Berbagai indikator menunjukkan bahwa struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tidak lagi memiliki kelonggaran untuk memainkan perannya sebagai instrumen kesejahteraan sosial dan stabilisasi ekonomi. Situasi ini bukan semata akibat tekanan global atau penurunan pendapatan, tetapi terutama karena pemerintah gagal menetapkan prioritas pembangunan yang konsisten, adil, dan produktif.
Kritik ini mengemuka dalam berbagai forum publik. Dalam laporan CNBC Indonesia (7 Oktober 2025), para gubernur se-Indonesia meminta agar pemerintah pusat tidak memotong transfer ke daerah. Permintaan itu menandakan ketegangan fiskal yang semakin serius: pemerintah pusat berusaha melakukan efisiensi, sementara daerah merasa terancam kehilangan ruang gerak untuk pembangunan. Efisiensi yang seharusnya diarahkan pada pengeluaran tidak produktif justru berpotensi memukul kemandirian fiskal daerah.
Disisi lain, SindoNews (8 Oktober 2025) menyoroti pandangan Ikatan Alumni FEB UI (ILUNI FEB UI) yang memperingatkan bahwa ruang fiskal dalam Rancangan APBN 2026 semakin terkunci. Belanja wajib seperti gaji pegawai, subsidi, dan bunga utang mendominasi, sehingga belanja produktif yang seharusnya menopang pertumbuhan jangka panjang menyusut drastis. Dengan komposisi anggaran seperti ini, APBN lebih mirip mesin rutin birokrasi ketimbang motor pembangunan ekonomi.
Fenomena tersebut memperlihatkan bahwa kebijakan efisiensi pemerintah belum berpijak pada prinsip efisiensi yang sejati. Dalam teori keuangan publik, efisiensi fiskal tidak hanya berarti "menghemat", tetapi juga memastikan setiap rupiah anggaran menghasilkan manfaat sosial-ekonomi tertinggi (Musgrave, 1959). Efisiensi tanpa arah justru menjadi bentuk baru dari inefisiensi: pemotongan dilakukan secara mekanis tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap layanan publik dan keadilan sosial.
Di titik inilah kritik dari Seknas FITRA (2025) menjadi penting. Dalam Pandangan FITRA atas Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal RAPBN 2026, lembaga ini menilai bahwa pemerintah terlalu optimistis terhadap target pertumbuhan ekonomi 5,2--5,8 % dan penerimaan pajak yang terus meningkat. Padahal, tanda-tanda pelemahan ekonomi global dan kontraksi penerimaan sudah terlihat sejak pertengahan 2025. FITRA juga menyoroti ketergantungan penerimaan negara pada sumber daya alam (SDA), yang rentan terhadap fluktuasi harga dan berisiko memperparah kerusakan ekologis.
FITRA mengkritik program-program besar pemerintah yang menyerap anggaran luar biasa tanpa kejelasan efektivitas, seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG) dan pembentukan koperasi "Merah Putih". Kedua program tersebut dianggap berisiko tinggi menjadi beban struktural bagi APBN jika tidak memiliki mekanisme evaluasi berbasis kinerja. Kritik ini logis, sebab dalam kondisi ruang fiskal terbatas, setiap program baru harus diuji berdasarkan cost-benefit analysis yang ketat, bukan sekadar komitmen politik. program justru mempersempit otonomi daerah, melemahkan inisiatif lokal, dan menimbulkan ketimpangan fiskal baru.
Krisis prioritas ini juga terlihat dari absennya orientasi jangka panjang berbasis transformasi struktural. Belanja pemerintah masih didominasi belanja konsumtif, sementara investasi pada inovasi, riset, dan transisi energi hijau belum menjadi agenda serius. FITRA bahkan mengingatkan bahwa APBN 2026 seharusnya mulai memasukkan komponen green economy dan insentif teknologi bersih. Namun arah kebijakan fiskal justru masih condong pada pertumbuhan jangka pendek yang bergantung pada SDA dan subsidi energi fosil.
Sementara itu, efisiensi yang digembar-gemborkan pemerintah sering kali berhenti pada langkah kosmetik, memangkas anggaran perjalanan dinas, rapat, atau bansos kecil, tetapi membiarkan kebocoran pada belanja besar dan proyek strategis nasional. Efisiensi sejati memerlukan keberanian politik untuk menata ulang struktur anggaran menghapus program duplikatif, mengonsolidasikan lembaga yang tumpang tindih, dan menilai ulang seluruh subsidi yang tidak produktif.
Dalam konteks inilah istilah "fiskal sulit" menjadi cerminan situasi saat ini. Pemerintah terjebak dalam paradoks antara menampilkan citra disiplin fiskal dan memenuhi janji politik populis. Ketika prioritas tidak jelas, setiap upaya efisiensi menjadi kehilangan arah. Bukannya memperkuat daya dorong pembangunan, justru yang terjadi adalah stagnasi fiskal dan penurunan kualitas belanja publik.
Langkah mendesak yang perlu ditempuh adalah reformasi kebijakan fiskal berbasis prioritas publik. Pemerintah harus menata ulang belanja wajib agar tidak menelan seluruh ruang fiskal, memperluas basis penerimaan melalui reformasi pajak digital dan lingkungan, serta memulihkan peran daerah dalam perencanaan pembangunan. Transparansi dan partisipasi publik menjadi kunci. APBN bukan milik birokrasi, melainkan milik rakyat yang berhak menilai apakah uang mereka benar-benar bekerja untuk kesejahteraan bersama.
Ruang fiskal yang sempit tidak selalu menjadi masalah jika pemerintah memiliki arah. Namun ketika prioritas kabur, transparansi lemah, dan belanja publik dikuasai oleh kepentingan politik jangka pendek, maka "fiskal sulit" bukan sekadar kondisi ekonomi melainkan potret kegagalan negara dalam menata dirinya sendiri.