Mohon tunggu...
M Iqbal J Permana
M Iqbal J Permana Mohon Tunggu... Peminat ilmu Ekonomi industri dan kebudayaan

Seorang pembelajar ilmu ekonomi yang tertarik dengan revolusi digital 4.0, marketing 6,0 dan utilitarianisme kebudayaan

Selanjutnya

Tutup

Seni

Teruslah Menari : Tradisi Menari Suku Serawai

25 April 2025   10:46 Diperbarui: 3 Mei 2025   19:16 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : hasil generate artificial inteligence


Tradisi Berdendang Suku Serawai 


Saya mencoba memahami mengapa orang orang generasi Datuk (kakek)  Saya sangat senang, menari, berpantun dan berdendang,  beliau dikenal sangat ahli bedendang suaranya merdu, dan pandai menari cincin(piring) dan setangan.  Dalam tradisi bujang gadis pada periode itu, mereka harus menguasai seni berdendang ini, supaya dikenal, kemampuan berdendang ini, juga dituntut untuk mampu memainkan rebana, kompang atau biola, serta menari berdendang dan berpantun, tradisi ini terjadi pada periode baby boomer atau malah zaman kolonialsme, Hindia Belanda.

Semua Penari Laki Laki
Sama seperti zapin  hadrami  atau zapin melayu , dan dendang serawai yang masih dilestarikan oleh komunitasnya, dimana  semua penari adalah laki laki pada masa itu,  Bedendang dalam tradisi Tari orang serawai  dimainkan oleh laki laki, baik tari piring maupun tari setangan. Sama halnya dengan teater tradisional Dulmuluk, dulunya semua tokoh diperankan oleh laki laki.Ketika saya masih kecil tradisi bedendang ini masih banyak dilakukan pada saat acara pernikahan(bimbang).

Sebelum perempuan mulai mengambil peran, tradisi tari Melayu seperti *zapin* , *dendang Serawai*, bahkan teater Dulmuluk di Sumatera Selatan, semuanya dimainkan oleh laki-laki. Dalam "bedendang Serawai", laki-laki tidak hanya menari, tetapi juga memimpin alur cerita, menyampaikan pantun, dan mengiringi musik dengan rebana atau biola. Fenomena ini mirip dengan tradisi kuda lumping* di Jawa atau "randai"di Minangkabau, di mana laki-laki memainkan semua peran, termasuk karakter perempuan.  Pada era yang lebih modern dalam tradisi melayu, tarian Pulau Sari yang kemudian populer dengan Serampang Dua Belas mulai memperbolehkan perempuan menari, yanh berkembang saat ini.

Ada dua pemahaman  mengapa laki laki menari,  karena  pengaruh Islam yang masuk melalui ulama dari Minangkabau dan Aceh menekankan kesopanan, sehingga perempuan dibatasi perannya di ruang publik.  Kemudian Konteks Sosial,  Laki-laki bertugas sebagai "penghibur" dalam acara adat yang sering berlangsung larut malam, sementara perempuan fokus pada peran domestik.  

Perempuan Tabu Menari


Pada masa Kesultanan Palembang Darussalam, perempuan dianggap "tabu menari" karena norma sosial dan nilai-nilai agama yang sangat dijunjung tinggi. Dalam budaya Palembang yang kental dengan ajaran Islam, perempuan diharapkan menjaga aurat dan perilaku mereka di ruang publik. Menari, meskipun merupakan bentuk seni, sering kali dianggap tidak sesuai dengan nilai kesopanan, terutama jika dilakukan di hadapan banyak orang.

Selain itu, tarian pada masa itu sering kali melibatkan gerakan yang dianggap kurang pantas untuk perempuan, sehingga hanya laki-laki yang diizinkan untuk menari dalam acara-acara tertentu. Hal ini juga mencerminkan pandangan bahwa perempuan harus lebih banyak berperan di ranah domestik daripada tampil di ruang publik.

Namun, seiring waktu, pandangan ini mulai berubah. Seni tari seperti "Tari Gending Sriwijaya" dan "Tari Tanggai" mulai melibatkan perempuan,  Begitu juga tari melayu seperti serampang 12 yang populer di era itu, juga mulai memperbolehkan perempuan menari, dengan gerakan yang dirancang lebih sopan dan sesuai dengan norma budaya dan agama. Perubahan ini mencerminkan adaptasi budaya lokal terhadap nilai-nilai Islam yang lebih inklusif.

Bimbang Gedang dan Mutus Tari


Dahulu kedudukan Tari bedendang mendapatkan posisi tersendiri dalam upacara adat seperti Bimbang Gedang, dimana tari bedendang sering diadakan sampai tiga hari, dan diakhiri dengan mutus Tari.

Dalam budaya "Bimbang Gedang" sebuah tradisi adat pernikahan khas masyarakat Serawai  di Bengkulu dan hubungannya dengan tradisi "mutus tari"merujuk pada momen penting dalam prosesi adat. Mutus tari biasanya melibatkan tarian adat yang dilakukan oleh pemuda dan pemudi sebagai bagian dari perayaan dan penghormatan terhadap tradisi leluhur. Tarian ini tidak hanya menjadi hiburan, tetapi juga sarana untuk menunjukkan kebolehan seni dan budaya, serta mempererat hubungan sosial di antara peserta acara.

Tradisi ini mencerminkan kekayaan budaya lokal yang menggabungkan seni, adat, dan nilai-nilai sosial

Saya meyakini Tradisi menari ini sudah ada sejak lama, dari yang paling tradisional seperti tari Andun dan Tumbak Kebau, sampai bedendang yang sekarang mulai kehilangan peminatnya. Dan tradisi tari bededang ini mendapat pengaruh dari budaya pesisir selatan sumatera, padang, painan, manna dan bengkulu, dari penyebar Agama Islam dari sumatera barat,  yang membawa syiar dengan bedendang, meskipun pada periode itu Sumatera Barat banyak dipengaruhi ajaran paderi, seperti imam bonjol, tuanku nan renceh, Haji Piobang, Haji Manik dan Haji Miskin, tetapi tradisi bedendang ini tumbuh subur di Bengkulu, pada periode Hindia Belanda.

Menari Merawat Ingatan  Tentang Kampung Laman
Ketika seorang penari Serawai mengayunkan tangannya dalam "tari setangan", atau ketika suara rebana mengiringi dendang tentang kisah nenek moyang, mereka sedang menghidupkan kembali memori kolektif. Tradisi "bedendang" mengajarkan kita bahwa menari bukan hanya gerak tubuh, tetapi cara suatu komunitas "bercerita", "berdoa", dan "bertahan".  

Sebagaimana pesan implisit dalam "mutus tari", memutus tradisi bukanlah akhir—ia bisa jadi awal dari regenerasi. Dengan memahami tradisi tari dari pesisir Sumatera ini akan memberikan wawasan yang mendalam dalam memahami tari tradisi maupun tari kreasi yang berkembang sekarsng, tugas kita kini adalah  memastikan bahwa warisan ini tak hanya menjadi catatan sejarah, tetapi tetap bernapas dalam denyut nadi generasi mendatang.

 Teruslah Menari.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun