Guruh semakin betah berderak-derak di atas langit yang mulai padam. Awan hitam kian gelagapan disambar kilat-kilat cahaya. Di tengah lapangan itu Bison, Sengkala dan Kerdil morat-marit bergelimang lumpur. Dari tepi lapangan Jundi bisa melihat kepulan asap yang menyebak di antara tiga kepala badung itu. Bison menatapnya benci sekaligus mengejek. "Oi, gepeng keparat!" Bison menyeru. Pipinya yang gembul tampak membulat. Sebab Jundi diam bagai patung, si Bison semakin berasap. Diambilnya langkah yang menurutnya paling cepat menuju Jundi yang membatu.
Bison, Sengkala dan juga Kerdil kini tinggal sejengkal saja di hadapan Jundi. Kerdil dan Sengkala menjitak kepala Jundi. Bison menyeringai buas. Asap itu semakin melanglang jauh menembus rintik hujan yang deras. Jundi keheranan sebab air hujan pun tidak bisa mengalahkan api si Bison. Api itu seperti ikut menyeringai dan mengejeknya. Ia membara membabi buta menyelimuti kepala Bison. Jundi akan mampus sebentar lagi.
"Dari mana apinya datang?" ujar Jundi datar. Â
"Tolol!"
Gelak ketiga badung itu menggelegar mengalahkan suara guruh. Wajah Bison yang tambun semakin membuntal, tampak seperti bakso gosong raksasa yang terbakar api."Korek, tahu korek tidak? Gepeng dungu!"
"Apa kau tadi tersambar geledek?" Jundi memecah gelak Bison. Si tambun geram. Ia berhenti terbahak lalu merapatkan giginya. Suara gemeretak gigi Bison tajam menyucuk gendang telinga. Matanya membelalak sebesar bola ping pong. Dalam hitungan tiga kali geledek yang sahut-menyahut kepalan tangan Bison tepat mengenai kepala si gepeng bedebah.
Brakkk!
Bogem mentah diterima mentah-mentah. Tubuh Jundi rebah ke tanah. Setelah itu gelap. Jundi benar-benar mampus. "Dasar gepeng keparat!"Â
Bukan kali pertama Jundi terkena dentuman bogem dari ketiga badung itu. Memang biadab mereka kerap merundung bocah-bocah lemah seperti dia. Bukan pula kali pertama Jundi menengok api yang menyala-nyala di kepala Bison. Â Api yang memang tidak pernah padam, yang selalu kian membara ketika Bison merundungnya.
Mengapa semua orang memiliki api? Demikian keheranan sekaligus kebingungan yang menggerayangi kepalanya. Jundi tidak tahu bagaimana orang-orang ini memiliki api dan justru semakin tangguh ketika api itu melahap mereka. Sama seperti si Bison yang apinya pun tidak padam terkena cercaan air hujan. Justru hadiah bogem mentah itu hampir mematahkan rahang Jundi. Si tambun Bison semakin perkasa dibuatnya.
Barangkali hanya ia dan adiknya saja yang tidak punya api. Nilam masih terlalu kecil untuk punya api, pikirnya. Tapi di mana apiku? Mengapa bapak dan emak tidak membagikan apinya kepadaku? Jundi masih harus menerima bahwa di dalam rumahnya sendiri terasa seperti tungku perapian yang tidak pernah padam. Panas menggelegak. Api bapak dan emaknya seringkali beradu. Seolah-olah hendak melahap seisi rumah kayu reyot itu kemudian menjadikan ia dan adiknya sebagai santapan daging panggang bagi Bison. Membayangkannya saja Jundi tak kuasa.