Mohon tunggu...
Saifullah S (Pilo Poly)
Saifullah S (Pilo Poly) Mohon Tunggu... Pengelola @Puisi_Kompas dan puisikompas.wordpress.com -

Pengelola @Puisi_Kompas | Magang di @tempodotco | Mengabdi di PepNews.com | He who has a why believe for can bear whith almost any how: Nietzsche

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Sepatu dari Masa Lalu

25 November 2017   14:19 Diperbarui: 26 November 2017   18:12 3155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
KPM Gurita. (Foto: aceh.tribunnews.com)

"Tapi ayahmu ada di lambung kapal." Ibu menjelaskan.
"Jadi kadang ia tak sempat melihat matahari," lanjutnya.
"Di dalam kapal, ayah bekerja apa?" tanyaku.
"Operator mesin."

Beberapa hari ini suara pembicaraanku dengan ibu terus saja datang begitu saja. Suara itu terus menerus hinggap dalam pikiranku hingga membuat kepalaku sampai pusing bukan main. Saat jam pelajaran sudah dimulai mendadak aku diserang demam. Keringat dingin mengguyur tubuhku dan aku merasa badanku begitu lemah. Aku melihat kupu-kupu yang besar dan bercorak warna datang dari laut dan membawa ayah pulang. Melihat wajahku pucat dan badanku bergetar, ibu guru Kemala menganjurkanku agar tidak melanjutkan pelajaran siang nanti.

Tepat jam sebelas siang itu, akhirnya aku menyerah karena aku merasa badanku semakin berat dan merasa membesar sebesar kapal ayah. Aku saat itu langsung diantar seorang penjaga sekolah untuk pulang. Sampai di rumah, di dalam kamarku yang kecil itu, aku melihat ayah sedang terduduk di lumbung kapal dan tersenyum. Aku tak mengerti apa pula arti dari senyumnya itu.

"Kalia?" Sayup-sayup kudengar suara ibu memanggilku sambil memengang erat tubuku sambil dipeluknya kuat-kuat. Dapat kurasakan langsung getar dada ibu mengalir dalam darahku. Di ruang tengah, aku melirik kalender tua yang telah usang. Besok hari Selasa dan Desember akan lenyap berganti Januari tahun baru.

Ayah. Kau di mana? Apakah kau tahu? Aku melihat banyak orang dibibir pantai dengan wajah murung. Mereka terus menatap ke arah laut yang tak berbatas. Apakah mereka juga menunggu ayah-ayah mereka pulang dan membawa sepatu?

Aku masih ingat bagaimana hari itu aku berhasil mengalahkan demam dalam tubuhku. Saat itu suara ibu untuk kesekian kalinya membuatku menyakinkan diri kalau ayah memang akan pulang. Januari ini serupa mimpi indah yang menyenangkan dan aku merasa lahir kembali karena terlepas dari demam.

"Ayah akan pulang. Cepatlah sembuh."
"Tapi saat ini aku sudah tak lagi memikirkan sepatu itu ibu."
"Sembuhlah untuk ayah bukan untuk sepatu."

Tak ingin membuat pikiran ibu lebih kacau, aku turuti saja keinginannya. Aku takut jika menjadi beban pikiran dalam benak ibu. Sebenarnya aku juga tahu tak perlu menunggu ayah pulang untuk membeli sepatu. Ibu bisa saja seperti biasa berhutang pada tetangga dan saat ayah kembali akan digantikannya. Aku pun tahu ibu pasti akan mengabulkan permintaanku jika aku terus saja merenggek seperti dulu saat meminta dibelikan buku pelajaran di sekolah.

Beberapa hari setelahnya, aku jadi benar-benar sehat. Demam itu telah benar-benar pergi dari tubuhku. Hari itu kebetulan hari libur. Jadi untuk menghibur diri dari ingatan sepatu yang makin sering datang dalam pikiranku, timbul niat untuk meringankan pekerjaan ibu di rumah sambil membantunya.

"Hidupmu untuk belajar dan bermain." Aku tahu ibu melarang.
"Biar aku membantu ibu, ya?" pintaku penuh semangat.
"Kalia. Jangan membuat ibu merasa bersalah,"
"Tapi ibu?"
"Kalia. Ayolah."
"Bermain saja. Dengan bunga. Dengan kupu-kupu di taman. Atau dengan buku gambarmu di kamar, ya?" aku mengalah juga akhirnya. Sapu yang telah kupegang erat-erat, kuletakkan di tempat semula. Saat itu, aku merasa seolah ibu mengambil kesempatan-kesempatan kecilku.

Di luar, kudengar suara Oya memanggil-manggil namaku pelan dan lembut. Aku keluar dan menemukan Oya sedang duduk di bawah ayunan yang terbuat dari ban bekas yang diikatkan pada dua pohon besar sambil menatap ke arah rumahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun