Mohon tunggu...
Winni Soewarno
Winni Soewarno Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa yang sedang belajar menulis

Perempuan yang sedang belajar menulis dan mengungkapkan isi kepala. Kontak : cempakapt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Cashless: Kok, Malah Bayar?

7 Februari 2023   04:30 Diperbarui: 7 Februari 2023   05:43 541
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tentu saja ini sangat mempermudah kegiatan jual beli. Tak perlu lagi membawa tas berisi uang tunai banyak selama masih ada gawai dan kartu debet atau kartu kredit yang tersedia.

Dalam transaksi cashless, kasir akan menggesekkan kartu ke mesin untuk kartu kredit maupun debit dengan mengunakan mesin EDC (Electronic Data Capture). Biasanya mesin EDC ini terlihat berjejer di meja kasir. Mesin ini dapat digunakan untuk bertransaksi sesama bank (on us) atau transaksi antar bank (off us).     

Untuk menggunakan layanan EDC ini, merchant (penjual/pelaku usaha) akan dikenai potongan atau fee yang dibebankan kepada pihak merchant terkait dengan kegiatan transaksi yang dilakukan melalui EDC. Fee ini yang disebut dengan merchant discount rate (MDR). MDR ini tidak dapat dialihkan bebannya kepada pembeli yang menggunakan kartu kredit atau kartu debit.

Saat penanganan COVID 19 di Indonesia mulai terkendali, perekonomianpun mulai menggeliat pelan-pelan. Terlihat perubahan perilaku berbelanja, apalagi dilakangan anak muda. Masyarakat yang tadinya senang menggunakan uang tunai, mulai bergeser menggunakan non-tunai. Ditambah lagi dengan maraknya transaksi online yang menyediakan segala kebutuhan. Mulai dari makanan, kesehatan sampai furniture isi rumah hanya tinggal memilih yang mana yang cocok.

Pemerintah juga menghimbau masyarakat agar membeli produk yang dibutuhkan dari hasil produksi usaha dan industri kecil. Pembelian dan pembelanjaan akan produk mereka, akan sangat menolong pada saat keadaan ekonomi tak karuan. Dengan demikian, usaha dan industri kecil terdukung dan roda perekonomi bisa berputar.

Sayangnya, ternyata tak semua kota yang dipenuhi usaha dan industri kecil serta UMKM lokal disepanjang perjalanan Jakarta-Solo yang saya tempuh, bisa melayani pembayaran non-tunai dengan 'gembira'. 

Saat makan disebuah tempat makan yang menjadi ikon daerah setempat, agak terkejut saat akan membayar. Dinfokan ada tambahan biaya 3% dari total pembayaran bila menggunakan kartu kredit dan kartu debit sebesar 1,5%.

Meski agak tak rela, namun karena uang tunai tak seberapa, terpaksa bersedia dibebani 1,5% karena menggunakan kartu debit. Lucunya, info tersebut baru diberitahukan saat akan membayar. Sebagai konsumen, saya berada diposisi yang lemah. Makanannya sudah berpindah masuk keperut. Tak mungkin tak dibayar.

Saat di daerah lain, saya terpaksa batal membeli produk tenun dan batik karena ada tambahan biaya  3% untuk kartu kredit dan 2% untuk kartu debit. Charge yang jumlahnya ratusan ribu rupiah ini tentu saja merugikan pembeli.

Jika pembelanjaan senilai Rp10 juta, bila dengan kartu kredit akan dibebani biaya tambahan sebesar 3% x 10 juta = Rp300.000,-Jika menggunakan kartu debit, akan ditambahi biaya 2% x 10 juta = Rp200.000,-. Jumlah yang cukup besar! Pembelian-pun dibatalkan meski dengan resiko hati dongkol.

Tak terfikir untuk membawa uang tunai sebanyak itu juga, bukan? Selain tak praktis, juga beresiko. Tak praktis karena harus melakukan penarikan melalui mesin ATM jumlahnya terbatas. Bila tak mencukupi, haruskah antri untuk melakukan penarikan tunai dengan membawa buku tabungan melalui teller?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun