Mohon tunggu...
Winni Soewarno
Winni Soewarno Mohon Tunggu... Lainnya - Orang biasa yang sedang belajar menulis

Perempuan yang sedang belajar menulis dan mengungkapkan isi kepala. Kontak : cempakapt@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Diary

Kisahku Akan Ayah

9 Desember 2021   08:30 Diperbarui: 9 Desember 2021   12:11 354
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://image.freepik.com/free-photo/close-up-father-holding-his-sleepy-baby_23-2148354228.jpg

          

Sore itu sambil menunggu lalulintas agak cair, aku mampir menikmati secangkir kopi di depan sebuah pusat perbelanjaan. Mataku teralih dari laptop saat dua orang masuk dan mengambil tempat di meja depanku. Keluarga muda, pikirku.

Si perempuan membuka tas agak besar yang dibawanya dan mengeluarkan sesuatu seperti handuk kecil dan mengulurkannya kepada si pria. Pria itu membersihkan tangannya dengan tisu basah sebelum mengambil dan menyampirkan handuk itu dibahunya. Tangannya terulur meraih seorang bayi yang sejak tadi digendong si perempuan. Menimangnya sejenak sambil mencari posisi nyaman sebelum duduk memunggungiku. Pemandangan yang tidak biasa.

Diam-diam aku mengamati mereka. Aku tersenyum mendengar si bayi mengoceh. Mungkin dia senang digendong ayahnya. Si pria yang menggendongnyapun tertawa-tawa kecil. Kata-kata yang digumamkan tak jelas terdengar di telingaku. Apapun itu, nampaknya mereka berdua menikmati kebersamaan mereka. Si perempuan yang aku duga sebagai ibunya meninggalkan mereka berdua sambil melambai kecil.

Beberapa menit kemudian posisi sibayi berubah. Kepalanya berada di bahu ayahnya. Wajahnya menghadapku. Dia memukul-mukulkan sebelah tangannya yang kecil  di bahu penggendongnya sambil mengoceh dan tertawa. Aku ikut tersenyum meski tak paham ocehannya, yang seolah ditujukan kepadaku. Aku mengangguk-anggukkan kepala mencoba menyapa. Dia terkekeh senang.

Kuteruskan sapaanku dengan memainkan tangan kananku seperti melambai. Masih terkekeh dia. Tiba-tiba sang ayah agak menoleh. "Ah....maaf ya" ujarnya. "Anak ini selalu senang bertemu orang".

Posisinya jadi menoleh kearahku. "Ini Abby, baru 8 bulan usianya." Dia menjawab pertanyaan yang aku ajukan setelah aku mengatakan bahwa ocehan bayinya sama sekali tak menggangguku. Bayi yang cantik dan lucu. Akhirnya dia memutar kursinya, dan kami tampak seperti berada di satu meja yang sama sekarang karena bayinya tampak senang mengeluarkan ocehannya melihatku.

Dari obrolanku kemudian, dugaanku benar bahwa si perempuan tadi adalah istrinya dan ibu si bayi. Mereka datang ketempat ini untuk berbelanja kebutuhan harian dan keperluan sibayi.

 Coffee shop ini adalah tempat mereka bertemu. Mereka akan saling tunggu disini. Si Ibu dan bayinya akan menunggu ayahnya yang langsung dari kantor ke tempat ini, jika mereka tiba lebih dahulu. Si ayahpun begitu. Dia menunggu istri dan anaknya yang berangkat dari rumah tiba disitu. Setelah itu, si ayah akan menjaga bayinya sementara si ibu berbelanja di supermarket yang berada di basement pusat perbelanjaan ini. 

Pembagian kerja yang baik sekali, pikirku Si pria yang kemudian memperkenalkan diri sebagai Dani mengatakan mereka belum mampu menggaji seorang pengasuh anak. Istrinya yang tadinya bekerja full time mengelola usaha dagang orang tuanya, dengan rela hati melepaskan dan membantu dari rumah. Datang sesekali jika diperlukan saja. Untunglah mertuanya juga sangat pengertian. Meski tak lagi dapat mencurahkan seluruh waktu untuk membantu, anaknya masih dapat membantu pengelolaan administrasi bisnisnya. Masih menyempatkan mengajari pegawai yang lain menyelesaikan pekerjaannya dulu.  Cucunya bisa terurus baik, mantunya bisa bekerja tenang.

Mereka pulang lebih dulu dari aku. Si anak masih di bahu ayahnya. Tangannya yang kecil yang berada dalam genggaman tangan besar ayahnya terpatri jelas dalam memoriku.

Ingatanku melayang, ayahku terbayang.  Aku bersyukur bahwa aku juga punya ayah yang terus bersedia menggenggam tanganku saat aku terpuruk dan saat aku menikmati momen-momen bahagia. Tangannya yang besar membuatku nyaman dan tenang. Tangannya yang besar mampu membuatku berhenti menangis. Tak banyak kata, cukup tanganku berada digenggamannya membuatku mampu menaklukkan dunia.

Hatiku menjadi hangat saat teringat aku bagaimana tiba-tiba aku menjadi berani turun ke kolam renang dan mulai belajar menggerakkan kaki seperti yang diajarkan pelatih. Itu karena ada tangan ayah yang memegangi tanganku. Si penakut air inipun akhirnya bisa berenang karena percaya ada tangan ayah yang akan memegangnya. Tangan ayah juga menggenggam tanganku saat aku menangis putus cinta pertamaku. Tepuk tangan ayah yang luar biasa kerasnya terdengar saat aku menerima penghargaanku yang pertama. Saat aku dewasa, tangan ayah yang besar itu masih memeluk dan menepuk bahuku saat kesulitan dunia kerja menghadangku.  

Aku mengenangnya dengan bahagia yang meluap. Meski ayahku sudah berpulang. Kenangan bersamanya tak kan hilang.  Damailah engkau bersama penciptamu, ayahku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun