Mereka pulang lebih dulu dari aku. Si anak masih di bahu ayahnya. Tangannya yang kecil yang berada dalam genggaman tangan besar ayahnya terpatri jelas dalam memoriku.
Ingatanku melayang, ayahku terbayang. Â Aku bersyukur bahwa aku juga punya ayah yang terus bersedia menggenggam tanganku saat aku terpuruk dan saat aku menikmati momen-momen bahagia. Tangannya yang besar membuatku nyaman dan tenang. Tangannya yang besar mampu membuatku berhenti menangis. Tak banyak kata, cukup tanganku berada digenggamannya membuatku mampu menaklukkan dunia.
Hatiku menjadi hangat saat teringat aku bagaimana tiba-tiba aku menjadi berani turun ke kolam renang dan mulai belajar menggerakkan kaki seperti yang diajarkan pelatih. Itu karena ada tangan ayah yang memegangi tanganku. Si penakut air inipun akhirnya bisa berenang karena percaya ada tangan ayah yang akan memegangnya. Tangan ayah juga menggenggam tanganku saat aku menangis putus cinta pertamaku. Tepuk tangan ayah yang luar biasa kerasnya terdengar saat aku menerima penghargaanku yang pertama. Saat aku dewasa, tangan ayah yang besar itu masih memeluk dan menepuk bahuku saat kesulitan dunia kerja menghadangku. Â
Aku mengenangnya dengan bahagia yang meluap. Meski ayahku sudah berpulang. Kenangan bersamanya tak kan hilang. Â Damailah engkau bersama penciptamu, ayahku.