Pada tahap itu saya masih menyimpan rasa kaget. Berikutnya rasa gudeg serasa kolak. Omg! Kok bisa? Minggu kemarin baru saja membeli dari restoran yang sama.
Saya periksa kembali foto menu nasi gudek jogja di gawai, jangan-jangan salah pilih restoran. Saya tetap yakin ini kesalahan restoran yang tidak konsisten dalam membuat dan menyajikan masakan.
Bagai gadis geulis gunung, artinya jika diliihat langsung dari dekat tampak berbeda. Tidak secantik dalam foto.
Baiklah, saya akan diam saja dan hal ini saya simpan sendiri, yang pasti saya tidak akan pernah membeli makanan itu lagi. Itu hal yang wajar toh.
Sebaliknya yang terjadi di kota Medan, saya merindukan ayam goreng renyah lengkap dengan mayonaisenya. Kebetulan hari Sabtu malam, enggan keluar rumah. Saya pesan satu menu ayam goreng sejenis menu ayam geprek.
Rasanya aduhai nikmat sesuai selera. Padahal porsi hanya sekepal tangan. Saya tidak menyesal, walau porsi kecil.
Keesokan harinya, dengan diantar taxi, iseng-iseng berkunjung ke tempat ayam grepek yang saya beli online kemarin.
Saya pesan 2 porsi ayam saja. Sejak saat itu saya berlangganan menu tersebut. Dari online, saya menjadi pelanggan langsung tanpa membeli makanan online.
Tidak konsistennya kualitas produk masakan mejadi hal yang penting bagi saya. Suka duka membeli makanan online selalu saja terjadi.
Ada yang tidak sesuai keinginan, kecewa lalu berganti restoran namun kebanyakan memenuhi keinginan selera pembeli.
30 vs 70
Menurut pengalaman, hanya sekitar 30% kekecewaan datang dari penjual berkualitas rendah. Selebihnya 70% penjual masih mempertahankan qualitas baik dari segi rasa, kemasan dan kebersihan.
Faktor kebersihan ini pernah menjadi bahasan penting di salah satu media dimana salah seorang pengemudi ojol membocorkan rahasia keadaan restoran, tempat ia membelikan pesanan pembeli.