Ketika memasuki masa pandemi bulan Maret lalu, kita semua seolah tidak siap menghadapi keadaan yang membuat panik ini. Seakan segalanya lancar, berjalan normal. Termasuk strategi hotel dengan marketing plan setengah semester 2020 yang telah disetujui manajemen.
Jalan sepertinya buntu. Hotel terpaksa merumahkan setiap karyawan selama 2 minggu secara bergiliran. Akibatnya upah dibayarkan setengah, tanpa embel-embel uang jasa pelayanan, uang makan bagi sales team, tunjangan pulsa, apalagi bonus. Namun kami masih bersyukur, upah masih dibayarkan.
Melihat semakin parahnya tingkat hunian hotel ketika itu, mata ini seolah takpercaya terhadap angka-angka yang menurun tajam. Tingkat hunian yang diperkirakan sebesar 60%, menukik ke angka 30%. Seluruh group dan MICE tertunda, bahkan digagalkan.
Menghadapi kenyataan pahit ini dengan santun saya mengundurkan diri, kembali ke Jakarta untuk sementara. Ketika itu berharap sampai covid mereda. Toh keberadaan saya takbanyak membantu perusahaan. Pasar sepi.
Namun kami masih saling berhubungan. Pada bulan April, Mei, Juni tingkat hunian lebih jatuh, rata-rata 10%.
Tetiba saya menerima pesan bahwa ayah Daun sakit. Ya, saya doakan cepat pulih.
Seminggu berlalu, ia mengabarkan ayahnya berada di rumah sakit. Dua anak dan istri telah 2 hari kekurangan makan. Beras yang dibeli terkadang bergantung pada tip tamu, kini hampa.
Ia mencari pinjaman kesana kemari tapi tak berhasil. Koperasi simpan pinjam di hotelpun tersendat, ia harus menunggu peminjam lain yang berjumlah ratusan. Wabah mengubah segala kenikmatan dunia.
Tanpa pikir panjang, saya memberi sejumlah uang untuk membeli beras serta bumbu dapur. Paling tidak, sekeluarga bisa makan nasi goreng dengan bumbu. Uang itu hanya sejumlah yang tersisa di tabunganku. Nasehat saya padanya, harus berhemat.
Ceritanya ia menangis saat menerima uang itu. Berhari-hari tiada seorangpun yang memberikan pinjaman. Sebelum wabah melanda, Daun dan keluarganya memang takpernah kekurangan. Upahnya lebih dari cukup untuk menghidupi kedua anak dan istri termasuk ayahnya yang sering sakit-sakitan.
Lampu hijau di bisnis hotel seolah temaram, bak jalan tol tak berujung. Tingkat hunian hotel mencapai titik nadir, sepi, tidak bergairah. Bukan saja pemilik hotel, seluruh karyawan pun meradang.