Mohon tunggu...
gedecelagisambirana
gedecelagisambirana Mohon Tunggu... UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA

Mahasiswa semester genap

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tri Karya Parisudha: Mengurai Peta Jalan Hindu Menuju Kesucian Diri dan Harmoni Universal

2 Juli 2025   00:19 Diperbarui: 1 Juli 2025   23:18 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di tengah kompleksitas kehidupan modern yang penuh dengan gejolak, tuntutan, dan sering kali konflik, manusia secara universal merindukan sebuah pedoman hidup yang dapat membawa pada kedamaian batin dan keharmonisan sosial. Dalam khazanah ajaran Hindu Dharma, terutama yang mengakar kuat dalam kebudayaan Bali, terdapat sebuah konsep etika fundamental yang berfungsi sebagai kompas moral holistik: Tri Karya Parisudha. Lebih dari sekadar daftar perintah dan larangan, Tri Karya Parisudha adalah sebuah peta jalan sadar menuju penyucian diri yang integral, mencakup tiga domain esensial eksistensi manusia: pikiran, perkataan, dan perbuatan.

Secara harfiah, "Tri" berarti tiga, "Karya" berarti perbuatan atau tindakan, dan "Parisudha" berarti yang disucikan, murni, atau dibersihkan. Dengan demikian, Tri Karya Parisudha dapat diartikan sebagai "tiga jenis perbuatan yang harus senantiasa disucikan". Ajaran ini bukanlah konsep yang berdiri sendiri, melainkan terjalin erat dengan pilar-pilar filosofis Hindu lainnya seperti Karma Phala, Samsara, dan Moksha. Ia menawarkan sebuah kerangka kerja praktis bagi setiap individu untuk secara aktif membentuk takdirnya, memperbaiki kualitas hidupnya, dan pada akhirnya, berkontribusi pada kesejahteraan alam semesta (Jagadhita). Artikel ini akan mengurai secara mendalam setiap pilar Tri Karya Parisudha, menyelami makna filosofisnya, dan merefleksikan relevansinya yang tak lekang oleh waktu di era digital ini.

Akar Filosofis: Keterkaitan dengan Karma dan Tujuan Hidup

Untuk memahami kedalaman Tri Karya Parisudha, kita harus melihatnya dalam konteks doktrin Karma Phala, hukum universal sebab-akibat. Ajaran ini menyatakan bahwa setiap tindakan (karma) yang dilakukan oleh seorang individu---baik dalam bentuk pikiran, perkataan, maupun perbuatan---pasti akan menghasilkan buah atau hasil (phala) yang setimpal. Tidak ada satu pun yang luput dari hukum ini. Tri Karya Parisudha, dalam konteks ini, adalah panduan untuk menanam benih-benih karma yang baik. Dengan menjaga kesucian dalam tiga aspek tersebut, seseorang secara sadar sedang mengarahkan alur hidupnya menuju kebahagiaan, kedamaian, dan kemajuan spiritual.

Lebih jauh lagi, ajaran ini merupakan alat vital dalam perjalanan spiritual menuju Moksha, yaitu pembebasan jiwa (Atman) dari siklus kelahiran dan kematian (Samsara). Tindakan-tindakan yang tidak suci (asubha karma) akan menciptakan ikatan-ikatan duniawi yang memperpanjang siklus penderitaan. Sebaliknya, dengan mempraktikkan Tri Karya Parisudha, seseorang secara bertahap memurnikan dirinya, melepaskan ikatan-ikatan tersebut, dan mendekatkan diri pada tujuan tertinggi kehidupan. Di Bali, konsep ini juga menjadi landasan bagi terwujudnya Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan), khususnya dalam menjaga hubungan harmonis antar sesama manusia (Pawongan).

Pilar Pertama - Manacika Parisudha: Kesucian dalam Alam Pikiran

"Pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran murni, maka kebahagiaan akan mengikutinya, bagaikan bayang-bayang yang tak pernah meninggalkan bendanya."

Kutipan dari Dhammapada ini, meskipun dari tradisi Buddhis, menangkap esensi dari Manacika Parisudha dengan sempurna. Hindu Dharma menempatkan pikiran (manah) sebagai sumber dari segala tindakan. Perkataan yang terucap dan perbuatan yang terlaksana hanyalah manifestasi dari apa yang sebelumnya telah bersemayam di dalam pikiran. Oleh karena itu, penyucian diri harus dimulai dari akarnya, yaitu alam pikiran.

Manacika Parisudha berarti melatih pikiran untuk senantiasa berpikir baik, benar, dan suci. Ini adalah perjuangan internal yang konstan untuk mengendalikan dan menjernihkan arus pikiran dari berbagai "sampah" mental. Pikiran yang tidak suci mencakup:

  • Himsa Manasa: Pikiran yang penuh kebencian atau niat untuk menyakiti dan mencelakai orang lain.

  • Krodha: Kemarahan yang tidak terkendali yang mengaburkan logika dan welas asih.

  • Lobha: Keserakahan dan ketamakan akan harta, kekuasaan, atau kesenangan duniawi yang berlebihan.

  • Matsarya: Iri hati dan dengki terhadap kebahagiaan atau kesuksesan orang lain.

  • Moha: Kebingungan, delusi, atau keterikatan buta yang membuat seseorang tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah.

Pikiran-pikiran negatif ini sering kali digolongkan dalam Sad Ripu, enam musuh dalam diri manusia. Praktik untuk memurnikan pikiran meliputi Swadhyaya (mempelajari kitab suci dan introspeksi diri), Dhyana (meditasi untuk menenangkan pikiran dan menjadi saksi atas kemunculan pikiran tanpa terhanyut), serta secara aktif mengembangkan pikiran positif seperti Maitri (cinta kasih universal), Karuna (welas asih), dan Mudita (turut berbahagia atas kebahagiaan makhluk lain).

Pilar Kedua - Wacika Parisudha: Kekuatan Suci dalam Perkataan

Jika pikiran adalah benih, maka perkataan (wacika) adalah tunas pertama yang muncul ke permukaan. Perkataan memiliki kekuatan dahsyat; ia bisa membangun atau menghancurkan, menyembuhkan atau melukai. Wacika Parisudha adalah seni menggunakan kekuatan ini secara bijaksana, yaitu berkata yang baik, benar, jujur, dan menyejukkan.

Ajaran Hindu mengklasifikasikan empat jenis perkataan buruk yang harus dihindari:

  1. Anrta/Asatya: Berdusta atau berbohong, menyampaikan informasi yang tidak sesuai dengan kebenaran.

  2. Pisuna: Memfitnah, mengadu domba, atau menyebarkan keburukan orang lain di belakangnya untuk menimbulkan perpecahan.

  3. Parusa: Berkata kasar, mencaci maki, atau menghina. Kata-kata ini seperti panah beracun yang bisa meninggalkan luka batin mendalam.

  4. Sambhinnapralapa: Omong kosong, bergosip, atau pembicaraan yang tidak bermanfaat yang hanya membuang-buang waktu dan energi.

Sebagai gantinya, Wacika Parisudha mendorong kita untuk mempraktikkan Satya Vacana (perkataan yang benar dan jujur), Priyavacana (perkataan yang lemah lembut dan menyenangkan), dan Hitavacana (perkataan yang bermanfaat dan membawa kebaikan). Bentuk tertinggi dari kesucian perkataan adalah penggunaan mantra, doa, dan kidung suci yang bertujuan untuk memuliakan Tuhan dan menyebarkan vibrasi positif ke alam semesta.

Pilar Ketiga - Kayika Parisudha: Etika dalam Tindakan Nyata

Kayika Parisudha adalah puncak dari dua pilar sebelumnya. Ini adalah manifestasi fisik dari pikiran yang suci dan perkataan yang benar. Berbuat yang baik dan luhur adalah pembuktian nyata dari kualitas batin seseorang. Percuma berpikir baik dan berkata manis jika tidak diwujudkan dalam tindakan konkret.

Tindakan yang tidak suci (asubha karma) yang harus dihindari meliputi:

  • Ahimsa: Tidak melakukan kekerasan atau menyakiti makhluk hidup lain, baik manusia, hewan, maupun merusak alam.

  • Asteya: Tidak mencuri, yang maknanya meluas bukan hanya mengambil hak milik orang lain, tetapi juga mencakup korupsi, plagiarisme, atau mengambil keuntungan secara tidak adil.

  • Vyabhicara: Tidak melakukan perbuatan asusila atau perilaku seksual yang tidak pantas yang melanggar norma kesucian.

Sebaliknya, tindakan yang luhur (subha karma) yang harus dipupuk adalah Dana Punya (memberi sedekah dan beramal dengan tulus ikhlas), Seva (melakukan pelayanan tanpa pamrih kepada masyarakat dan mereka yang membutuhkan), serta segala perbuatan yang didasari oleh welas asih dan bertujuan untuk menjaga keharmonisan alam.

Relevansi Abadi di Era Digital

Di zaman modern yang serba terhubung, ajaran Tri Karya Parisudha justru menemukan relevansinya yang paling kuat.

  • Manacika Parisudha di Era Informasi: Di tengah tsunami informasi, hoaks, dan ujaran kebencian di media sosial, kemampuan untuk menyaring informasi, menjaga kejernihan pikiran, dan tidak mudah terprovokasi adalah bentuk praktik Manacika yang krusial.

  • Wacika Parisudha di Dunia Maya: Jari-jemari kita telah menjadi perpanjangan lidah. Ujaran kebencian, cyberbullying, dan penyebaran fitnah secara daring adalah pelanggaran berat terhadap prinsip Wacika Parisudha. Sebaliknya, menggunakan media sosial untuk menyebarkan inspirasi, pengetahuan yang bermanfaat, dan kata-kata yang mendukung adalah wujud praktiknya.

  • Kayika Parisudha di Masyarakat Global: Tantangan global seperti krisis iklim, ketidaksetaraan sosial, dan kemiskinan menuntut tindakan nyata. Kayika Parisudha mendorong kita untuk tidak hanya menjadi penonton pasif, tetapi untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial, menjaga kelestarian lingkungan, dan bertindak adil dalam setiap peran yang kita jalani.

Kesimpulan

Tri Karya Parisudha bukanlah sekadar doktrin usang, melainkan sebuah sistem etika hidup yang dinamis, komprehensif, dan sangat relevan. Ia mengajarkan bahwa kesucian bukanlah sesuatu yang dicari di luar diri, melainkan sesuatu yang dibangun dari dalam melalui disiplin yang berkelanjutan. Dimulai dari menjaga kebun pikiran agar tetap subur dengan benih-benih positif, dilanjutkan dengan merawat tunas perkataan agar tumbuh menyejukkan, dan diakhiri dengan membiarkan pohon perbuatan berbuah manis bagi seluruh makhluk. Ini adalah sebuah perjalanan seumur hidup, sebuah seni untuk menyelaraskan dunia batin dengan perilaku lahiriah, yang pada akhirnya mengantarkan individu pada kedamaian sejati dan berkontribusi pada terciptanya dunia yang lebih baik, sesuai dengan tujuan luhur Dharma: Mokshartham Jagadhita ya ca iti Dharma.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun