Mohon tunggu...
cecilia thanawati
cecilia thanawati Mohon Tunggu... Mahasiswa

Pelajar

Selanjutnya

Tutup

Financial

Transfer Pricing dan Krisis Kepatuhan Pajak: Menelurusi Kasus Adaro Energy dan PT Kaltim Prima Coal

30 April 2025   20:33 Diperbarui: 1 Mei 2025   13:45 2301
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transfer Pricing PT Adaro dan PT KPC

Dalam lanskap ekonomi global yang semakin terintegrasi, praktik transfer pricing menjadi salah satu isu yang paling kompleks sekaligus sensitif dalam dunia perpajakan internasional. Isu ini kerap menjadi celah yang dimanfaatkan oleh perusahaan multinasional untuk mengalihkan keuntungan ke negara-negara dengan tarif pajak rendah. Indonesia, sebagai negara berkembang yang kaya akan sumber daya alam, termasuk di dalamnya sektor tambang, bukanlah pengecualian.

Krisis ekonomi global, terlebih saat pandemi COVID-19, menjadi momen yang memunculkan tekanan finansial besar bagi banyak perusahaan. Namun sayangnya, di tengah kesulitan tersebut, beberapa korporasi justru mengambil jalan pintas untuk menyiasati kewajiban pajak mereka. Dua perusahaan besar di sektor pertambangan Indonesia, PT Adaro Energy dan PT Kaltim Prima Coal (KPC), menjadi sorotan utama dalam perbincangan transfer pricing beberapa tahun terakhir.

Salah satu kasus yang mencuat adalah strategi bisnis PT Adaro Energy melalui anak perusahaannya di Singapura, Coaltrade Services International Pte Ltd. Dalam praktiknya, Adaro menjual batubara ke Coaltrade dengan harga di bawah pasar internasional. Setelah itu, Coaltrade menjual kembali komoditas tersebut dengan harga pasar yang sebenarnya kepada pembeli global. Singkatnya, laba mengalir ke Singapura negara dengan tarif pajak yang lebih rendah sementara Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak yang semestinya menjadi haknya. Pihak manajemen Adaro memang menyatakan bahwa transaksi dilakukan sesuai prinsip kewajaran (arm's length principle), namun struktur keuangan yang kompleks dan keuntungan yang tidak seimbang tetap memunculkan kecurigaan.

Cerita serupa juga menyelimuti PT Kaltim Prima Coal. Perusahaan ini diduga melakukan skema transfer pricing dengan menjual batubara ke afiliasinya, Indocoal Resource Limited, yang berbasis di Kepulauan Cayman salah satu surga pajak dunia. Indocoal kemudian menjual kembali batubara tersebut ke konsumen dengan harga pasar. Akibatnya, laba tidak tercatat di Indonesia, melainkan di wilayah dengan beban pajak yang hampir nol. Tak tanggung-tanggung, potensi kerugian penerimaan negara dari skema ini diperkirakan mencapai Rp 1,5 triliun.

Dua kasus besar ini mengungkap sejumlah persoalan mendasar dalam sistem perpajakan kita. Yang paling mencolok adalah perbedaan tarif pajak antarnegara, yang menciptakan peluang manipulasi lokasi pencatatan laba. Di sisi lain, keterbatasan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak dalam melakukan audit internasional, baik dari sisi sumber daya manusia maupun teknologi, juga turut memperparah situasi. Struktur perusahaan yang rumit dan tersembunyi di balik jaringan anak usaha di berbagai negara membuat pengawasan menjadi semakin sulit.

Masalah lain yang tak kalah penting adalah lemahnya regulasi terdahulu. Sebelum hadirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 213 Tahun 2016 yang mewajibkan dokumentasi lengkap transaksi antarperusahaan afiliasi, banyak transaksi terjadi tanpa catatan yang sistematis. Ini menciptakan area abu-abu yang mudah dimanipulasi oleh pihak-pihak berkepentingan.

Motivasi utama di balik praktik ini tentu tidak lepas dari dorongan ekonomi. Dalam situasi krisis, banyak perusahaan ingin mempertahankan likuiditas dan menekan beban pajak sebanyak mungkin. Apalagi, negara-negara berkembang seperti Indonesia sering kali memiliki keterbatasan dalam memperoleh informasi lintas batas, sementara perusahaan justru memiliki kendali penuh atas bagaimana transaksi dicatat dan dilaporkan. Lemahnya institusi perpajakan dan intervensi politik dalam proses hukum pun membuat penyelesaian sengketa pajak menjadi jauh dari ideal.

Dampaknya terhadap Indonesia sangat nyata. Negara kehilangan pendapatan besar dari sektor strategis seperti pertambangan, yang kemudian menambah beban fiskal. Untuk menutup kekurangan, pemerintah terpaksa mengandalkan pajak dari sektor lain, bahkan memperberat beban bagi UMKM dan individu wajib pajak yang sebenarnya sudah patuh. Perlahan, kondisi ini bisa menggerus kepercayaan publik terhadap sistem pajak dan negara.

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pemerintah perlu mengambil langkah serius untuk mencegah kasus serupa di masa depan. Penguatan regulasi transfer pricing adalah titik awal yang krusial. Semua transaksi afiliasi harus terdokumentasi dengan baik melalui dokumen Master File, Local File, dan Country-by-Country Report sebagaimana diatur dalam PMK 213/2016. Selain itu, kapasitas audit pajak juga harus ditingkatkan. Pembentukan unit audit internasional dan pelatihan dengan standar OECD menjadi penting, seiring dengan pemanfaatan teknologi seperti Big Data Analytics untuk melacak alur transaksi lintas negara.

Pertukaran informasi internasional melalui kerja sama seperti Automatic Exchange of Information (AEOI) juga harus diperluas. Di samping itu, penegakan hukum yang adil dan transparan, serta keterbukaan hasil audit kepada publik, bisa menjadi langkah penting untuk membangun kembali kepercayaan masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun