Suatu hari iseng-iseng mengetik lgbtq di search engine mbah gugel. Hanya penasaran dengan abjad 'q' di akronim itu sebenernya. Ndilalah kok malah muncul *lgbtqqiaap*.
Loh, makhluk apalagi ini?
Ternyata jenis mereka ini kian banyak dan panjang😁😅.
Aku kuatir nanti malah huruf abjad habis terpakai semua kalau mereka makin berkembang biak, eh berkembang maksudnya.
Membahas masalah sensitif gini kayak membahas soal matematika sama guru sastra.
Rumit😁.
Jadi ada orang berpendapat kaum disorientasi seksual harus ditolerir sebab mereka itu juga manusia.
Its okelah.
Tapi ya mbok jangan berharap cara tolerirnya akan sama.
Misalnya kalau kelompok sana menerima secara 'kaffah' segala cara hidup mereka, maka kaum sini bisa saja menerima untuk mengajak mereka kembali ke orientasi yang normal.
Kan sama-sama menerima?
Tapi justru di situlah sulitnya.
Mari sekarang kita urai saja sedikit.
Hasil ngobrol ngalor ngidul suatu hari di kede sayur si Lina, telah terjadi perdebatan seru antara kelompok si Tatik dan cs kentalnya si Lenni dengan kelompok si Mala dan cs kentalnya pula si Kuntet.
Si Tatik berkata, "Orang LGBT tu sudah hak orang tu lah kalau mau kek gitu. Apa hak awak ikut campur. Kolok memang itu pilihannya ya sudahlah. Kita toleransi."
Si Lenni mengamini dengan suara khas Bataknya, "Botulmu Kak Tatik. Kadang manusia ini suka usil," katanya sambil mengunyah bakwan.
Si Mala yang temperamental kontan berdengit.
Diambilnya terong di atas meja jualan si Lina. Sambil mengacung-acungkan terong ke wajah kedua rivalnya dia berpidato.
"Heh, Tatik, Lenni, kau bilang gitu kan karena bukan anak kau yang LGBT, tu. Coba anak atau cucu kau nanti jadi LGBT baru kau rasa."
Si Kuntet tak mau kalah, "Kurasa pun memang harus gitu, Kak Mala," timpalnya.
Kontan saja kedua sekondan Tatik /Lenni meradang. Segala kangkung dan bayam berganti-ganti diacung-acungkan sambil merepet. Si Lina memandangi dagangannya sambil ketar-ketir.
***
Ada benarnya juga pendapat si Mala itu. Di majalah Horison Sastra yang entah edisi ke berapa, sastrawan gaek Taufiq Ismail pernah menulis esai tentang pornografi dan pornoaksi. Saat itu tengah marak perdebatan tentang bagaimana defenisi yang tergolong pornografi atau pornoaksi itu.
Beliau menulis kira-kira begini: tak perlulah kita membuka-buka kamus bahasa Indonesia atau mencari-cari dalam ragam bahasa dunia untuk defenisi pornografi atau pornoaksi. Cukuplah kita ganti tokohnya. Misalnya jika Ibu, istri, atau putri kita memakai rok mini atau baju "you can see" berjalan-jalan di tempat ramai.
Jika kita merasa marah, malu dan merasa terhina, maka itu sudah termasuk porno. Suatu gaya yang kita tidak rela orang-orang terkasih kita melakukannya maka bisa saja itu pornografi atau pornoaksi.
Mungkin bisa kita analogikan dengan LGBTQ yang sekarang sudah berbiak menjadi LGBTQQIAAP itu.
Bisa saja sebagian orang berbusa-busa membela kaum yang merasa pilihan seksual adalah ranah pribadi mereka.
Lantas bagaimana jika yang menjadi kaum disorientasi seksual itu adalah orang-orang yang mereka cintai?
Masih mengatakan itu hak asasi?
Atau ingin merobek dunia ini karena mau melindungi orang tersayangnya?