Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Seandainya Orientasi Seksual Menghabiskan Abjad

1 Oktober 2020   08:00 Diperbarui: 1 Oktober 2020   08:01 41 5
Suatu hari iseng-iseng mengetik lgbtq di search engine mbah gugel. Hanya penasaran dengan abjad 'q' di akronim itu sebenernya. Ndilalah kok malah muncul *lgbtqqiaap*.
Loh, makhluk apalagi ini?
Ternyata jenis mereka ini kian banyak dan panjang😁😅.
Aku kuatir nanti malah huruf abjad habis terpakai semua kalau mereka makin berkembang biak, eh berkembang maksudnya.

Membahas masalah sensitif gini  kayak membahas soal matematika sama guru sastra.
Rumit😁.
Jadi ada orang berpendapat kaum disorientasi seksual harus ditolerir sebab mereka itu  juga manusia.
Its okelah.
Tapi ya mbok jangan berharap cara tolerirnya akan sama.
Misalnya kalau kelompok sana menerima secara 'kaffah' segala cara hidup mereka, maka kaum sini bisa saja menerima untuk mengajak mereka kembali ke orientasi yang normal.
Kan sama-sama menerima?
Tapi justru di situlah sulitnya.

Mari sekarang kita urai saja sedikit.
Hasil ngobrol ngalor ngidul suatu hari  di kede sayur si Lina, telah terjadi perdebatan seru  antara kelompok si Tatik dan cs kentalnya si Lenni dengan kelompok si Mala dan cs kentalnya pula si Kuntet.

Si Tatik berkata, "Orang LGBT tu  sudah hak orang tu lah kalau mau kek gitu. Apa hak awak ikut campur. Kolok memang itu pilihannya ya sudahlah. Kita toleransi."
Si Lenni mengamini dengan suara khas Bataknya, "Botulmu Kak Tatik. Kadang manusia ini suka usil," katanya sambil mengunyah bakwan.

Si Mala yang temperamental kontan berdengit.
Diambilnya terong di atas meja jualan si Lina. Sambil mengacung-acungkan terong ke wajah kedua rivalnya dia berpidato.
"Heh, Tatik,  Lenni, kau bilang gitu kan karena bukan anak kau yang LGBT, tu. Coba anak atau  cucu kau nanti jadi LGBT  baru kau rasa."

Si Kuntet tak mau kalah, "Kurasa pun memang harus gitu,  Kak Mala," timpalnya.

Kontan saja kedua sekondan Tatik /Lenni meradang. Segala kangkung dan bayam berganti-ganti diacung-acungkan sambil merepet. Si Lina memandangi dagangannya sambil ketar-ketir.
***

Ada benarnya juga pendapat si Mala itu. Di majalah Horison Sastra  yang entah edisi ke berapa, sastrawan gaek Taufiq Ismail pernah menulis esai tentang pornografi dan pornoaksi. Saat itu tengah marak perdebatan tentang bagaimana defenisi yang tergolong pornografi atau pornoaksi itu.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun