Mohon tunggu...
Rainy Yusuf
Rainy Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hobby

Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seandainya Orientasi Seksual Menghabiskan Abjad

1 Oktober 2020   08:00 Diperbarui: 1 Oktober 2020   08:01 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Suatu hari iseng-iseng mengetik lgbtq di search engine mbah gugel. Hanya penasaran dengan abjad 'q' di akronim itu sebenernya. Ndilalah kok malah muncul *lgbtqqiaap*.
Loh, makhluk apalagi ini?
Ternyata jenis mereka ini kian banyak dan panjang😁😅.
Aku kuatir nanti malah huruf abjad habis terpakai semua kalau mereka makin berkembang biak, eh berkembang maksudnya.

Membahas masalah sensitif gini  kayak membahas soal matematika sama guru sastra.
Rumit😁.
Jadi ada orang berpendapat kaum disorientasi seksual harus ditolerir sebab mereka itu  juga manusia.
Its okelah.
Tapi ya mbok jangan berharap cara tolerirnya akan sama.
Misalnya kalau kelompok sana menerima secara 'kaffah' segala cara hidup mereka, maka kaum sini bisa saja menerima untuk mengajak mereka kembali ke orientasi yang normal.
Kan sama-sama menerima?
Tapi justru di situlah sulitnya.

Mari sekarang kita urai saja sedikit.
Hasil ngobrol ngalor ngidul suatu hari  di kede sayur si Lina, telah terjadi perdebatan seru  antara kelompok si Tatik dan cs kentalnya si Lenni dengan kelompok si Mala dan cs kentalnya pula si Kuntet.

Si Tatik berkata, "Orang LGBT tu  sudah hak orang tu lah kalau mau kek gitu. Apa hak awak ikut campur. Kolok memang itu pilihannya ya sudahlah. Kita toleransi."
Si Lenni mengamini dengan suara khas Bataknya, "Botulmu Kak Tatik. Kadang manusia ini suka usil," katanya sambil mengunyah bakwan.

Si Mala yang temperamental kontan berdengit.
Diambilnya terong di atas meja jualan si Lina. Sambil mengacung-acungkan terong ke wajah kedua rivalnya dia berpidato.
"Heh, Tatik,  Lenni, kau bilang gitu kan karena bukan anak kau yang LGBT, tu. Coba anak atau  cucu kau nanti jadi LGBT  baru kau rasa."

Si Kuntet tak mau kalah, "Kurasa pun memang harus gitu,  Kak Mala," timpalnya.

Kontan saja kedua sekondan Tatik /Lenni meradang. Segala kangkung dan bayam berganti-ganti diacung-acungkan sambil merepet. Si Lina memandangi dagangannya sambil ketar-ketir.
***

Ada benarnya juga pendapat si Mala itu. Di majalah Horison Sastra  yang entah edisi ke berapa, sastrawan gaek Taufiq Ismail pernah menulis esai tentang pornografi dan pornoaksi. Saat itu tengah marak perdebatan tentang bagaimana defenisi yang tergolong pornografi atau pornoaksi itu.

Beliau menulis kira-kira begini: tak perlulah kita membuka-buka kamus bahasa Indonesia atau mencari-cari dalam ragam bahasa dunia untuk defenisi pornografi atau pornoaksi. Cukuplah kita ganti tokohnya. Misalnya jika Ibu, istri, atau putri kita memakai rok mini atau baju "you can see" berjalan-jalan di tempat ramai.

Jika kita merasa marah, malu dan merasa terhina, maka itu sudah termasuk porno. Suatu gaya yang kita  tidak rela orang-orang terkasih kita  melakukannya maka bisa saja itu pornografi atau pornoaksi.

Mungkin bisa kita analogikan dengan LGBTQ yang sekarang sudah berbiak menjadi LGBTQQIAAP itu.
Bisa saja sebagian orang berbusa-busa membela kaum yang merasa pilihan seksual adalah ranah pribadi mereka.
Lantas bagaimana jika yang menjadi kaum disorientasi seksual itu adalah orang-orang yang mereka cintai?
Masih mengatakan itu hak asasi?
Atau ingin merobek dunia ini karena mau melindungi orang tersayangnya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun