Mohon tunggu...
Rainy Yusuf
Rainy Yusuf Mohon Tunggu... Guru - Hobby

Mendengarkan, berbicara, membaca dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Apakah Ada Bedanya?*

27 September 2020   08:00 Diperbarui: 27 September 2020   12:00 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Memandangi bukit itu dari atas sini, kau tahu apa yang kurasakan? Aku kangen kamu. Setiap desir pepohonan di kejauhan. Setiap lekuk awan yang menghiasi langit. Latar biru di balik bukit yang hijau. Kelepak burung melintas di rerimbunan pepohonan. Semua itu mengingatkanku pada suatu waktu ketika hujan rintik-rintik turun pada suatu senja. Kau merengkuh bahuku dan membimbing berjalan dalam rinai hujan.

Tanpa berkata-kata, kecipak air terinjak kaki membuat suasana kian hening. Sepi. Tak ada yang kita perbincangkan. Sebab memang tak ada yang harus diperbincangkan. Semuanya sudah tertuang dalam sentuhan dan bias tatapan mata. Biarlah masing-masing hati kita menafsirkan apa yang tercipta dari pandangan dan pandangan.

Dapatkah kau memahami gelisahku? Aku gelisah mengingati saat-saat kita bersama mungkin tinggal menunggu waktu terakhir. Kita tak dapat melawan kekejaman waktu yang tak mungkin dibendung. Hanya untuk hari ini. Hanya untuk saat ini. Mari kita nikmati waktu yang masih tersisa. Tanpa kata. Tanpa air mata.

Engkau tahu apa yang kupikirkan?

Entah mengapa aku seolah baru tersadar, saat-saat bersamamu ternyata begitu berarti dan melenakan. Ada yang hanya dapat dinikmati dalam kebersamaan denganmu dalam diam. Dan hening. Dan saat ini.

Dan tahukah engkau apa yang tersisa?

Segala yang tertinggal di jejak langkah kita adalah segala yang tersisa. Canda. Tawa. Amarah. Sedih. Terluka. Haru. Semua. Hanya menyisakan bekas-bekas seperti jejak kaki di lumpur saat hujan. Tegas dan jelas pada awalnya. Namun kian memudar seiring waktu. Seiring gerusan pikiran melanda. Seiring gilasan masa menerpa. Dan mungkin suatu saat nanti hanya menyisakan bayang-bayang buram. Tapi akan selalu kukenang. Sebab aku turut mengukirnya dulu. Bersamamu.

Masih ingat ketika suatu waktu aku bertanya, "Dapatkah waktu berhenti sejenak?"

Aku mendapat seulas senyummu sebagai jawabannya. Engkau tahu pertanyaanku tak butuh jawaban. Engkau juga tahu itu hanya kegelisahan yang sama yang tak sanggup kau ucapkan. Sebeb aku juga tahu kaupun berharap waktu berhenti. Saat ini. Saat angin sepoi-sepoi menguarkan bau rerumputan segar basah. Saat keheningan terlalu lesap ke dasar rasa yang terdalam. Saat awan tebal bergulung di atas bukit sana pun terasa indah. Lantas apalagi yang kita harapkan? Kita ingin waktu terhenti di sini. Namun itu mustahil terjadi.

Mengapa perpisahan terasa begitu getir?

Mungkin hanya cara kita merasakannya yang berbeda. Sebab sebenarnya saat perpisahan ini tak ada bedanya dengan saat pertemuan kita dulu. Hanya saja kita meletakkannya di sebelah hati yang berbeda.

Di langit bulan menggantung bulat penuh. Seandainya kau pun memandang bulan itu saat ini, ingatlah bait-bait lagu yang pernah kita nikmati bersama. Aku tengah mendengar syair-syairnya.

....apakah ada bedanya...
Ketika kita bertemu dengan saat kita berpisah?
Sama-sama nikmat..
Tinggal bagaimana kita menghadapi..
Di belahan jiwa yang mana kita sembunyikan
Dada yang terluka, duka yang tersayat...
Rasa yang terluka....*

Kotapinang, 1 Juni 2015
*by Ebiet G. Ade

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun