Saya tersenyum. Ada sesuatu yang berbeda dan super wow dari anak saya di pagi ini. Senyumnya berkibar-kibar tanpa rem, tatapannya ceria berapi-api, dan gerakan tubuhnya riang mencipratkan suasana yang girang.Â
"Wow, you're so happy", lontaran kata pengantar saya sebelum mencium kening dan kepalanya yang harum. Ia pun memandang saya, tersenyum dalam diamnya.Â
Saya tahu.. ia sedang melakukan sesi processing, mengecek apakah ibunya pantas untuk ia ceritakan tentang kabar gembira ini, apakah ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakannya, dan apakah ibunya akan merespon sesuai dengan harapannya.Â
Satu menit sesi processing fufff... terasa begitu lama, sama seperti saat melakukan plank -nyeri yang berkepanjangan namun menguntungkan bagi otot. Saya menikmati menit ini dengan deg-degkan, bukan karena tidak bisa menebak ceritanya, tapi lebih deg-degkan karena menantikan keputusan si anak - akankah ia memberi kepercayaan pada sang Ibu?
Akhirnya, ia menceritakannya. Mereka jadian tadi malam. Kirrrrr! Mereka officially jadi pacar.
"Gimana menurut Ibu?"
"Gimana apanya, Dik?"
"Ya, gimana dia?"Â
"Oh... ya.. sepertinya dia anak yang care, baik.. tanggung jawab juga". Saya landaskan jawaban ini dengan apa yang saya lihat dan saya rasakan saat kami naik gunung bersama.Â
"Tapi dia baik seperti itu ke semua orang lho Bu."Â
"Maksud Adik?"Â
"Ya... Adik jadi ga bisa ngerti, dia itu bener-bener suka atau ngga." Ia pun menceritakan keraguannya sebelum mengiyakan karena Sang Arjuna juga baik dan care ke semua orang.
"Lah trus kenapa Adik mau jadi pacarnya?"
"Hehe.. ya karena dia baik, Bu".Â
"Ya udah... Berarti udah kejawab kan? Ga perlu dipikir lagi. Tinggal sekarang gimana caranya... hubungan ini bisa membuat Adik lebih semangat lagi, kan?"Â Ia mengangguk kecil.Â
"And one more thing.. I'm happy for you, Dik". Sang ibu memastikan anaknya mendengar ungkapan perasaannya.
Yah sebagai seorang ibu, bohong banget kalau tidak memiliki rasa khawatir saat sang anak memiliki hubungan asmara. Rasa khawatir ini bukanlah tanpa alasan.
Berita tentang remaja yang mengandung karena berhubungan terlalu jauh, postingan-postingan seks bebas tanpa saring di media sosial yang mudah diakses, dan gaya pacaran teman-temannya yang 'dianggap' modern tanpa tahu batas; semuanya bersliweran di sekitarnya.Â
Saya sendiri sebagai ibu memutuskan untuk tidak melenyapkan rasa khawatir ini. Saya menggunakan rasa ini sebagai batasan dan pengingat untuk memberi nasihat sehingga sang anak tidak kebablasan. Namun, saya juga tidak mem-blow-up-nya sehingga membuat stres diri sendiri serta memporak-porandakan perasaan anak dan batas privasinya.Â
Lantas, apa dong yang bisa para ibu lakukan di tengah kekhawatirannya?
Put First Thing First: Berdoa.