Mohon tunggu...
Cataleya Arojali
Cataleya Arojali Mohon Tunggu... Buruh -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Horor

18 Mei 2016   21:24 Diperbarui: 18 Mei 2016   21:58 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Balajar Nulis Cerpen Horor

Suasana kampung ceherang sangat mencekam ketika terdengar desas-desus munculnya hantu tentara Belanda yang berkuda beriringan di jalan setapak di kampung itu. Seluruh warga tak ada yang berani keluar selepas ba'da magrib. Sehingga kampung yang tampa penerangan jalan semakin sunyi mencekam.

Tapi tidak untuk kedua lelaki ini, sebagai petugas keamanan kampung yang harus menjalankan tugasnya menjaga keamanan kampung. Kedua lelaki itu bernama Pairun dan Adi.

"Run, emang benar isu ada hantu tentara berkuda melewati kampung kita?" bertanya Adi sambil menyorotkan lampu senternya ketempat pojokan rumah warga.

"Kata orang-orang yang melihat katanya, iya!" menjawab Adi dan merasa bulu tengkuknya berdiri. "Dah ah, jangan di omongin, jadi takut nih, ronda."

"Loe takut!" kata Pairun.

"Takut sih ...."

"Ah loe mah, cuma katanya doang kok takut!" kelakar Pairun sambil terus memandang tajam agar terlihat jika ada yang mencurigakan. "Itukan hanya sebagian orang yang melihat. Kecuali jika kita melihatnya sendiri."

Adi berdiam, ada perasaan was-was malam itu. Sedangkan malam itu bertepatan dengan malam jumat, maka malam yang seram itu bertambah manakutkan.

"Duh, malam jumat lagi!" kata Adi.

"Emang kenapa kalau malam jumat," sahut Pairun.

"Horor ...," jawab Adi sengit.

Tiba-tiba terdengar suara, Gusrakk....

"Apaan tuh, Run!" Adi terperanjat kaget ketika terdengar suara kekresekan di pohon asem yang lebat dan rindang. "Astagfirullah ... astagfirullah ...." Adi latah beristigfar.

Pairun mengarahkan senternya tepat kearah suara kekresekan itu dibatas pohon asem. Tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Ketika sorotan sinar itu menerangi dimana suara kekesrekan berasal, daun pohon asem itu pun diam. Beberapa kali Pairun menyorotkan lampu senternya ke semua dahan asem itu. "Gak ada apa-apa ah!" katanya.

"Apaan tadi tuh ya?"

"Ah, paling kempret, Di!" 

"Ya udah, cepetan nyo!" berkata Adi, merasa takut ingin menggunakan langkah seribu.

Mereka pun meneruskan langkahnya. Tapi baru beberapa langkah, sayup-sayup terdengar suara wanita sedang menangis lirih. Terdengar sangat menyayat hati. Suaranya jauh tapi seperti di rongga telinga. Sontak Pairun berkata keras,

"Lariiii ..."

Adi yang memang sudah siap sedari tadi, langsung melompat dan berlari kencang seperti di kejar setan, meskipun setannya belum mengejar.

Berlari tunggang-langgang sampailah di sebuah gardu Pos Kamling di kelokan jalan. "Buset dah, benar aja!" seru Adi dengan napas tersengal-sengal, dadanya kembang kempis, ia mengatur napas dalam.

Namun tidak untuk Pairun, ia hanya tertawa mengelitik. Sebenarnya dia tak takut, hanya saja ingin menakuti Adi yang memang sudah sangat pucat. "Xi ... xi ... xi ... Lucu kamu Adi!" sambil memegang perutnya, "badan doang besar, sama suara cewek nangis aja takut!"

"Kuntilanak, setaan ...," bentak Adi keras. Napasnya masih kembang kempis, lalu ia duduk di gardu pos itu. "Uh, amit-amit jabang bayi dah di temuin setan. Jangan lagi-lagi dah!"

Tak lama dari arah kanan, pedagang nasi goreng datang. 

"Nah, ada tukang nasi goreng!" berkata Pairun. "Perutku sedikit lapar, bagaimana kita pesan nasi goreng!"

Adi hanya mesem-mesem. Pairun tahu isyarat wajah Adi jika dia minta di traktir.

"Okey, aku bayarin loe."

Adi tersenyum kecil. "He ... he ... he ... kebetulan aku juga lapar, makasih sobat."

Sedangkan Bang Juki, pedagang nasi goreng, melihat Pairun dan Adi menatap gerobaknya, sudah terbesit di hati kedua orang itu akan memesan nasi gorengnya. "Alhamdulilah, masih ada pembeli," batinnya. 

Tok

Tok

Tok

"Nasi goreng ...," pekik Bang Juki.

Pairun berkata setelah gerobak Bang Juki mendekat. "Nasi goreng Bang, dua ya ...." Bang Juki segera menyisikan gerobaknya. Dinyalahkan kompor lalu siap untuk menggoreng nasi dua piring sekaligus.

"Lagi ronda Bang?" tanya Bang Juki membuka obrolan agar lebih nyaman kepada pembeli.

"Iya nih, apalagi habis lari-larian," ujar Pairun menjawab sambil menoleh kearah Adi cengenges maksudnya meledek Adi.

Tak lama tampa sepengetahuan Pairun dan Adi juga Bang Juki, seorang lelaki berdiri tegap di samping gerobak Bang Juki sambil berkata dengan nada dingin dan wajah beku. "Nasi goreng Bang ...."

"Oh ya, dibungkus apa makan di sini?" jawab Bang Juki sembari mengaduk nasi gorengnya tampa memperhatikan lagi lelaki itu.

"Dibungkus Bang ..." jawab lelaki itu masih dengan suara dingin.

"Berapa bungkus?" tanya lagi Bang Juki.

"Satu Bungkus!"

Nasi goreng pesanan Pairun dan Adi pun selesai. Dua piring di rentangkan, lalu nasi goreng siap saji di hidangkan untuk Pairun dan Adi. Tampa baca bismilah lagi mereka menyantap nasi goreng itu dengan lahapnya tampa melirik untuk menawarkan kepada lelaki yang berdiri di samping gerobak Bang Juki.

Nasi goreng pesanan lelaki itu pun selesai. Kertas pembungkus dilebarkan lalu dituangkan nasi gorengnya. Tampak masih panas nasi goreng itu, terbukti adanya asap mengebul ke atas. Kemudian Bang Juki membungkusnya dan dimasukan ke kantong plastik ukuran kecil. Lalu diserahkan ke lelaki itu yang sedari tadi diam tak bergerak walaupun sekedar menggaruk. Wajahnya dingin suaranya berat. Lelaki itu pun memberikan uang lembaran sebesar Lima Puluh Ribu Rupiah.

Bang Juki mengambilnya lalu membuka laci uang untuk membalikan kembalian uang itu, tapi lelaki itu berkata, "Ambil saja kembaliannya!" Setelah berkata begitu, lelaki itu membalikan badan dan lekas melangkahkan kaki ke arah ujung jalan dekat pohon petay cina.

"Tapi ini kembaliannya sangat besar!" seru Bang Juki sambil menyerahkan lembaran uang kembalian. Tapi aneh, lelaki itu cepat sekali menjauh, tahu-tahu sudah di ujung mata memandang. "Buset, cepat amat tuh orang jalannya!" batin Bang Juki sambil kembali memasukan lembaran  uang kembalian lelaki itu ke laci.

Pairun yang asik menikmati nasi gorengnya, lalu melihat lelaki itu berjalan lambat tapi cepat menjauh seperti tidak menapak. Ada keanehan pada lelaki itu ketika Pairun menajamkan pandangannya kearah lelaki itu yang hampir tertelan gelap, ia melihat bungkusan nasi goreng tampak besar dan bulat. Padahal, bungkusan nasi goreng itu kecil, tapi kenapa lelaki itu menjauh tiba-tiba bungkusan nasinya membesar, sebesar kepala.

"Bang itu dia beli nasi bungkus berapa?" tanya Pairun.

"Satu!" jawab Bang Juki cepat.

"Tapi kok, bungkusannya seperti beli sepuluh bungkus?!"

Bang Juki kembali menoleh ke orang itu. Ia pun melongong merasa aneh, kok seperti membawa kepala. Bentuknya bulat dan hitam. Setelah tersadar karena Bang Juki memandang keatas tepat kearah kepala lelaki itu, sontak Bang Juki berteriak keras.

"Orang itu, orang itu, orang itu kepalanya buntuung ....!" tanpa ambil aba-aba, Bang Juki lari secepat kilat

Kini pairun yang menoleh lekat kearah lelaki itu. Benar, ternyata lelaki itu sedang menenteng kepalanya sendiri. Lelaki kuntung tampa kepala.

"Han, han, hantuuuuu ...." Pairun segera melompat tunggang langgang di susul Adi sampai kecepirit.

 

TAMAT

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun