Mohon tunggu...
Carni Sitiani
Carni Sitiani Mohon Tunggu... Mahasiswa

Memasak

Selanjutnya

Tutup

Diary

Takut Ketinggalan? FOMO Bisa Jadi Racun yang Tak Terlihat

21 Juli 2025   10:59 Diperbarui: 21 Juli 2025   10:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

        Beberapa waktu lalu, aku pernah merasa hidupku benar-benar stagnan, Hari-hariku dipenuhi rutinitas yang biasa aku lakukan setiap hari, lalu scroll media sosial. 

       Disinilah semuanya mulai terasa aneh. Teman-teman posting pencapaian karier, pamer foto pergi jalan-jalan dll. Dan aku? Masih ditempat yangs ama, dengan pekerjaan itu-itu saja, dan mimpi-mimpi yang belum sempat terwujud.

Rasa cemas mulai merayap pelan. Ada bisikan kecil di kepala "Kok kamu belum sampai kemana-mana?" atau "Orang lain udah jauh, kamu masih gini-gini aja." Awalnya kupikir itu cuma perasaan lewat. Tapi ternyata tidak. Itu FOMO (Fear of Missing Out), dan ternyata itu nyata.

FOMO itu diam-diam menyusup ke dalam kepala dan membuat hati gelisah tanpa sebab yang jelas. Kadang aku merasa malu hanya karena tidak "ikut tren".

Aku mulai mempertanyakan banyak hal dalam hidupku. Mengapa aku belum bisa punya pencapaian yang bisa dibanggakan? Kenapa aku tidak sekeren mereka yang terlihat begitu berhasil di layar ponselku? Aku mulai kehilangan arah, bahkan lupa caranya menikmati hidup yang tenang dan sederhana.

Aku mulai menyadari FOMO itu bukan rasa iri. Ia bisa menyelinap jadi rasa gelisa terus-menerus, dorongan untuk ikut-ikutan, bahkan rasa bersalah karena "nggak cukup produktif."

Pernah satu malam, aku merasa sangat lelah, tapi tetap memaksa ikut webinar yang sebenarnya tidak aku butuhkan, hanya karena hampir semua orang di linimasa mendaftar. Aneh, ya? tapi aku yakin, aku tidak sendiri.

FOMO mengajakku berlari mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar aku butuhkan. Dan dalam pelarian itu, aku mulai kehilangan diriku sendiri. 

Aku lupa menikmati proses, lupa bahwa setiap orang punya waktunya masing-masing. Aku terlalu sibuk membandingkan bab hidupku dengan highlight bab orang lain yang bahkan tidak kuikuti sepenuhnya ceritanya.

Setelah merasa cukup lelah dengan pola pikir itu, aku mulai pelan-pelan mengubah caraku melihat hidup. Pertama, aku berhenti sejenak dan mengakui "Ya, aku FOMO."  Hanya dengan memberi nama pada perasaan itu, aku bisa mulai memilah mana kebutuhan asli dan mana tekanan sosial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun