Lingkungan Kampus Seharusnya Jadi Tempat Berinovasi, Bukan Intimidasi bagi Korban Kekerasan Seksual
Kampus idealnya menjadi ruang terbuka yang mendukung mahasiswa untuk berinovasi, mengembangkan potensi, dan berkarya tanpa rasa takut. Namun, kenyataan yang sering terjadi di sejumlah kampus justru jauh dari harapan itu. Kekerasan seksual dan intimidasi kerap menciderai lingkungan akademik yang sejatinya haruslah aman dan nyaman. Perilaku ini tidak hanya melukai korban secara fisik dan psikologis, tetapi juga merusak reputasi dan fungsi institusi pendidikan itu sendiri.
Kampus: Ruang Berinovasi Namun Rentan Kekerasan Seksual
Komnas Perempuan melaporkan adanya peningkatan kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi, dengan 82 kasus dilaporkan antara tahun 2021-2024. Pemerintah melalui Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual telah mengatur pencegahan, penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban di perguruan tinggi. Namun, penegakan hukum dan perubahan budaya di lingkungan kampus masih perlu diperkuat untuk menjamin ruang yang aman dan bebas dari kekerasan seksual. Selain itu, berdasarkan laporan di Universitas Padjadjaran, kekerasan seksual di kampus acap kali tersembunyi dan sulit dilaporkan karena prosedur yang rumit, ketakutan korban, serta minimnya perlindungan dari institusi. Situasi ini menyebabkan korban mengalami trauma berkepanjangan, termasuk gangguan mental seperti depresi dan PTSD, serta menghambat proses akademik mereka.
Mengapa Lingkungan Kampus Harus Berubah?
Kampus adalah tempat lahirnya kreativitas dan karya yang menggerakkan masa depan bangsa. Oleh karena itu, lingkungan kampus harus menjadi ruang yang memupuk rasa aman dan inklusif, bukan menakuti dan menebar intimidasi. Institusi pendidikan harus memegang komitmen moral dan etis yang tegas untuk melindungi seluruh sivitas akademika, terutama korban kekerasan seksual. Hal ini sejalan dengan upaya yang sedang digalakkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia yang mendorong penerapan empat prinsip utama: pencegahan melalui edukasi, kemudahan pelaporan, perlindungan bagi pelapor dan penyintas, serta tindak lanjut yang tegas terhadap pelaku.
Langkah konkret yang dapat diambil adalah membangun mekanisme pelaporan yang mudah diakses dan ramah korban,seperti membangun sistem pelaporan yang aman dan transparan, memberikan pendampingan psikologis, serta mengedukasi seluruh civitas akademika tentang pentingnya menghormati hak dan martabat setiap orang. Kampus yang sehat adalah kampus yang melindungi seluruh anggotanya dari segala bentuk kekerasan.. Kampus harus menyediakan layanan pendampingan sebaya maupun profesional yang mampu membantu korban merasa didukung dan aman dalam melaporkan kasusnya. Selain itu, kampus perlu mengimplementasikan teknologi keamanan, seperti pemasangan CCTV di area rawan dan aplikasi darurat yang dapat meningkatkan respon cepat terhadap insiden kekerasan. Paling penting, seluruh elemen kampus dari pimpinan, dosen, tenaga kependidikan, hingga mahasiswa harus bersama-sama mengambil sikap aktif melawan kekerasan seksual dan intimidasi. Menghindari diri untuk diam adalah bentuk toleransi yang memperpanjang ketidakadilan.
Data Pendukung dan Contoh Nyata
Survei dari Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa kurang dari 30% korban kekerasan seksual di kampus melapor ke pihak berwenang. Salah satu alasan utama adalah rasa takut mengalami intimidasi dan stigma sosial. Hal ini menunjukkan perlunya kampus menciptakan budaya yang mendukung keterbukaan dan keadilan.Beberapa universitas di Indonesia telah mulai menerapkan program anti-kekerasan seksual dengan menyediakan layanan konseling dan hotline khusus. Misalnya, Universitas Gadjah Mada yang membuka Unit Pelayanan Terpadu untuk korban kekerasan seksual dan melakukan kampanye kesadaran secara rutin. Program seperti ini patut dijadikan model untuk kampus lain.
Kesimpulan: Kampus Harus Jadi Zona Aman dan Kreatif
Kampus harus menjadi komunitas yang solid, saling menjaga dan mendukung, di mana kekerasan tidak lagi mendapat ruang dan inovasi tumbuh subur. Mewujudkan kampus bebas intimidasi bukan sekadar rutinitas administratif atau kewajiban formalitas Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Lebih dari itu, ini adalah perjuangan kolektif untuk menjadikan kampus sebagai "rumah kedua" yang aman dan memberi kesempatan bagi seluruh anggota komunitasnya untuk belajar dan berkreasi tanpa rasa takut.