"Aku terlalu emosian, maaf ya."
Pernah dengar kalimat itu? Atau mungkin kamu sendiri yang sering mengatakannya.
Di masyarakat kita, emosi sering dianggap sebagai kesalahan. Kita dibesarkan untuk percaya bahwa semakin sedikit kamu menunjukkan perasaan, semakin dewasa kamu. Padahal, dewasa itu bukan tentang menekan emosi---tapi tentang tahu cara memahaminya.
Bayangkan kamu sedang nyetir, dan tiba-tiba dashboard mobilmu menyala: "Check Engine."
Apa yang kamu lakukan?
A. Panik, lalu kamu matikan lampu indikator pakai lakban.
B. Pura-pura nggak lihat dan terus jalan.
C. Berhenti sebentar, cek kondisi mobil, dan cari tahu apa yang salah.
Sayangnya, kebanyakan dari kita memperlakukan emosi seperti opsi A atau B. Kita menekan, mengabaikan, atau malah merasa bersalah karena merasakan sesuatu. Padahal, emosi seperti dashboard mobil: mereka tidak ada untuk menghancurkan kita, tapi untuk memberitahu kita ada sesuatu yang perlu diperhatikan
Marah bisa jadi tanda bahwa batasmu dilanggar.
Takut bisa jadi sinyal akan potensi bahaya.
Sedih bisa jadi refleksi bahwa kamu sedang kehilangan sesuatu yang penting.
Dan senang? Itu pertanda bahwa kamu sedang sejalan dengan nilai dan kebutuhanmu.
Sedikit pelajaran singkat (dan santai) tentang otak:
Di dalam kepala kita, ada bagian kecil berbentuk seperti kacang almond yang disebut amigdala. Dialah yang pertama kali bereaksi saat kita merasa takut, marah, atau terancam. Ia cepat, instingtif, dan kadang dramatis.
Tapi ada juga korteks prefrontal, bagian otak yang lebih rasional. Ia seperti "manajer logika" yang membantu kita memproses informasi dengan tenang dan masuk akal.
Masalah muncul ketika kita cuma pakai salah satunya.
Terlalu dominan amigdala kita reaktif, mudah meledak, atau panik.
Terlalu dominan logika kita jadi dingin, mati rasa, atau memutus koneksi dengan perasaan sendiri.
Yang sehat adalah kolaborasi.
Merasa dulu, pikirkan kemudian.
Atau dalam kata lain: dengarkan dulu emosimu, baru tentukan tindakanmu.
Penting untuk diingat:
Emosi itu valid, tapi belum tentu faktual.
Contoh: Kalau kamu merasa "nggak disukai", itu valid perasaanmu nyata. Tapi itu belum tentu benar secara fakta. Bisa saja itu persepsimu karena pengalaman masa lalu atau overthinking sesaat.
Kalau ketika emosi datang, kita bingung harus apa.
Tapi hari ini kamu sudah mengambil langkah pertama: menyadari bahwa emosi bukan musuh. Mereka cuma data---dan kamu punya hak untuk mendengarkan, memproses, lalu meresponsnya dengan cara yang sehat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI