3. Friedrich Nietzsche (1844--1900): Keberanian Mengatakan "Ya" pada Kehidupan
Nietzsche membawa arah baru dalam berpikir positif melalui filsafat eksistensialisme. Ia memperkenalkan konsep The Will to Power, Ja Sagen (menyatakan "ya" pada kehidupan), dan Amor Fati (mencintai takdir).
Bagi Nietzsche, kehidupan adalah energi yang terus berkembang dan mencipta makna. "Berpikir positif" dalam pandangannya bukan sekadar optimisme pasif, tetapi keberanian untuk menegaskan hidup, termasuk penderitaan dan kekacauan di dalamnya.
Nietzsche menulis : "Amor Fati: Let that be my love, not merely to bear what is necessary, but to love it."
Sikap Amor Fati menuntut manusia untuk tidak sekadar menerima nasib, tetapi mencintainya secara penuh. Hal ini melatih manusia untuk melihat penderitaan sebagai bagian alami dari pertumbuhan.
Jika Stoikisme mengajarkan penerimaan, maka Nietzsche mengajarkan penerimaan aktif, yaitu mencintai setiap aspek kehidupan dengan semangat kreatif.
Dalam kehidupan modern, gagasan Nietzsche menumbuhkan keberanian menghadapi tantangan hidup tanpa keluhan. Ia mengajak manusia untuk berkata "ya" pada kenyataan dan memaknai setiap pengalaman sebagai peluang menjadi lebih kuat.
Friedrich Nietzsche adalah filsuf Jerman yang mengajarkan semangat hidup positif melalui dua konsep utama: The Will to Power dan Ja Sagen.
The Will to Power berarti dorongan batin manusia untuk berkembang, menaklukkan kelemahan, dan menciptakan makna hidupnya sendiri. Hidup sejati bukan tentang menguasai orang lain, tetapi menguasai diri dan terus tumbuh menjadi lebih kuat.
Ja Sagen berarti "mengatakan ya" pada kehidupan secara utuh, menerima suka dan duka, kegembiraan dan penderitaan, sebagai bagian dari proses menjadi manusia. Dari sini lahir sikap Amor Fati, yaitu mencintai takdir apa adanya.