Mohon tunggu...
Cantika Muhrim
Cantika Muhrim Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Pegiat Kemanusiaan dan Perubahan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pertama Tak Pernah Mati

15 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 4 April 2020   02:43 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Grimis turun. Waktu menunjukan pukul 23:00 . ayah sesak napas lagi, kali ini terlihat lebih sakit dari sebelumnya. Tatapannya kosong, ayah taklagi mengenali siapapun , tak lagi merespon apapun baik dalam bentuk pergerakan ataupun isyarat mata. Ayah tak lagi bisa melakukan apapun selain napasnya yang naik turun. Ayah sekarat. Sulit untuk percaya, tapi itulah kenyataannya.

Keluarga dan teman teman dekat ayah mulai berdatangan. Ada yg mengaji disisi ayah, ada yg hanya menatapnya iba. Sedang bunda tetap disisi ayah menuntun nya mengucapkan lafadz allah. Pelan, tapi ayah mengikutinya. Air mata mengalir di pipi ayah, tiba tiba nafasnya tak lagi naik turun, Matanya tak lagi berkedip, ayah terdiam.

Dan ya, Ayah pergi pada malam yang mendung, semesta seolah berduka malam itu.

Hati dan organ organ lain tak lagi bisa menyokong aktifitas tubuhnya. Pada akhirnya, jantung ayah berhenti berdetak dan beliau menghembuskan nafas terakhir.

Ayah pergi dengan sangat damai, mengucap lafadz syahadat sendiri, melipat tangan layaknya gestur orang ingin solat, ayah menutup mata seperti seorang bayi yang sedang tertidur pulas. Ayah tak lagi merasakan sakit.

Bunda terlihat lebih tegar. Diambilnya telfn genggam untuk mengubungi mba evi. Rasanya belum siap untuk memberi kabar ini. Mba evi adalah orang yang selalu mendampinginya sejak pertama sang suami dirawat.

" hallo nilam, ada apa? Mas ferdi gmn keadaan?"  mulut bunda seolah terkunci tak bisa berkata apa apa mendengar suara mba evi di ujung tlfn.

" mas ferdi udah ngga ada mba" air mata perlahan meleleh di pipi nya

Rasanya mengucapkan satu kalimat itu, kepergian ayah menjadi begitu nyata. Seolah kejadian tadi, bukan hanya sekedar mimpi buruk yang akan berakhir ketika membuka mata.

Terdengar suara tangis mba evi pecah di ujung tlfn " mba pulang pagi ini"  lanjutnya disela sela tangis.

Jenazah ayah siap dipulangkan ke rumah duka. Bunda mengapus air matanya. Mengeluarkan lagi mantra penguat. Kali ini bukan untuk suami nya, tapi untuk dirinya sendiri. " saya harus kuat , demi dhiera anak kita mas" bisiknya dalam hati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun