Mohon tunggu...
Cantika Muhrim
Cantika Muhrim Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Pegiat Kemanusiaan dan Perubahan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pertama Tak Pernah Mati

15 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 4 April 2020   02:43 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sesak sekali , bunda tak sanggup mengucap satu katapun. Hancur sekali, hatinya remuk. Dan dia tau, perasaan yang sama juga sedang dirasakan suaminya.

Tangannya mencengkram erat baju ayah, Sambil menghela napas perlahan berusaha menguatkan diri sendiri. Bunda mengeluarkan lagi mantra penguatnya. " bisa ayah, bisa, mari berjuang" bahu bunda berguncang pelan, menangis tanpa mengeluarkan suara. Langit seolah juga berduka malam itu , menyaksikan dua insan yang saling mencintai menangis menguatkan.

6 hari berlalu.  Waktu menunjukan pukul 6 sore. Diruangan dokter yang merawat ayah, bunda dan salah satu sahabat ayah mba evi sedang berbincang serius.

Memperhatikan detail penjelasan dokter tentang kondisi terkini ayah.

Ada tumor di hati pasien. Ada cairan di lambungnya juga. Pasien mengalami banyak komplikasi. Penyakit yang sudah lama sepertinya. Namun tidak pernah mendapatkan penanganan. Skarang stadiumnya sudah lanjut, susah disembuhkan. Pengobatan terbaik sudah diberi, selebihnya ada pada kehendak tuhan .

Bunda menghela nafas dalam, ada hancur yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar pernyataan dokter barusan. Tapi ia sudah berjanji pada diri sendiri untunk tetap kuat dan tidak boleh menangis. Bunda terlihat tegar sekali, tangannya menggenggam tangan mba evi erat. Hanya dari tatapan mereka berdua saling menguatkan.

Selesai konsultasi bunda dan mba evi menyempatkan diri untuk solat maghrib di mushola rumah sakit. Memanjatkan doa kepada Allah dengan aamiin paling serius untuk kesembuhan ayah.

Disela sela zikirnya bunda termenung, Belum cukup 3 tahun mereka menikah tapi telah diguncang cobaan seberat ini. Wajah dhiera anak satu satunya mereka tergambar jelas. Bagaimana nasib anak itu nanti ya ketika harus kehilangan ayahnya. Bagaimana putri kecilnya akan besar tanpa belas kasih seorang ayah. Air matanya mengalir lagi, kata kata dokter tadi sore terngiang ngiang dikepalanya. Ah, membayangkan seandainya sang suami akan pergi meninggalkannya saja otaknya hampir pecah. hati kecilnya berbisik. Allah, sembuhkan suami nya itu.

" nilam, yuk. Jangan lama lama disini , dikamar abang sendiri, hanya ditemenin mama." panggilan mba evi membuyarkan lamunan bunda.

Mereka bergegas menuju kamar dimana ayah dirawat. Ketika membuka pintu ruang rawat mereka disambut dengan senyuman ayah. Senyum pertama ayah setelah terkulai berhari hari dirumah sakit.yang ternyata juga adalah senyum terakhir yang ayah tunjukan.

ayah sudah tidak bisa bicara lagi. Ia hanya bisa berkomunikasi dengan isyarat mata & mimik wajah saja. Badan badan nya pun sulit untuk digerakan. Otot ototnya mengendur, kulitnya perlahan menggosong karena terlalu banyak mengonsumsi obat obatan, tulang tulangnya menonjol di permukaan kulit. Penyakit itu mulai menyedot energinya hingga yang tersisa hanyalah jiwa dalam tubuh yang lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun