Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Membagi-bagikan Uang, Apakah Seorang Caleg Sudah Pasti Terpilih?

9 April 2019   12:16 Diperbarui: 9 April 2019   12:33 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menunjukan 84 kardus berisi uang dalam pecahan Rp50 ribu dan Rp20 ribu yang jumlahnya Rp8 miliar saat jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta | Foto/SINDOnews/Raka Dwi N

Waktu tersisa untuk melakukan kampanye tidak lama lagi. Minus 8 hari lagi menuju meja altar eksekusi suara. Hari pencoblosan sudah ditetapkan oleh KPU RI tepatnya hari Rabu (17/04/2019). Selama lebih kurang 10 jam nasib seorang caleg ditentukan nasibnya oleh sebatang paku pencoblos.

Persaingan sengit dalam pemilu legislatif pada Pileg 2019 tidak kalah sengitnya dengan pemilu-pemilu lalu sebelumnya. Zona persaingan seorang caleg pun dibagi dua. Pertama persaingan internal atau sesama caleg dalam satu partai bahkan satu kepengurusan. Kedua persaingan eksternal yaitu menurut daerah pilihan (dapil).

Persaingan ketat baik internal maupun eksternal menandakan bahwa untuk menjadi caleg saja tidak mudah padahal itu belum tentu juga menjadi anggota legislatif atau terpilih. Memang tidak ada jalan lurus menuju gedung parlemen dengan sistim pemilu kita sekarang. Dengan sistim semi terbuka (distrik) membuat seorang caleg harus merancang beragam strategi. Bahkan ada yang nekat membagi-bagikan uang agar ia dipilih oleh masyarakat.

Namun dapatkan dijamin dengan politik uang (membagi-bagikan uang) pasti terpilih? Atau apakah caleg yang terpilih itu lebih karena faktor popularitas? Karena ada pemahaman publik selama ini bahwa caleg yang populer akan lebih berpeluang untuk dipilih dibandingkan caleg yang kurang terkenal.

Dengan semakin dekatnya pemilu, semakin banyak para caleg yang sibuk menawarkan dirinya untuk menjadi pilihan utama calon pemilih. Maaf, mungkin ada kawan saya hampir menyamakannya dengan wanita jalanan yang lihai menjajakan dirinya dipinggir jalan.

Ada caleg yang membawa dan membagi-bagikan kartu nama yang disitu tertera foto, nomor urut, nama partai, dan ia mencalonkan diri sebagai apa, misalnya capres, caleg DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi atau akau kabupaten/kota, gubernur, bupati, dan sebagainya. Lalu siapakah yang terpilih?

Menurut Dr. Erdi, M.Si. mereka yang tepilih adalah yang memiliki sekurang-kurangnya 3 hal, yaitu popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Ketiga kata kunci itulah yang harus dikejar oleh seorang caleg agar ia terpilih. Jika tidak maka tak bakalan mereka merasakan empuknya kursi dewan.

Populer memang sebuah magnet yang dapat menarik banyak orang. Dengan memiliki popularitas tinggi seseorang semakin merasa dekat dengan caleg dan calon pemilih. Maka tidak heran jika banyak partai politik yang menggaet artis top untuk menjadi caleg dan meraup suara masyarakat.

Fenomena popularitas memang unik, hal ini sangat dipengaruhi oleh branding atau keterkenalan seseorang dalam bidang tertentu. Misalnya tokoh besar yang sudah memberikan andil terhadap kemajuan sebuah daerah, atau seseorang yang dikenal memiliki talenta luar biasa yang tidak dimiliki orang lain.

Namun yang paling penting adalah popularitas yang dimiliki adalah yang bersifat positif. Bukan terkenal atau masuk tivi karena korupsi, membunuh, atau hal-hal negatif lainnya. Benar, itu juga disebut terkenal tapi bukan seperti itu yang diharapkan.

Setelah populer langkah selanjutnya adalah akseptabilitas. Pada fase ini pemilih menilai caleg secara menyeluruh dari berbagai aspek. Diantaranya adalah karakter, kepribadian atau akhlak, kualitas dan kompetensi calon, visi dan misi, kejuruan, dan semua track record mereka. Nah disinilah penentuan apakah seorang calon diterima atau ditolak oleh para pemilih.

Dan yang terakhir adalah elektabilitas, ini dapat didefinisikan sebagai tingkat keterpilihan seseorang dalam sebuah pemilihan, sehingga elektabilitas sering menjadi perhatian caleg dan partai politik dalam setiap pemilu. Biasanya elemen popularitas menyumbang kontribusi besar terhadap elektabilitas atau keterpilihan. Meskipun itu bukanlah hukum pasti.

Secara konsep memang tidak ada keterkaitan secara langsung antara membagi-bagikan uang dengan keterpilihan. Namun dalam politik praktis yang berlawanan dengan hati nurani, sogokan politik "amplop" dapat mengubah teori-teori politik yang ada di negara-negara maju.

Saya sendiri sering mendengar di kalangan masyarakat bawah, mereka sering ditawari sejumlah uang untuk memilih seseorang. Biasanya setiap caleg memiliki tim sukses yang selalu mempengaruhi masyarakat calon pemilih agar mau memberikan suaranya kepada caleg tertentu.

Namun dalam banyak pengalaman caleg yang suka membagikan uang, menyogok rakyat hanya buang-buang duit saja. Kenapa? Karena jika ia memang tidak memiliki kualitas diri yang mumpuni, ia takkan dipilih oleh masyarakat meskipun uang atau sembako yang diberi diambil oleh masyarakat.

Artinya money politic hanya akan mengotori tangan caleg saja. Sama saja caleg meracuni pikiran masyarakat dengan perilaku korupsi. Dan sayangnya setelah uang banyak habis, belum tentu juga mereka terpilih. Sehingga tak jarang banyak caleg yang stress sehabis pemilu berlangsung gegara banyak utang yang digunakan untuk menyuap pemilih.

Jadi jika Anda saat ini sebagai caleg, dan bila ingin terpilih maka sebaiknya hindarilah money politic. Hentikan bagi-bagi uang dengan niat menyogok masyarakat. Seperti Bowo yang tertangkap oleh KPK RI. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun