Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mudah Terpapar Korupsi karena Gagal Paham Politik dan Pilpres

22 Desember 2018   07:06 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:46 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : yorokobu.es/lecciones

Semakin ke ujung mendekati hari pencoblosan pemilu presiden periode 2019-2024, semakin suasana negeri ini menghangat. Dinamika politik kian berkembang dan sering berubah-ubah. Disela-sela perubahan tersebut banyak peristiwa yang terjadi. Semua itu terkadang menjadi kejutan politik bagi publik.

Salah satu kejutan besar pekan ini datangnya dari La Nyalla Mattalitti mantan Ketum PSSI. Dalam pengakuannya La Nyalla mengatakan sangat menyesalkan perbuatan dosa yang telah ia perbuat terhadap Jokowi. Dosa yang dimaksud oleh Nyalla adalah ia telah ikut menyebarkan hoaks Jokowi "kader" PKI saat Nyalla masih bergabung di kubu Prabowo-Hatta pada Pilpres 2014 lalu.

Sontak, isyu La Nyalla nyatakan diri tobat nasuha dari dosanya kepada Jokowi menjadi buah bibir masyarakat awam. Mereka yang mengenal La Nyalla tentu telah memiliki penilaian sendiri. Namun orang awam semisal saya yang tidak tahu menahu tentang La Nyalla jadi bingung sendiri.

Kebingungan saya dan orang-orang semacam saya terutama pada ucapan La Nyalla tersebut bersamaan dengan ia bergabung ke kubu pasangan Jokowi-Ma'ruf. Ada apakah dibalik pengakuan dosanya itu? Sekilas info yang tersiar dipublik bahwa Nyalla belum selesai dengan masalah hukum terkait dugaan korupsi dana PSSI semasa menjabat sebagai pengurus. Apakah ada kaitan dengan mencari "kekebalan" hukum ke RI 1?

Kuatnya dugaan publik terhadap "kepura-puraan" La Nyalla bukan tanpa alasan. Setidaknya ada dua alasan publik untuk memperkuat argumen mereka. Pertama; pengakuan Nyalla meskipun (jujur yang terlambat) merupakan tindak pidana umum karena materinya adalah penghinaan terhadap presiden. Dan ancaman hukumannya diatas 5 tahun. Kasus ini mirip seperti yang dituduhkan kepada Jonru.

Kedua; Presiden Jokowi secara terbuka selalu mengatakan dimana-mana bahwa geram dan sangat marah karena dirinya selalu difitnah sebagai kader PKI. Jokowi bahkan mengaku ingin tabok orang yang menyebarkan hoaks tersebut. Namun sayang waktu itu Jokowi mengaku tidak mengetahui siapa orang yang telah menyebarkan berita bohong tersebut.

Dua alasan tersebut kemudian masyarakat mengaitkannya dengan sikap Jokowi yang sangat baik terhadap La Nyalla paska pengakuan. Bukankah seharusnya Jokowi membawa La Nyalla ke Bareskrim Polri bukan ke istana? Itulah kebingungan saya dan orang-orang awam seperti saya. Ada apa?

Uraian tadi menggambarkan bahwa permasalahan politik tidak semuanya dipahami oleh masyarakat awam Indonesia. Kejutan La Nyalla dipandang sebagai permainan politik identitas dengan menjual isu PKI. Sasarannya adalah menghancurkan nama baik calon agar terlihat buruk di mata publik. Lalu opini digiring pada kepemimpinan. Kemudian target berikutnya adalah kandidat tersebut kalah dalam Pilpres.

Di Indonesia, politik seringkali diidentikkan dengan kekuasaan. Sehingga tidak heran jika politisi kemudian dianggap sebagai petualang kekuasan. Sehingga tindak lanjutnya adalah berupaya merebut kekuasaan dengan segala cara. Cara pandang politik seperti ini dekat dengan ideologi politik Machiavellis: meraih kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Fenomena lainnya yang juga sudah sering kita lihat dan dengar sendiri dalam dunia politik Indonesia yaitu para politisi dianggap sebagai pemimpin. Padahal antara politisi dan pemimpin merupakan dua hal yang berbeda.

Secara etimologis (merujuk asal istilah dari bahasa Yunani, politika) politik adalah soal "mengurus kota" atau mengurus negara. Dalam sistem demokrasi mapan, politik lebih mirip urusan administrasi. Itu sebabnya pemilihan umum dianggap sebagai proses rekrutmen administratur, memilih orang yang dianggap kompeten dan kapabel, untuk menjalankan administrasi pemerintahan.

Dengan demikian politisi dapat kita katakan sebagai orang yang bergelut dibidang politik. Jadi tidak dapat secara langsung politisi diidentikkan dengan pemimpin. Maka berdasarkan definisi politik secara etimologi konteks yang tepat kegiatan subtansial Plipres sebagai wujud demokrasi adalah memilih kepala administratur negara (selanjutnya disebut presiden) bukan memilih pemimpin.

Namun itulah tipologi berpikir awam masyarakat Indonesia tentang politik, kepemimpinan, dan demokrasi. Akibatnya politisi yang dianggap sebagai figur seolah-olah pemimpin yang diberikan kekuasaan dan mereka boleh melakukan apa saja. Dan sayang faktanya memang seperti itu. Ketika "diangkat" oleh rakyat melalui pemilu sebagai penata laksana pemerintahan justru ia menganggap dirinya sebagai pemimpin yang berkuasa karena itu boleh melakukan apapun maunya gue.

Disisi lain diperparah pula dengan tingkat literasi politik masyarakat yang sangat rendah. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam sistem demokrasi justru rakyatlah sebagai "pemimpin" sejati dan pemilik kedaulatan. Artinya seseorang yang ingin diangkat sebagai presiden maka ia harus meminta persetujuan rakyat (pemilik kedaulatan), bukan sebaliknya.

Ketidakpahaman rakyat seperti inilah yang dimanfaatkan oleh politisi untuk menyuap persetujuan rakyat. Gagal paham politik tersebut telah membuka peluang terpaparnya korupsi dalam demokrasi Indonesia. Bentuk penyuapan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Diantaranya money politic, politik sembako, gratifikasi, bahkan jabatan, dan mengesampingkan kasus hukum tertentu (tebang pilih).

Seyogyanya rakyat Indonesia harus melek terhadap politik. Sehingga tingkat kesadaran rakyat terhadap kontestasi pemilu tentu akan memberikan warna yang sangat indah, damai, dan berkualitas. Dampaknya sangat positif karena tidak ada lagi partisan yang saling serang diluar konteks. Sebab politik tidak lagi dipandang sebagai cara merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Akan tetapi sekarang ini demokrasi Indonesia justru terlihat membelah dan saling mereduksi pengaruh antarkubu. Bukan hanya ditingkat ring 1 dab 2, bahkan turun sampai ke akar rumput yang tidak tergolong dalam partisan. Mereka sangat terkontaminasi oleh "pembodohan" yang dilakukan oleh kelompok politik penganut Machiavellis melalui opini politik identitas dan kepemimpinan palsu.

Situasi tersebut sangat mengkuatirkan dan mengancam kemurnian demokrasi Indonesia di masa depan. Yang jika praktik ini terus dilanjutkan, maka makna politik dan demokrasi menjadi sangat sempit dan tanpa mampu melahirkan seorang presiden yang berkualitas sebagai administratur negara yang andal dalam setiap proses pemilu.

Oleh sebab itu saya merasa pilpres kali ini sebetulnya adalah pertarungan antarelit yang memiliki sentimen pribadi, persaingan pengaruh keluarga, dan paham ideologi tertentu. Mungkin memiliki indikasi primordialisme. Lalu menggunakan mekanisme demokrasi (pemilu) sebagai ajang pertempuran. Sedangkan Pancasila dan nasionalisme dijadikan sebagai pembungkus sekaligus sebagai alatnya.

Mengapa? Karena politik yang dikaitkan dengan kekuasaan dapat meruntuhkan nilai-nilai demokrasi. Dimana dalam politik kekuasaan figur tokoh dianggap sangat penting. Politisi Adalah sosok penting yang dianggap memiliki kemampuan hebat diatas segalanya. Bahkan ditempatkan sebagai manusia setengah dewa. Sehingga politik tidak lagi dilihat sebagai benar dan salah, tetapi tujuan meraih kekuasaan.

Sikap politik seperti itu yang terlanjur ditanamkan dalam benak masyarakat awam,  kini telah menjadi malapetaka kesesatan pikir yang telah mulai menggeser subtansi demokrasi menuju subtansi kekuasaan. Capres sebagai tokoh sentral yang mewakili kekuasaan partisan dibela mati-matian, tak peduli apakah dia benar dan salah. Diskursus politik telah kehilangan subtansial. Coba perhatikan apa yang terjadi pada setiap acara diskusi politik antarkubu? Pasti diskusi yang panas, penuh emosional dan sarat amarah.

Kekacauan dialektika politik, demokrasi, dan pilpres telah berkontribusi terhadap praktik korupsi ditengah-tengah masyarakat. Rakyat awam yang tidak memahami sepenuhnya tentang diskursus politik lalu disodorkan berbagai fasilitas untuk disuap. Kebaikan politisi dan kemurahan hati figur dimainkan seperti sang "zorro" dalam film action terkenal itu. Barang curian dari istana yang dibagi-bagikan kepada rakyat awam yang kelaparan.

Negeri ini saat ini terkesan seperti dalam keadaan bahaya besar. Politik kotor dan politisi korup menyatu dengan kebodohan saya dan orang-orang seperti saya tentang demokrasi, sehingga mau-mau saja disuap dengan berbagai cara oleh partisan dan para sponsor politik kekuasaan. Praktik macam ini perlu dihentikan. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun