Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mudah Terpapar Korupsi karena Gagal Paham Politik dan Pilpres

22 Desember 2018   07:06 Diperbarui: 22 Desember 2018   10:46 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : yorokobu.es/lecciones

Dengan demikian politisi dapat kita katakan sebagai orang yang bergelut dibidang politik. Jadi tidak dapat secara langsung politisi diidentikkan dengan pemimpin. Maka berdasarkan definisi politik secara etimologi konteks yang tepat kegiatan subtansial Plipres sebagai wujud demokrasi adalah memilih kepala administratur negara (selanjutnya disebut presiden) bukan memilih pemimpin.

Namun itulah tipologi berpikir awam masyarakat Indonesia tentang politik, kepemimpinan, dan demokrasi. Akibatnya politisi yang dianggap sebagai figur seolah-olah pemimpin yang diberikan kekuasaan dan mereka boleh melakukan apa saja. Dan sayang faktanya memang seperti itu. Ketika "diangkat" oleh rakyat melalui pemilu sebagai penata laksana pemerintahan justru ia menganggap dirinya sebagai pemimpin yang berkuasa karena itu boleh melakukan apapun maunya gue.

Disisi lain diperparah pula dengan tingkat literasi politik masyarakat yang sangat rendah. Mereka tidak mengetahui bahwa dalam sistem demokrasi justru rakyatlah sebagai "pemimpin" sejati dan pemilik kedaulatan. Artinya seseorang yang ingin diangkat sebagai presiden maka ia harus meminta persetujuan rakyat (pemilik kedaulatan), bukan sebaliknya.

Ketidakpahaman rakyat seperti inilah yang dimanfaatkan oleh politisi untuk menyuap persetujuan rakyat. Gagal paham politik tersebut telah membuka peluang terpaparnya korupsi dalam demokrasi Indonesia. Bentuk penyuapan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Diantaranya money politic, politik sembako, gratifikasi, bahkan jabatan, dan mengesampingkan kasus hukum tertentu (tebang pilih).

Seyogyanya rakyat Indonesia harus melek terhadap politik. Sehingga tingkat kesadaran rakyat terhadap kontestasi pemilu tentu akan memberikan warna yang sangat indah, damai, dan berkualitas. Dampaknya sangat positif karena tidak ada lagi partisan yang saling serang diluar konteks. Sebab politik tidak lagi dipandang sebagai cara merebut dan mempertahankan kekuasaan dengan segala cara.

Akan tetapi sekarang ini demokrasi Indonesia justru terlihat membelah dan saling mereduksi pengaruh antarkubu. Bukan hanya ditingkat ring 1 dab 2, bahkan turun sampai ke akar rumput yang tidak tergolong dalam partisan. Mereka sangat terkontaminasi oleh "pembodohan" yang dilakukan oleh kelompok politik penganut Machiavellis melalui opini politik identitas dan kepemimpinan palsu.

Situasi tersebut sangat mengkuatirkan dan mengancam kemurnian demokrasi Indonesia di masa depan. Yang jika praktik ini terus dilanjutkan, maka makna politik dan demokrasi menjadi sangat sempit dan tanpa mampu melahirkan seorang presiden yang berkualitas sebagai administratur negara yang andal dalam setiap proses pemilu.

Oleh sebab itu saya merasa pilpres kali ini sebetulnya adalah pertarungan antarelit yang memiliki sentimen pribadi, persaingan pengaruh keluarga, dan paham ideologi tertentu. Mungkin memiliki indikasi primordialisme. Lalu menggunakan mekanisme demokrasi (pemilu) sebagai ajang pertempuran. Sedangkan Pancasila dan nasionalisme dijadikan sebagai pembungkus sekaligus sebagai alatnya.

Mengapa? Karena politik yang dikaitkan dengan kekuasaan dapat meruntuhkan nilai-nilai demokrasi. Dimana dalam politik kekuasaan figur tokoh dianggap sangat penting. Politisi Adalah sosok penting yang dianggap memiliki kemampuan hebat diatas segalanya. Bahkan ditempatkan sebagai manusia setengah dewa. Sehingga politik tidak lagi dilihat sebagai benar dan salah, tetapi tujuan meraih kekuasaan.

Sikap politik seperti itu yang terlanjur ditanamkan dalam benak masyarakat awam,  kini telah menjadi malapetaka kesesatan pikir yang telah mulai menggeser subtansi demokrasi menuju subtansi kekuasaan. Capres sebagai tokoh sentral yang mewakili kekuasaan partisan dibela mati-matian, tak peduli apakah dia benar dan salah. Diskursus politik telah kehilangan subtansial. Coba perhatikan apa yang terjadi pada setiap acara diskusi politik antarkubu? Pasti diskusi yang panas, penuh emosional dan sarat amarah.

Kekacauan dialektika politik, demokrasi, dan pilpres telah berkontribusi terhadap praktik korupsi ditengah-tengah masyarakat. Rakyat awam yang tidak memahami sepenuhnya tentang diskursus politik lalu disodorkan berbagai fasilitas untuk disuap. Kebaikan politisi dan kemurahan hati figur dimainkan seperti sang "zorro" dalam film action terkenal itu. Barang curian dari istana yang dibagi-bagikan kepada rakyat awam yang kelaparan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun