Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mungkinkah Trans Papua Menjadi Jalan Damai Menuju "Indonesia-Papua" Merdeka?

8 Desember 2018   06:18 Diperbarui: 8 Desember 2018   17:41 2556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Trans Papua(Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR)

Papua berduka lagi. Peristiwa penembakan puluhan pekerja proyek pembangunan jembatan di Kabupaten Nduga, Papua, yang terjadi pada 1 Desember 2018 dan baru terungkap pada hari Selasa (4/12/2018). 

Peristiwa tragis ini terjadi ditengah upaya Pemerintah Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi membangun infrastruktur dasar (jalan/jembatan) untuk membuka akses transportasi di pulau Papua.

Spontan berita tersebut menghiasi berbagai platform berita tanah air dan luar negeri. Aparat keamanan menyebut pelaku serangan tersebut dari kelompok pejuang papua merdeka (Organisasi Papua Merdeka) atau biasa disebut OPM. 

Pernyataan tersebut dikeluarkan oleh Juru Bicara Kodam XVII Cenderawasih yang mengatakan pelaku penembakan sebagai Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang terkait dengan OPM.

Dari sejumlah korban yang meninggal dunia, terdapat seorang aparat keamanan yaitu prajurit TNI yang ikut mengalami nahas brutalnya eksekusi yang dilakukan oleh kelompok sipil bersenjata. Sedangkan motif penembakan tersebut masih dalam penyelidikan pihak aparat keamanan (Polri) yang dibantu oleh TNI.

Tanggal 1 Desember merupakan hari kemerdekaan Papua menurut OPM. Di hari itu tentunya mereka ingin merayakan dan menunjukkan eksistensinya kepada Indonesia dan dunia. Bahwa mereka masih konsisten dengan kemerdekaan penuh bagi Papua dan terlepas dari NKRI.

Dalam rangka menunjukkaan eksistensi itulah diduga (sementara) oleh beberapa pihak memang ada kaitannya antara penembakan para pekerja proyek di hari tersebut dengan momen "Hari Ulang Tahun" Papua Merdeka. 

Dugaan (sementara) ini berdasarkan publikasi media online yang menuliskan, serangan bermula dari sebuah acara 1 Desember (perayaan HUT), sejumlah pekerja melakukan pemotretan, dan sejumlah personil OPM marah karena merasa dimata-matai dan kemudian melakukan serangan.

Sebagai masyarakat Aceh yang pernah hidup dan mengalami situasi seperti di Papua, 14 tahun yang lalu, meskipun pada posisi sebagai korban, saya bisa sedikit merasakan dari jauh (karena tidak berada dilokasi langsung di Papua) apa kira-kira yang terjadi dan juga dirasakan oleh masyarakat Papua dengan konflik terus terjadi secara berulang-ulang, dan bagaimana pandangan "orang" pusat terhadap peristiwa tersebut.

Presiden Jokowi Pantau Jalur Trans Papua Pakai Trail (Foto: Biro Humas Setneg)
Presiden Jokowi Pantau Jalur Trans Papua Pakai Trail (Foto: Biro Humas Setneg)
Untuk itu mari kita lihat dan belajar dari sejarah konflik Aceh yang hampir 35 tahun lamanya, sebagai acuan atau salah satu cara pandang kita terhadap Papua. 

Karena bagaimanapun, sikap menuntut Papua Merdeka juga pernah dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976, tepatnya 4 Desember 1976 (proklamir kemerdekaan Aceh).

Sedikit berbeda dengan Papua, sejarah lahirnya GAM yang dipimpin oleh Tgk Hasan Ditiro merupakan lanjutan dari perjuangan Darul Islam (DI) Aceh yang meletus pada tahun 1950-an. DI/TII Aceh yang digerakkan oleh Tgk Daud Bereueh bertujuan ingin mendirikan negara Islam atau berideologi Islam sebagai dasar perjuangannya.

Meskipun pakar sejarah Aceh Universitas Syiah Kuala, Isa Sulaiman kemudian menilai bahwa ternyata GAM dalam perjuangannya tidak mengusung ideologi Islam, artinya tidak bisa dikatakan sebagai kelanjutan perjuangan DI/TII oleh GAM. 

Namun kedua peristiwa ini Isa Sulaiman menyimpulkan ada keterkaitan. Menurutnya keterkaitan tersebut dibuktikan dengan dukungan para tokoh DI/TII terhadap perjuangan GAM.

Alasan kedua, lahirnya kelompok GAM yang awalnya bermula dengan gerakan bawah tanah atau bergerilya secara diam-diam, lalu kemudian membesar dan mendapatkan dukungan luas dari masyarakat Aceh, karena faktor ekonomi. 

Kekayaan Aceh yang berlimpah dari sektor minyak dan gas justru disedot habis-habisan oleh pemerintah pusat (masa orde baru) tanpa peduli pada kesejahteraan rakyat Aceh.

Ketimpangan ekonomi yang sangat kontras antara pulau Jawa dan Aceh mulai dirasakan sebagai bentuk ketidakadilan ekonomi. Aceh yang merasa tidak dipedulikan oleh penguasa masa itu menjadi daerah paling miskin di Indonesia, padahal Jakarta menikmati kekayaan Aceh dengan serakahnya.

Pemerintahan sentralistik orde baru menimbulkan kekecewaan berat di kalangan elit Aceh. Aceh hanya menerima 1 persen dari anggaran pendapatan nasional, padahal kontribusi Aceh bagi GDP pada masa itu mencapai 14 persen. 

Belum lagi jasa Aceh yang menyumbangkan pesawat bagi pemerintah orde lama (Soekarno) untuk mendukung kelancaran roda pemerintahan nasional.

Produksi minyak dan gas yang terus meningkat diladang-ladang minyak seperti di Aceh Utara tidak membuat daerah tersebut menjadi makmur. Bahkan rakyat Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe yang tinggal disekitar perusahaan menjadi rakyat miskin dan menjadi penonton betapa kekayaan daerah disedot secara serakah oleh pemerintah pusat.

Perlakuan tidak adil itulah kemudian menjadi pemicu pergerakan yang dilakukan oleh GAM dan seluruh masyarakat Aceh. Hingga peperangan dan konflik bersenjata pun tidak dapat dihindari. 

Pemerintah pusat mengirimkan prajurit-prajurit terbaiknya ke Aceh dengan berbagai macam sandi operasi militer yang dilancarkan. Tujuannya hanya satu yaitu menumpas GAM dan pendukungnya dengan operasi militer.

Sebagai gerakan militer yang dilandasi dengan semangat jihad dan membela kesejahteraan rakyat Aceh, GAM tentu tidak mau mundur selangkahpun, apalagi dengan nostalgia perang Belanda melawan penjajah, GAM justru semakin bersemangat melakukan perlawanan senjata dengan aparat TNI/Polri.

Singkat cerita ratusan ribu rakyat Aceh menjadi korban keganasan peperangan antara GAM dan TNI/Polri. Begitu pula pihak kombatan, tidak sedikit yang tewas. Banyak perempuan menjadi janda, anak-anak kehilangan orang tuanya, kehilangan harta benda, rumah-rumah penduduk dibakar, orang-orang yang tak berdosa diculik dan terbunuh menjadi korban perang. 

Sementara pemerintah pusat pun tidak mau mundur sedikitpun. Penerapan status Daerah Operasi Militer (DOM) selama 32 tahun telah membuat Aceh semakin runyam.

Berbagai sektor kehidupan masyarakat saat itu hancur, pengangguran, kemiskinan, pendidikan, dan sosial hidup tergadaikan oleh kepentingan kekuasaan dan dorongan nafsu ekonomi kapitalis yang tidak mengedepankan keadilan. 

Berbagai proyek vital yang ada di Aceh, seluruh (hampir 90%) pekerjanya dibawa dari pulau Jawa. Sedangkan anak-anak muda Aceh dibiarkan menganggur bahkan diberi stigma sebagai orang bodoh dan tidak bisa dipekerjakan.

Bagi rakyat Aceh waktu itu telah siap menghadapi apapun resikonya. Hingga bersatu patu, memberikan dukungan moril kepada GAM untuk memenangkan perjuangannya bagi keadilan Aceh. 

Meskipun nyawa rakyat Aceh kala itu sama dengan harga nyawa seekor nyamuk, ditepuk langsung mati. (Begitulah Saudaraku).

Maka ketika paska kejadian penembakan 1 Desember 2018 Papua, lalu dalam hitungan menit, Presiden Republik Indonesia sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negara ini mengeluarkan pernyataan dan titahnya kepada TNI/Polri "kejar dan tangkap seluruh pelaku tindakan biadab dan tidak berperikemanusiaan tersebut, tumpas hingga ke akarnya". Bisakah Anda membayangkan apa yang ada dibenak Presiden?

Barangkali kita kesulitan untuk memastikan apa yang ada dalam pikiran Presiden. Sebab soal isi otak tidak ada siapapun yang tahu. Namun secara bahasa yang terwujud dalam perintah nan tegas tersebut sedikit terlihat dan terbaca bahwa Presiden sangat berani dan tidak ada kompromi tentang hal ini. 

Jika mungkin bila disandingkan dengan kalimat yang lain kira-kira "habisi mereka" sampai tidak tersisa.

Inilah yang kata teman saya dalam tulisannya yang ia sebut sebagai "orang pusat sering melihat daerah dari puncak monas". Apa maksudnya? Pemerintah pusat hanya melihat persoalan daerah dari jauh dan berdasarkan sudut pandang sendiri dengan pola pikir kekuasaan sentralistik ala orde lama dan orde baru. 

Mestinya pusat bertanya pada dirinya sendiri, mengapa Papua minta merdeka? Kenapa tidak dilakukan penyelidikan lebih dulu.

Pemerintah pusat tidak bisa menganggap masalah Papua ini sebagai persoalan sepele dan sederhana. Papua memerlukan sebuah pendekatan yang khas dalam penyelesaiannya. Mengedepankan pendekatan militer dan kekerasan, maka akibatnya akan seperti terjadi di Aceh selama 46 tahun lalu. Jangan dikira bahwa TNI/Polri dapat dengan mudah menyelesaikan OPM di Papua.

Merujuk pada pendapat Koordinator Kontras, Yati Andriani yang menyebut, peristiwa 1 Desember 2018 Papua, menunjukkan bahwa persoalan di Papua tidak hanya sebatas persoalan ekonomi dan pembangunan. 

Mungkin saja peristiwa penembakan tersebut ada kaitannya dengan ideologi dan politik. Jika demikian, maka masalah kekerasan dengan senjata atau gangguan keamanan hanyalah satu cara untuk mewujudkan cita-cita ideologi dan politik mereka.

Coba perhatikan bagaimana lantangnya Mantan komisioner Komisi Nasional untuk Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, putra asli Papua mengkritik pemerintah dengan mengatakan bahwa banyak janji Presiden Joko Widodo yang belum terealisasi hingga tahun keempat ini, misalnya di Papua, dari 39 janji presiden hanya dua janji yang terealisasi. 

Janji Jokowi terkait pengurangan kemiskinan dan jaminan hidup belum terealisasi. Bahkan tingkat kematian ibu dan anak khususnya di Papua masih sangat tinggi.

Perlu diingat oleh pemerintah siapapun yang berkuasa bahwa, diantara banyak dorongan GAM melakukan "teguran" keras kepada pemerintah Indonesia adalah karena ada janji Soekarno dimasanya yang tidak direalisasikan bagi rakyat Aceh, bahkan rakyat Aceh mengganggap hal itu sebagai pengkhianatan pemerintah orde lama terhadap Aceh yang sebelumnya dengan sangat tulus Aceh membantu Indonesia mencapai kemerdekaan.

Ditambah lagi dengan kebijakan pembekuan status pelabuhan bebas Sabang oleh Soeharto. Aceh yang saat itu begitu maju dan makmur secara ekonomi melalui kemajuan perdagangan di kawasan bebas Sabang tiba-tiba seperti kota mati karena akibat pencabutan status tersebut. 

Lalu pemerintah mengalihkan pelabuhan besar ke Batam dan Sumatera Utara. Maka semakin terlukalah hati masyarakat Aceh karena kebijakan tidak adil pemerintah orde baru.

Saya rasa Presiden Republik Indonesia bisa memandang soal Papua ini dengan pikiran yang jernih dan terbuka. Bahkan bukan hanya melibatkan logika dan hitung-hitungan angka namun ikutkan pula perasaan bapak untuk merasakan dan berempati dengan nasib masyarakat disana.

Adapun otonomi khusus dan diiringi dengan sejumlah anggaran yang dikucurkan ke tanah Papua tentu sangat bagus. Akan tetapi itu hanya strategi jangka pendek. 

Lalu bagaimana setelah dana otsus berakhir? Terlalu banyak janji yang tidak ditepati akan menjadi 'api dalam sekam' yang dapat membakar kekuasaan pemerintah pusat dan menciptakan embrio pemberontakan rakyat.

Meskipun tidak kaya namun hidup damai

Jujur saja, saya sangat menginginkan setiap pemerintah yang berganti dan berkuasa, belajar tentang perasaan rakyat. Memahami psikologi sosial rakyat Indonesia terutama masyarakat kecil di daerah-daerah. Mereka tidak meminta hal-hal yang muluk-muluk. Sederhana saja, jika sudah berjanji maka tunaikanlah janji itu.

Ambillah hikmah dari konflik Aceh yang berkepanjangan yang seakan-akan waktu itu tidak akan ada masa damai. Hampir tidak ada orang yang terpikir bahwa 'perang' saudara bisa berakhir dengan penuh damai seperti yang dirasakan oleh jutaan rakyat Aceh saat ini.

Dengan penandatanganan MOU damai Aceh oleh pemimpin GAM dan perwakilan Pemerintah RI, di Helsinki, Finlandia, 15 Agustus 2005 silam, telah merubah secara total kondisi situasi dan kondisi Aceh. 

Dulu untuk berusaha saja sangat susah, beribadah pun sulit dan penuh ketakutan, letusan senjata bisa terjadi kapan saja tanpa bisa diprediksi. Benar-benar suasana begitu mencekam dan tidak aman.

Namun kini setelah 15 tahun berlalu, Aceh telah bersemi kembali, wajah-wajah bahagia terpancar jelas pada setiap raut rakyat Aceh. 

Tidak ada lagi rasa takut dan kuatir saat beribadah, berusaha dan bekerja, menuntut ilmu pun jadi lebih bersemangat, pokoknya benih-benih kebahagiaan bertebaran dimana-mana.

Rakyat Aceh telah melepaskan diri dengan suasana kelam masa lalu. Mereka juga telah memaafkan semua pihak yang dulu berlaku tidak adil pada mereka. Bahkan bagi penguasa yang dhalim sekalipun. 

Dorongan untuk menetap masa depan yang lebih cerah dan semangat mengejar ketertinggalan dengan daerah lain lebih kuat daripada memikirkan masa lalu.

Sekarang ini siapapun sudah dengan bebas dapat berkunjung ke Aceh bahkan mau menikmati kopi sampai tengah malam pun bisa, karena warung bisa buka 24 jam, tanpa perlu takut dan kuatir. 

Situasi damai yang telah dirajut oleh GAM dan pemerintah Indonesia telah memberikan dampak positif bagi kehidupan rakyat Aceh, sehingga rasa aman, damai, dan sejahtera pun kembali menjadi milik setiap warga.

Begitulah harusnya pemerintah saat ini, mari bangun komunikasi dan kesepahaman dengan OPM, dekati dan ajak berdialog. Saya yakin OPM akan lebih mementingkan rakyatnya daripada kehilangan masa depan keturunan seluruh warga (suku) yang ada di Papua. 

Tentu saja pemerintah dan OPM harus berbesar hati menerima segala kekurangan yang ada pada masing-masing pihak. Lihatlah para pemberontak OPM pada posisi yang setara, sampai kesepakatan perdamaian pun tercapai.

Jangan sedikit-sedikit gejolak yang ada di Papua, pemerintah pusat langsung merespon dengan senjata, operasi militer, kirim bala tentara dengan kekuatan penuh. Ubahlah strategi, jika pemerintah pusat benar-benar masih menganggap rakyat Papua sebagai bangsa Indonesia. Belum juga diselidiki, pemerintah langsung keluarkan titah 'kejar, tangkap, tumpas' sampai akar-akarnya.

Sikap pemerintah yang seperti itu agak berlebihan menurut hemat saya, karena yang dilawan adalah rakyatnya sendiri juga. Lagi pula tak akan menang OPM melawan serdadu Indonesia yang jumlahnya jutaan personil dengan senjata canggih dan lengkap. 

Artinya OPM bukanlah lawan ideal TNI/Polri. Siapapun saya rasa sepakat dengan pemikiran diatas, kecuali ia orang yang sombong dan angkuh.

Dan kabar baiknya pemerintah tidak melakukan langkah-langkah represif melalui pengiriman militer dalam jumlah besar ke Papua untuk menumpas OPM penembak para pekerja yang juga dikomplain oleh warga Papua karena mereka didatangkan dari luar Papua, sementara pemuda setempat menganggur dan jadi penonton saja.

Semoga Pak JK yang pernah punya pengalaman menyelesaikan konflik Aceh dapat mengadopsi untuk menyelesaikan Papua, jika pun tidak mampu, minta bantuan SBY mungkin ada gagasan cemerlang darinya. 

Namun yang terpenting adalah pembangunan infrastruktur di Papua haruslah sebagai alat untuk pemberdayaan masyarakat Papua dan melibatkan mereka dalam proses pembangunan.

Letakkan rakyat Papua sebagai subjek pembangunan bagi daerahnya sendiri bukan sebagai objek. Pengalaman rakyat Aceh, jika pemerintah pusat melakukan pembangunan dan tidak melibatkan warga setempat dalam prosesnya, maka ujungnya adalah pekerja yang dibawa dari luar tersebut akan sulit melakukan pekerjaannya. Bukan karena Aceh iri, namun justru lebih karena tidak dihargai.

Udahlah cukup dulu ya. Lain kali kita sambung lagi.... Pernyataan saya, "jika pemerintah pusat tidak mengubah cara pandangnya terhadap Papua, maka Trans Papua tak akan menjadi jalan damai bagi (Indonesia-Papua) merdeka."(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun