"Kerinduan Pemuda Budaya di Jalan Sunyi"
Di antara sawah yang menguning dan angin malam yang semilir membawa harum batang padi, desa kecil itu tetap sunyi dalam semu. Namun belakangan, kesunyian itu bukan lagi cerminan kedamaian, melainkan ruang hening yang dipaksa menyerah pada dentuman yang datang dari kejauhan. Malam-malam yang dulunya diisi dengan suara jangkrik, kini digantikan dengan dentuman berulang-ulang dari corong raksasa: "Sound Horeg" orang dengan peradaban maju dan modern menyebutnya.
Konon katanya, ini hiburan rakyat. Penari-penari bergoyang dengan lenggak-lenggok yang tidak lagi mengenal batas, dalam sorotan lampu kelap-kelip yang lebih mirip panggung kabaret daripada pentas budaya. Tapi tetap saja, mereka bilang: ini seni, ini tradisi, ini hiburan milik rakyat. Maka siapa yang berani menentangnya dianggap durhaka terhadap akar sendiri.
Para pemuda pengusung pesta ini seperti memegang kuasa lebih besar dari aparat desa. Mereka bisa menutup jalan, membunyikan speaker hingga menembus ubun-ubun lansia, membangunkan bayi-bayi yang sedang tertidur, bahkan membuat kambing-kambing kehilangan arah. Mau masuk ke kampung sendiri dan pulang ke rumah harus membayar uang masuk, sungguh aneh bin ajaib dan tidak pernah hal ini terjadi pada umat-umat sebelumnya.
Namun lagi-lagi bukan hanya lebih dari sekadar dentuman, yang membuat luka paling dalam adalah sunyinya suara-suara waras yang memprotes. Di rumah-rumah mereka yang masih meyakini bahwa malam adalah waktu untuk istirahat, bukan berjoget atau berjudi terselubung, hanya terdengar keluhan lirih. Mereka tahu, bersuara bisa membuat mereka dikucilkan dan hancur.
"Itu orang tua kolot," kapan majunya desa ini, kata sebagian warga.
"Gak bisa ngikut zaman," seru yang lain.
Padahal bukan soal zaman. Ini soal kewarasan. Tentang mana yang layak dibiarkan tumbuh dan mana yang perlu disaring demi keberlangsungan akal sehat bersama.
Dan ironinya, justru para pejabatlah yang kerap hadir meresmikan acara itu. Duduk di kursi terdepan dengan senyum lebar, menerima sambutan hangat dari panitia, bahkan terkadang memberikan amplop dukungan. Mungkin karena takut kehilangan suara, atau takut kehilangan bagian dari keuntungan. Siapa yang tahu?
Ulama pun terbelah. Sebagian berdalih, "Daripada mereka mabuk atau narkoba, mending joget di lapangan." Sebagian lagi memilih diam, sudah lelah mengingatkan, karena suara mereka tenggelam dalam dentuman speaker dan kilatan stroboskop.
Sementara itu, pemuda-pemuda yang dulu aktif membangun mushola, kini sibuk mengurus sewa genset, panggung, dan booking penari. Mereka yang pernah diajari adab dan sopan santun, kini mengutip budaya atas nama kebebasan.