Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Penyakit Modern, Tidak Menular, Tapi Menyebar

18 Juli 2025   20:18 Diperbarui: 18 Juli 2025   20:18 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Crowd-people-wearing-medical-masks (Ilustrasi)/Image by freepik

Di masa lalu, kita memahami penyakit sebagai sesuatu yang menular---berasal dari kuman, virus, atau bakteri, dan bisa berpindah dari satu tubuh ke tubuh lain melalui udara, air, atau sentuhan. Tapi kini, penyakit justru berkembang dengan cara yang lebih senyap dan kompleks. Penyakit itu tidak menular, tapi menyebar. Ia tidak berpindah lewat droplet, tetapi melalui gaya hidup, kebiasaan makan, ketimpangan sosial, bahkan struktur kota. Penyakit-penyakit semacam ini dikenal dalam dunia kesehatan global sebagai Non-Communicable Diseases atau NCDs---penyakit tidak menular. Contohnya antara lain diabetes, kanker, penyakit jantung, dan gangguan pernapasan kronis.

Sekilas, istilah "tidak menular" membuatnya terdengar lebih aman. Padahal, penyakit-penyakit ini justru menjadi penyebab kematian utama di banyak negara, termasuk Indonesia. Mereka tidak menyebar secara biologis, tetapi menyebar secara sosial. Kita tak bisa tertular obesitas dari bersalaman, tetapi kita bisa 'terjangkit' gaya hidup duduk sepanjang hari, mengonsumsi makanan tinggi gula dan garam, atau menormalisasi kurang gerak karena pekerjaan dan mobilitas kota. Penyakit ini tumbuh subur dalam budaya konsumsi cepat saji, iklan makanan ultra-proses, minimnya ruang hijau, dan tekanan ekonomi yang membuat kita abai pada kesehatan.

Literatur global menengarai situasi ini disebut sebagai triple burden of disease---tiga beban penyakit yang bersamaan dihadapi negara berkembang seperti Indonesia. Pertama, kita masih harus bergelut dengan penyakit menular seperti TBC, malaria, dan infeksi saluran pernapasan. Kedua, kita menghadapi lonjakan penyakit tidak menular seperti stroke dan hipertensi. Dan ketiga, kita juga dikepung oleh masalah kesehatan akibat perilaku dan lingkungan, seperti obesitas anak, kecelakaan lalu lintas, gangguan mental, hingga stunting. Tiga beban ini datang berbarengan, membuat sistem kesehatan kita kewalahan.

Yang menarik, beban penyakit tidak sama di setiap negara. Negara miskin umumnya masih didominasi penyakit menular dan masalah sanitasi dasar. Akses terhadap air bersih, gizi minimum, dan imunisasi dasar menjadi tantangan utama mereka. Penyakit tidak menular belum menjadi isu besar karena gaya hidup 'modern' belum terlalu mengakar. Sebaliknya, negara maju seperti Jepang, Jerman, atau Australia telah menyelesaikan sebagian besar isu menular dan kini fokus pada pengelolaan NCDs melalui sistem kesehatan yang canggih dan preventif. Mereka berada dalam tahap epidemiologi lanjut. Masyarakatnya hidup lebih lama, tetapi harus mengelola risiko kronis seumur hidup.

Indonesia dan negara berkembang lainnya berada di tengah-tengah atau transisi. Kita belum selesai menghadapi yang lama, tapi sudah diterjang yang baru. Urbanisasi cepat, pertumbuhan ekonomi yang timpang, serta sistem kesehatan yang belum merata membuat kita terjebak dalam tiga beban sekaligus. Di satu sisi kita masih mengejar cakupan imunisasi, di sisi lain kita menghadapi darurat obesitas dan diabetes. Inilah mengapa penyakit modern menjadi begitu berbahaya, ia tidak datang sendiri, tapi berjalan beriringan dengan kemajuan.

Istilah "non-communicable" semestinya tak membuat kita lengah. Sebab meskipun tidak menular seperti flu, penyakit ini menyebar melalui sistem sosial. Misalnya, dalam satu keluarga, jika kebiasaan makan tidak sehat diterima sebagai norma, maka risiko diabetes bisa 'menular' antar generasi. Jika lingkungan kerja mendorong stres kronis tanpa ruang jeda, maka gangguan mental akan muncul sebagai epidemi tak kasat mata. Jika masyarakat menganggap iklan rokok dan minuman manis sebagai hal biasa, maka pola konsumsi buruk akan menyebar seperti virus yang tak terdeteksi. Di dunia kesehatan masyarakat, ini disebut sebagai "penularan sosial dan struktural"---penyakit tidak ditularkan oleh kuman, tapi oleh sistem.

Menghadapi penyakit modern tidak cukup dengan pendekatan klinis. Kita perlu intervensi lintas sektor, perencanaan kota yang manusiawi, kebijakan pangan yang adil, edukasi gizi yang masif, serta sistem kesehatan yang tidak hanya mengobati tetapi juga mencegah. Sebab jika tidak, kita akan terus terjebak dalam ironi. Semakin maju sebuah masyarakat, semakin rentan ia terhadap penyakit yang ia ciptakan sendiri.

Jadi lain kali saat Anda melihat sekelompok orang mengantri di rumah sakit karena kolesterol atau asam urat, ingatlah, itu bukan karena mereka saling menulari, tapi karena mereka hidup dalam sistem yang sama---yang membiarkan penyakit itu menyebar tanpa terlihat.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun