Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Realisme Kritis, Mencari yang Tak Terlihat

15 Juli 2025   14:05 Diperbarui: 15 Juli 2025   14:05 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Man-walking-toward-light-end-tunnel (Ilustrasi)/Image by jeswin on Freepik

Kita sering membaca berita tentang instansi pemerintah yang sudah memiliki sistem pengendalian internal (SPI) lengkap---dokumen SOP tersedia, audit internal berjalan, dan pengawasan berlapis diterapkan. Tapi entah mengapa, kasus korupsi masih saja terjadi. Lantas, untuk apa semua itu jika ternyata tak mampu menahan gelombang penyimpangan? Pertanyaan ini mengganggu, dan sekaligus mengundang kita untuk menengok sesuatu yang lebih dalam. Mungkin jawabannya tidak terletak pada apa yang terlihat, tetapi pada apa yang bekerja diam-diam di balik permukaan.

Sebagian besar pendekatan antikorupsi bersandar pada logika bahwa jika sistemnya baik, maka perilaku akan otomatis baik. Ini logika positivistik yang percaya pada hubungan langsung antara struktur formal dan hasil. Tapi realitas sosial tak sesederhana itu. Di sinilah pendekatan critical realism---atau realisme kritis---memberi kita lensa alternatif. Alih-alih berhenti pada permukaan data atau fenomena yang tampak, critical realism mengajak kita menyelam lebih dalam ke wilayah yang tak terlihat: mekanisme kausal, struktur sosial, dan relasi kekuasaan yang bekerja dalam senyap.

Ambil contoh kasus pengadaan barang. Mungkin sistem tender elektronik telah diimplementasikan. Namun, jika di balik layar masih ada praktik "pengondisian", maka dokumen-dokumen itu hanya menjadi topeng formalitas. Atau dalam konteks pengendalian keuangan, laporan audit internal bisa saja rapi, tetapi jika kepala satuan kerja menjadikan auditor sebagai 'tim sukses anggaran', maka fungsi kontrol berubah menjadi fungsi pelicin. Ini bukan sekadar penyimpangan prosedur. Ini adalah gejala dari struktur sosial yang lebih dalam, yang kerap tak tersentuh oleh reformasi administratif.

Critical realism menyebut bahwa ada tiga tingkat realitas: empiris, aktual, dan real. Yang empiris adalah apa yang kita lihat---laporan, SOP, audit. Yang aktual adalah apa yang sungguh terjadi---praktik manipulatif, suap, kompromi. Tapi yang paling penting adalah yang real---yaitu struktur dan mekanisme kausal yang memungkinkan praktik itu terus terjadi. Inilah dunia yang dihuni oleh norma informal, budaya permisif, relasi patron-klien, dan ketimpangan kekuasaan di dalam birokrasi. Semua itu bekerja diam-diam, membentuk insentif yang mendorong aktor untuk "main aman" dalam ketidakbenaran.

Lalu mengapa kita gagal melihat ini? Karena sebagian besar intervensi antikorupsi hanya menyasar pada gejala, bukan akar. Kita terlalu percaya pada check-list reformasi, ada SPI, ada APIP, ada whistleblowing system---maka dianggap aman. Padahal critical realism mengingatkan, struktur sosial yang mendalam tak bisa ditangani hanya dengan perubahan permukaan. Dibutuhkan pemahaman kontekstual, dialog reflektif, dan keberanian untuk mengakui bahwa kadang sistem itu sendiri dibajak oleh orang-orang yang seharusnya menjaganya.

Dengan pendekatan ini, kita mulai bisa memahami mengapa dua instansi dengan sistem pengendalian yang sama bisa menghasilkan perilaku yang sangat berbeda. Karena yang membedakan bukan hanya sistemnya, tetapi konteks sosial, relasi antaraktor, dan mekanisme kekuasaan yang bermain. Reformasi birokrasi, jika ingin berhasil, harus memadukan antara struktur formal dan transformasi nilai, antara desain sistem dan politik institusional.

Jadi, ketika korupsi masih terjadi meski sudah ada pengendalian internal, itu bukan bukti kegagalan sistem semata. Itu adalah panggilan untuk menyelami kedalaman realitas sosial, untuk bertanya bukan hanya "apa yang salah", tetapi "apa yang diam-diam membuat yang salah itu tetap terjadi". Dan mungkin, dari sanalah kita bisa mulai membongkar akar, bukan sekadar menambal ranting.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun