Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mobil Listrik, Banyak Pilihan dan Banyak Keraguan

25 Juni 2025   20:05 Diperbarui: 25 Juni 2025   20:05 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Electric-car (Ilustrasi)/Image by freepik

Mobil listrik kini hadir dalam beragam pilihan. Dari model hemat buatan Asia sampai varian mewah bersaing dengan Eropa, semuanya makin mudah ditemui, terutama di kota besar seperti Jakarta. Pemerintah pun mendorong adopsi dengan insentif fiskal---PPN hanya 1%, bebas ganjil-genap, dan subsidi pembelian. Tapi meski tampilannya futuristik dan promosinya intensif, mobil listrik tetap belum jadi pilihan utama masyarakat.

Sebagai pengguna transportasi publik, saya melihat mobil listrik lebih cocok untuk bus kota atau kendaraan layanan publik. Di banyak negara, transisi dimulai dari elektrifikasi transportasi umum, bukan dari kepemilikan pribadi. Tapi di Indonesia, ajakan justru diarahkan ke pembelian individu, padahal ekosistem pendukungnya belum siap sepenuhnya.

Di luar Jakarta, keraguannya makin terasa. SPKLU (Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum) masih terbatas, showroom belum merata, dan tidak semua daerah memiliki kebijakan yang mendukung. Membeli mobil listrik di wilayah seperti ini tak hanya soal harga, tapi juga tentang bertaruh pada infrastruktur yang belum pasti.

Baterai, komponen paling mahal dalam mobil listrik, juga menjadi sumber kekhawatiran. Banyak orang ragu tentang daya tahannya, biaya penggantian, dan kejelasan garansi---apalagi untuk unit bekas. Masalah lainnya adalah tidak semua rumah punya garasi atau daya listrik cukup untuk pengisian. Jaringan bengkel pun masih belum luas, dan jika rusak, tidak semua teknisi bisa menanganinya. Walau harga awal EV makin turun, tetap saja masih lebih tinggi dibanding mobil konvensional seperti LCGC  (Low Cost Green Car atau Mobil Murah Ramah Lingkungan) yang telah lama jadi andalan kelas menengah.

Di balik semua itu, muncul juga pertanyaan, "seberapa hijau mobil listrik kalau listriknya masih dari batu bara?" Publik belum sepenuhnya yakin bahwa beralih ke EV betul-betul lebih ramah lingkungan atau hanya sekadar tren baru.

Jadi, meski pilihan mobil listrik kini banyak, keraguannya justru tak kalah banyak. Transisi energi tidak bisa hanya bergantung pada pasar dan konsumen, tapi harus dimulai dari kebijakan publik yang inklusif. Sebab di tengah banyaknya pilihan, yang paling menentukan tetap kepercayaan

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun