Kalau pemekaran wilayah adalah keniscayaan, mengapa kita tidak sekalian saja memekarkan seluruh kelurahan dan desa menjadi kota atau kabupaten? Toh, jika semua argumen rasional semacam kemampuan fiskal, kesiapan infrastruktur, atau ketersediaan sumber daya manusia tidak lagi menjadi syarat utama, maka batas-batas administratif hanyalah soal keinginan politik. Aspirasi bisa disulap menjadi legitimasi, dan seruan massa di halaman kantor DPR cukup menjadi pengganti kajian kelayakan yang tebalnya ratusan halaman. Dalam situasi seperti ini, mengapa harus repot mengkaji potensi PAD atau rasio belanja pegawai? Bukankah semangat otonomi daerah sudah cukup menjadi pembenar?
Baca juga:Â
- Kopdes Merah Putih: Sebaiknya Kita Harus Menjadi Lebah
- Trilogi Ilmu, Kekuasaan, dan Bisnis, Bag.2 Kekuasaan Merangkul Ilmuwan
Kita hidup di negeri yang pernah menegaskan bahwa pemekaran daerah harus didasarkan pada evaluasi teknokratis. Syarat itu dimulai  dari jumlah penduduk, luasan wilayah, potensi ekonomi, hingga kemampuan membiayai diri sendiri. Tetapi dalam praktiknya, semua itu hanya menjadi catatan kaki dalam rapat-rapat politik yang jauh dari prinsip kehati-hatian fiskal. Laporan resmi menyebutkan bahwa sebagian besar daerah otonom baru bahkan tidak mampu membiayai belanja rutinnya tanpa sokongan pemerintah pusat. Bahkan ada kabupaten yang tidak memiliki rumah sakit umum, belum memiliki universitas, atau tidak sanggup membayar belanja pegawai dari pendapatan asli daerah. Namun tetap saja dimekarkan, dengan penuh seremoni dan pidato tentang percepatan pembangunan.
Ironisnya, di sisi lain, ada kelurahan dan desa yang mengelola urusan publik jauh lebih baik daripada kabupaten hasil pemekaran. Kelurahan-kelurahan di kota besar mengatur pasar, mengelola sampah, menyusun musrenbang, bahkan memberi layanan digital yang belum tentu dimiliki oleh DOB baru. Tapi mereka tetap dianggap hanya "unit administratif", bukan "daerah otonom". Sementara entitas yang nyaris tak punya kapasitas fiskal bisa naik kelas jadi kabupaten dengan dalih "aspirasi rakyat". Ini bukan lagi soal distribusi kewenangan, tetapi inflasi status kelembagaan.
Jika demikian logikanya, mengapa tidak kita deklarasikan semua kelurahan sebagai kota saja? Atau mungkin sekalian saja setiap dusun diubah menjadi kabupaten, agar semua dapat jatah kursi, jatah proyek, dan jatah seremoni hari jadi. Jika pemekaran terus dilandasi selera politik tanpa disertai peta jalan pembangunan dan akuntabilitas fiskal, kita tidak sedang membangun otonomi daerah---kita sedang menciptakan kartel-kartel administratif.
Sudah waktunya kita bersikap jujur. Pemekaran bukanlah barang haram, tetapi juga bukan alat sulap untuk memuaskan elite. Ia harus tunduk pada rasionalitas kebijakan, bukan hanya retorika keterwakilan. Jika tidak, maka pertanyaan "mengapa tidak semua kelurahan jadi kota?" bukanlah lelucon, tetapi cermin menyedihkan dari arah desentralisasi yang kehilangan arah.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI