Di tengah kondisi ekonomi global yang lesu, banyak orang bertanya-tanya, kenapa pemerintah terus menambah utang? Bukankah utang justru menambah beban negara? Pertanyaan ini wajar, apalagi jika kita melihat angka utang yang kian menanjak setiap tahunnya. Tapi, ternyata tidak sesederhana itu. Utang bisa jadi penyelamat, namun, seperti obat yang punya efek samping, utang juga bisa jadi racun jika dosisnya berlebihan.
Ada satu teori, namanya Razor Theory. Teori ini muncul dari situasi saat suku bunga dunia berada di titik sangat rendah---bahkan mendekati nol---karena banyaknya tabungan dari kelompok kaya yang tidak tersalurkan ke sektor produktif. Akibatnya, uang hanya mengendap, dan ekonomi bisa stagnan. Dalam kondisi ini, hanya pemerintah yang bisa "menggerakkan" ekonomi lewat belanja besar-besaran, yang tentu saja dibiayai dari utang. Jadi, dalam logika Razor Theory, pemerintah harus berutang agar roda ekonomi tetap berputar.
Bayangkan ekonomi seperti mobil mogok di tanjakan. Masyarakat dan dunia usaha tidak punya cukup tenaga (baca: konsumsi dan investasi) untuk mendorong mobil itu naik. Maka, pemerintah turun tangan, mendorong dari belakang dengan utang sebagai tenaganya. Tanpa dorongan itu, mobil akan meluncur mundur---alias ekonomi jatuh ke jurang resesi.
Tapi di sinilah letak dilema. Kalau pemerintah terlalu agresif berutang, maka bunga dan cicilan akan membengkak. Belum lagi, pasar bisa panik karena menganggap negara tak mampu bayar. Akibatnya, nilai tukar melemah, inflasi melonjak, dan investor kabur. Razor Theory menyebut ini sebagai kondisi "berjalan di ujung pisau"---satu langkah salah bisa membuat semuanya berdarah-darah.
Coba kita lihat contoh nyata. Amerika Serikat, misalnya, dalam beberapa tahun terakhir menggelontorkan stimulus besar-besaran lewat utang untuk mencegah krisis ekonomi pasca-COVID. Hasilnya, mereka berhasil menjaga pertumbuhan, tapi di sisi lain, inflasi sempat melonjak tinggi, dan suku bunga kini naik lagi untuk mengimbanginya. Begitu juga dengan Jepang yang selama puluhan tahun mengandalkan utang pemerintah untuk menopang ekonominya yang deflasi kronis.
Bagaimana dengan Indonesia? Dalam menyusun APBN, pemerintah juga menghadapi tantangan serupa. Di satu sisi, ekonomi butuh stimulus---entah itu untuk infrastruktur, bansos, atau pendidikan. Tapi di sisi lain, beban bunga utang makin besar dan ruang fiskal jadi sempit. Jika tekanan global datang---seperti kenaikan suku bunga Amerika atau gejolak harga minyak---maka APBN bisa goyah. Itulah mengapa kebijakan fiskal kita harus benar-benar presisi tidak terlalu hemat, tapi juga tidak boros.
Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa utang adalah obat pahit yang harus diminum agar ekonomi tetap hidup. Tapi layaknya obat, ia harus diracik dengan dosis yang tepat. Kalau kebanyakan, bisa keracunan. Kalau terlalu sedikit, penyakitnya tak sembuh.
Pemerintah, dalam hal ini, adalah seperti dokter yang harus bijak---mendengarkan keluhan pasien, membaca tekanan darah ekonomi, dan memberikan resep yang sesuai. Publik juga perlu memahami bahwa utang bukan sekadar angka yang menumpuk, tapi bagian dari strategi menyelamatkan ekonomi. Namun, tetap perlu dikawal, agar tak berubah menjadi racun yang mematikan masa depan.
Referensi:
https://www.ft.com/content/7f38ee9c-c20a-45fa-87d6-dc77f9a88931?utm_source=chatgpt.com
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI