Mohon tunggu...
ruslan effendi
ruslan effendi Mohon Tunggu... Pengamat APBN dan Korporasi.

Lulusan S3 Akuntansi. Penulis pada International Journal of Public Administration, Frontiers in Built Environment, IntechOpen, Cogent Social Sciences, dan Penulis Buku Pandangan Seorang Akuntan: Penganganggaran Pendidikan Publik Untuk Kualitas Dan Keadilan (Pengantar Prof. Indra Bastian, MBA., Ph.D.)

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa larangan Ekspor Mineral Mentah Menguntungkan China?

21 Maret 2025   22:46 Diperbarui: 21 Maret 2025   22:46 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
steel-pipes-put-together (Ilustrasi), Image by onlyyouqj on Freepik

Mengapa Larangan Ekspor Mineral Mentah Menguntungkan China?

Kebijakan larangan ekspor mineral mentah yang diberlakukan pemerintah Indonesia sejak 2014, khususnya terhadap komoditas nikel, dimaksudkan sebagai langkah strategis untuk memperkuat hilirisasi industri dan mendongkrak nilai tambah ekonomi nasional. Namun, dalam praktiknya, kebijakan ini justru menciptakan peluang strategis besar bagi Tiongkok untuk memperluas dominasinya di sektor mineral kritis dan energi global. Secara tidak langsung, larangan ini memperkuat ketergantungan struktural Indonesia terhadap investasi, teknologi, dan pasar Tiongkok (Korteweg & Kranenburg, 2024).

Perusahaan-perusahaan Tiongkok seperti Tsingshan Holding Group dan Huayou Cobalt dengan cepat menanggapi kebijakan ini melalui pembangunan kawasan industri terintegrasi seperti Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) dan Weda Bay Industrial Park. Kawasan-kawasan ini menjadi pusat pengolahan nikel kelas dua (Nickel Pig Iron dan feronikel), serta secara bertahap berkembang menjadi penghasil nikel kelas satu (high purity class-1 nickel) untuk kebutuhan baterai kendaraan listrik (Korteweg & Kranenburg, 2024). Hal ini dimungkinkan karena Tiongkok memiliki keunggulan dalam bentuk pembiayaan murah, efisiensi teknologi pemrosesan, dan hubungan politik-ekonomi yang erat dengan pemerintah Indonesia. Skema investasi Tiongkok dalam industri smelter Indonesia juga mencerminkan bentuk vertikal integrasi yang kuat. Melalui joint venture mayoritas, perusahaan Tiongkok tidak hanya mengontrol proses pengolahan, tetapi juga menanamkan kendali atas infrastruktur pendukung seperti pembangkit listrik, pelabuhan, dan logistik kawasan (Korteweg & Kranenburg, 2024). Misalnya, IMIP merupakan hasil kolaborasi antara Tsingshan dan Bintang Delapan Group, dengan 49.7% saham dikuasai oleh Shanghai Decent (anak usaha Tsingshan).

Situasi ini menciptakan struktur pasar yang oligopsonistik, di mana hanya sedikit pemain besar---mayoritas dari Tiongkok---yang menguasai pembelian bijih nikel dalam negeri. Dengan pelarangan ekspor, penambang lokal kehilangan akses pasar bebas dan terpaksa menjual produknya kepada smelter yang dikendalikan Tiongkok, seringkali dengan harga yang lebih rendah dari harga internasional (Pratiwi, 2020). Ketimpangan dalam rantai pasok ini menguntungkan Tiongkok secara signifikan karena dapat memperoleh bahan baku dengan harga rendah dan menjual produk bernilai tinggi ke pasar global. Di sisi lain, Indonesia juga menanggung risiko sosial dan lingkungan yang besar akibat pembangunan industri berskala besar tersebut. Laporan dari Damuri et al. (2019) dan Pratiwi (2020) mencatat adanya kekhawatiran terkait masuknya tenaga kerja asing, degradasi lingkungan, dan kurangnya keterlibatan perusahaan lokal dalam rantai nilai. Di kawasan seperti Morowali dan Obi, pembangunan smelter dan pembangkit listrik batu bara telah memunculkan persoalan pencemaran lingkungan, konflik sosial, dan lemahnya pengawasan terhadap praktik ketenagakerjaan.

Lebih lanjut, dari sudut pandang geopolitik, kebijakan ini memperkuat posisi Tiongkok dalam mengamankan bahan baku strategis untuk transisi energi global. Permintaan terhadap nikel kelas satu meningkat drastis akibat pertumbuhan industri kendaraan listrik. Dengan mengendalikan lebih dari 48% pasokan global nikel (Korteweg & Kranenburg, 2024), Indonesia seharusnya memiliki posisi tawar kuat. Namun, tanpa mekanisme kebijakan yang jelas dalam pengaturan investasi asing, nilai tambah utama justru dinikmati oleh negara pengimpor teknologi dan pemilik modal. Sementara itu, negara-negara Barat masih menghadapi berbagai kendala dalam mengakses pasar nikel Indonesia. Uni Eropa, misalnya, menggugat kebijakan larangan ekspor Indonesia ke WTO. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan sumber daya nasional yang tidak diikuti dengan penguatan kapasitas industri domestik dapat menciptakan celah dominasi oleh negara-negara seperti Tiongkok, yang memiliki pendekatan investasi agresif dan terstruktur (Damuri et al., 2019).

Perlu dicatat pula bahwa keterlibatan Indonesia dalam proyek Belt and Road Initiative (BRI) telah memperluas ruang intervensi ekonomi Tiongkok di sektor-sektor strategis Indonesia. Melalui proyek-proyek infrastruktur besar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung dan proyek smelter di Sulawesi dan Maluku, BRI menjadi saluran penetrasi ekonomi yang memperkuat ketergantungan struktural (Pratiwi, 2020; Damuri et al., 2019). Proyek-proyek ini sebagian besar dilakukan dalam skema business-to-business (B2B), tetapi dalam praktiknya tetap memerlukan jaminan dan dukungan kebijakan dari pemerintah Indonesia (Damuri et al., 2019). Jadikebijakan larangan ekspor mineral mentah, meski didorong oleh semangat nasionalisme ekonomi, ternyata belum menghasilkan kemandirian industri sebagaimana yang diharapkan. Sebaliknya, kebijakan ini telah memperbesar ruang dominasi Tiongkok dalam rantai nilai industri mineral strategis global. Dalam jangka panjang, tanpa reformasi kelembagaan, penguatan kapasitas lokal, dan diversifikasi mitra investasi, Indonesia berisiko menjadi pemasok bahan baku murah dalam rantai nilai global yang dikendalikan kekuatan luar.

Referensi:

Damuri, Y. R., Perkasa, V., Atje, R., & Hirawan, F. (2019). Perceptions and Readiness of Indonesia Towards the Belt and Road Initiative. Centre for Strategic and International Studies. https://www.jstor.org/stable/resrep25409.5

Korteweg, R., & Kranenburg, V. (2024). The Good, The Bad, and The Ugly: Resource Nationalism, Geopolitics, and Processing Strategic Minerals in Indonesia. Clingendael Institute. https://www.jstor.org/stable/resrep60355.5

Pratiwi, F. I. (2020). China Belt and Road Initiative in Indonesia's Socio-Economic Security Challenges. In Sorotan Kebijakan Luar Negeri Indonesia. CSIS.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun