Mohon tunggu...
Lyfe

Aktivis Pragmatis atau Mahasiswa Apatis?

2 Desember 2016   01:48 Diperbarui: 2 Desember 2016   02:09 3702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dunia pergerakan mahasiswa hari ini semakin kehilangan taringnya. Hilang wibawa dan jati diri mereka. Pergerakan mereka telah semakin jauh berbelok meninggalkan nilai-nilai yang harusnya mereka bawa. Sisi ideologisnya mulai buram. Abu-abu. Mau dibilang idealis, ya tidak juga. Mau dibilang tidak idealis ya, salah juga.

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda”, begitu kata Tan Malaka di masa lalu. Para aktivis pun ikut serta untuk mengamini kalimat tersebut. Mengamini yang seperti apa? Dalam pikiran? Dalam ucapannya? Ataukah hsampai pada pengamalannya? Ah susah benar untuk dapat menilainya.

Mahasiswa hari ini menggunakan kalimat-kalimat seperti halnya di atas hanya sebagai pendongkrak citra mereka. Update statusdi jejaring sosial, menciptakan kata-kata puitis, share ke semua grup miliknya dan waw! Beribu like membanjiri postingan yang dianggap bijak tersebut. Tidak berbeda jauh dengan media komersil yang mudah dinikmati oleh khalayak hari ini.

Dalam tulisan ini, saya tidak mengatakan semua aktivis hari ini seperti itu. Namun, mayoritas telah memanfaatkan hal ini untuk menuju ke sana. Lalu, apa sangkut pautnya dengan aktivis pragmatis? Bahkan hingga kepada mahasiswa apatis sekalipun?

AKTIVIS MAHASISWA DAN BELENGGU PRAGMATISME

Aktivis mahasiswa berarti mereka yang aktif dalam kegiatan-kegiatan kemahasiswaan, intra ataupun ekstra kampus. Mereka adalah mesin, pendorong, dan penggerak dari sebuah organisasi. Bisa juga diartikan mereka yang banyak berprestasi, ikut lomba dimana-mana, hingga mereka yang hanya memanfaatkan kata “aktivis” untuk sekadar ikut kepanitiaan berbagai acara sekelasEvent Organizer  (padahal tidak perlu kuliah pun mereka juga bisa menjadi seperti itu).

Pragmatisme berarti faham yang berpikir kepada  tindakan instan untuk mendapat keuntungan yang lebih cepat dan banyak. Mereka yang berpandangan seperti ini – sadar atau tidak sadar – akan mempertimbangkan fungsi, kegunaan dan keuntungan apa yang akan mereka dapat ketika ikut andil dalam suatu hal. keuntungan tersebut sifatnya materiil. Calon anggota DPR, misal. Ketika ia akan membantu suatu daerah maka ia akan berpikir apakah yang akan ia dapat setelah melakukan hal itu? Suara saya nambah banyak apa enggak? Warganya banyak pro sama saya? Mereka ini sebelumnya menjadi pendukung partai saya atau tidak? Dan sebagainya. Beragam pertanyaan tentang  feedback yang akan ia dapat setelah itu.

Saya membedakan 3 aktivis mahasiswa dalam hal ini. Yaitu mereka yang bergerak di internal kampus, ekternal kampus, dan keduanya. Jika dalam lingkup internal kampus, idealnya pondasi pikiran mereka adalah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Mereka yang bergerak di ranah eksternal biasanya sudah lebih tinggi lagi pandangannya, yakni berdasar ideologi yang mereka yakini.

 Tidak ada kesalahan yang muncul setelah pembedaan tersebut. Namun, sesuatu yang mulai berbelok dari sisi ideal mereka untuk menjadi aktivis tersebutlah yang patut diperhatikan. Coba saja perhatikan tingkah mahasiswa yang ingin ikut menjadi panitia ini itu hanya untuk mengejar sertifikatnya saja. Sertifikat tersebut bisa ditukar untuk menjadi pelengkap poin mereka sebagai syarat kelulusan. Ataupun mereka yang memasuki organisasi tersebut hanya untuk mencari jaringan yang besar. Maka efeknya adalah banyak sekali kegiatan yang tidak ia perhatikan. Hanya hal hal tertentu saja yang menjadi sorotannya. Padahal, di lapangan teman-teman seperjuangannya sangat membutuhkan andil dan kontribusinya.

Coba kita tingkatkan lagi kelasnya. Mungkin se-tingkat presiden BEM. Tingkat paling bergengsi bagi dunia kemahasiswaan. Bagaimana presiden BEM mengajukan dirinya, hanya karena ia ingin eksis dan terlihat. Maka, segala dalih ia perjuangkan demi terpilihnya ia seorang. padahal, secara pengalaman, kapasitas keilmuan dan kemampuannya masih jauh dari kata “sanggup”.  Alhasil, kampus bergejolak. Protes sana-sini. Isu miring dimana-mana. Kinerja organisasi tersebut menurun, bahkan hilang tak terlihat. Ah, suka sekali mereka ini bermain dalam keseriusan.

Banyak modus yang akhirnya membuat mereka ini menuhankan segala materi, menuhankan popularitas, sehingga menjadi hamba nya ucapan terima kasih dari orang lain. Maka tak heran apabila pergerakan mahasiswa hari ini mulai lemas, kurang obat kuat katanya. Idealismenya saja sudah hilang dilacurkan demi kepentingan pribadi. Idelogi sebuah organisasi mulai berbelok kepada hal-hal yang sifatnya materiil dan menguntungkan.

Tidak salah apabila teman-teman mahasiswa menjadi seorang organisatoris. Justru dianjurkan masuk kedalamnya agar potensi dan bakat yang dimiliki setiap orang dapat dioptimalkan. Namun, kita lihat lagi selanjutnya. Apa niat kita sebagai aktivis ini sudah benar? Sudah lurus lempeng? Apakah nafsu pribadi melatarbelakangi kita untuk kesana? Apakah sudah benar perjuangan kita disana? Sekali lagi, bersihkan niat. Segala hal yang bersifat keuntungan materi yang biasanya diperoleh bukan menjadi patokan utama, itu hanya sebagai BONUS. Maka, ketika bonus itu tak berhasil dicapai, maka kita tidak akan goyah dalam berjuang dan melanjutkan tonggak kepemimpinan di dalamnya.

MAHASISWA APATIS

KUPU-KUPU (Kuliah-pulang-kuliah-pulang). Kurang lebih seperti itu sindiran yang dapat dilontarkan oleh mahasiswa yang katanya aktivis di kampus maupun luar kampus. Sindiran tersebut juga biasa dipakai sebagai dalil mereka untuk menarik teman-teman yang dianggapnya tidak peka sosial agar mau ikut andil dalam pergerakannya.  Sekali lagi, kasus mengatasnamakan suatu hal diangkat untuk membius pikiran para mahasiswa yang memihak pada pribadinya sendiri.

Saya tidak mengatakan ini salah atau tidak. Terkadang mereka yang disebut apatis ini kan juga ingin berfokus pada kegiatan akademiknya. Tidak ingin diganggu oleh urusan lain di luar hal tersebut. Bisa jadi mereka tsudah tidak kuat untuk memikirkan hal lain, atau bisa saja mereka inginkan hiburan yang sifatnya menyenangkan di luar waktu efektifnya berkuliah. Hingga mereka yang ingin fokus berkuliah karena memang citaa-citanya sebagai dosen, maka nilai harus tinggi dan menguasai seluruh mata kulia yang ada.

Ada alasan lain yang menjadikan mereka menjadi mahasiswa “pasca kepompong” tersebut. Satu hal yang paling menarik adalah alasan mereka untuk tidak megikuti organisasi pergerakan apapun, ataupun hingga organisasi internal karena tidak ingin mendapatkan musuh. Mereka tidak ingin berkutat di dalamnya karena ingin hidup damai dengan banyak teman masih di sekelilingnya. Maka ini yang harus dijadikan evaluasi bagi kedua golongan tersebut. Hilangkan fanatisme dalam organisasi ekstra kampus dan juga lepaskan belenggu dari apatisme yang menaungi setiap diri mereka. Bahwa stigma semacam itu tidak benar adanya jika dijadikan dasar mereka untuk memihak pada ketidakberpihakan. Semua hal harus dikembalikan pada konsep besarnya. Mengapa hal itu ada atau sebaliknya. Bukan melihat dari oknum-oknum di dalamnya.

Akibat yang timbul akibat apatisme mahasiswa semacam ini adalah dunia kemahasiswaan menjadi kurang dinamis dan setiap orang tetap menjadi budak-budak sistem yang mengkotak-kotakkan kita sebagai idealis merdeka. Semua memikirkan diri sendiri. Kesenangan pribadi. Dan yah.... akhirnya juga mereka gabut dan hanya akan menghabiskan semua hartanya untuk kepentingan pribadinya. Tidak ada niatan sama sekali untuk berkontribusi kepada sesama. Maka mereka tidak akan peka terhadap kondisi sosial masyarkaat sekitarnya.

Akhir pembahasan, saya tetap menepatkan kedua tipe mahasiswa ini sebagai golongan yang perlu disadarkan. Menjadi aktivis karena hanya memikirkan keuntungan di dalamnya adala kesalahan besar. Mahasiswa dalam gologan ini harus tetap menjunjung tinggi idealismenya hingga tua nanti, Agar ketika sudah saatnya memimpin bangsa ini mereka tidak menjadi pelacur ideologi yang merugikan banyak pihak. Bahwa ideologi bukan untuk diperdagangkan!

Begitu juga dengan mahasiswa yang hanya bisa memikirkan dirinya sendiri. Ingatlah, seorang yang hebat bukan lahir dari posisi ternyaman mereka saat ini. namun keluar dari hal-hal tersebut. Tidak ingin menjadi hebat? Lalu apa guna kau bersekolah hingga level tertinggi? masyarakat membutuhkan pelukan hangat kalian. Terutama mereka yang tidak seberuntung kalian bisa berpendidikan hingga jenjang yang kalian peroleh saat ini.

DAFTAR PUSTAKA

menghidupkan aksi karya alikta hasna, penerbit pustaka saga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun