Mohon tunggu...
Cak Miep
Cak Miep Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Hilangnya Semangat Generasi Pelopor

8 Mei 2019   18:32 Diperbarui: 8 Mei 2019   19:27 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di masa penjajahan pendiri bangsa membangun nasionalisme dalam konteks melawan penjajah. para pendiri bangsa yang berjuang di masa pergerakan didominasi oleh generasi muda. Baik sebagai individu maupun sebagai komunitas, golongan mudah layang berani secara radikal mempertanyakan tantangan zaman nya. Mulai dari Kartini yang menggugat sistem paternalistik, A Rivai yang mempertanyakan mentalitet pribumi hingga Sutomo dan Gunawan yang menggugat kemunduran bangsanya merupakan contoh generasi Pelopor. Mereka merupakan perintis Gerakan anak-anak Muda.


Sebagai suatu peristiwa munculnya kaum muda sebagai pelopor di awal abad XX tidak dapat dilepaskan dari struktur masyarakat nusantara agraris yang sedang berkembang dengan pendidikan modern. Dalam Masyarakat agraris generasi muda cenderung dianggap sebagai sosok penerus yang tidak akan banyak melakukan perubahan radikal.

Penghargaan dan penghormatan terhadap senioritas dalam masyarakat tidak digugat oleh generasi muda. Memang pada masyarakat saat itu ada tradisi pemuda yang belum menduduki posisi tertentu memilih mengembara dan menjadi "joko lelono", pemuda pengembara. Para pemuda meninggalkan rumah untuk berguru dan menuntut ilmu ke berbagai perguruan atau pesantren sebelum yang bersangkutan kembali dan menetap dengan keluarganya. Berhubung aktivitas yang dilakukan cenderung Individual pengaruhnya tidak cukup radikal atau revolusioner.

Kondisi diatas berbeda dengan kepeloporan pemuda terdidik atau pelajar pada awal abad XX. Perkenalannya dengan pengetahuan modern melalui budaya baca-tulis memungkinkan kaum muda ini melakukan pengembaraan intelektual. Sebagai sosok yang sedang mencari jati diri dan mudah resah melihat ketidakadilan, mereka mampu merumuskan masalah yang dihadapi zamannya secara cerdas. Mereka tidak hanya melakukan perjuangan secara individu. Waktu senggang yang dimiliki serta pengetahuan modern yang dikenal memberi ruang anak-anak muda terpelajar pada saat itu mengusulkan dan atau melakukan perubahan formulasi sesuai politik.


Pengalaman hidup mereka yang sering diperlakukan tidak adil oleh sistem kolonial memberi pengaruh yang signifikan terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan. Segregasi masyarakat nusantara yang membedakan mereka dengan kelompok timur asing dan eropa menyadarkan mereka bahwa sistem sosial-politik-ekonomi kolonial yang kapitalis tidak cocok dengan cita-cita ideal mereka. Konsekuensi dari pengalaman tersebut mereka mengusulkan suatu sistem sosial-politik-ekonomi yang bersifat inklusi, adil serta menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.


Cita-cita ideal yang berkobar-kobar dari kaum  muda ini mendorong mereka untuk berani bersikap berbeda dengan generasi sebelumnya maupun generasi sezamannya. Mereka berbeda dengan generasi sebelumnya karena cara pandang mereka tentang perjuangan sudah berbneda. Pada generasi sebelumnya perjuangan lebih dikaitkan dengan kekrasan, yaitu perlawanan senjata. Generasi muda ini melihat perjuangan bersenjata atau fisik dianggap tidak relevan lagi. Mereka mengusulkan suatu perjuangan yang lebih mengandalkan "akal" melalui suatu organisasi yang bersifat modern. Posisi mereka sebagai anak-anak terpelajar atau terdidik memberikan cara pandang yang lebih berbeda dengan generasi sebelumnya.
Mereka juga berbeda dengan generasi sezamannya. Sebagai kelompok kecil yang kreatif, khususnya sebagai golongan terpelajar yang tercerahkan mereka berani memikirkan sesuatu yang lebih besar serta kepentingan yang jauh kedepan. Mereka tidak larut dengan kepentingan pribadi semata. Pandangan yang visioner menyebabkan mereka berani masuk dubia pergerakan nasional yang penuh resiko.
Kemampuan mereka membaca memungkinkan mereka melihat realitas secara berbeda. Keberaksaraan yang sebelum kedatangan penjajah masih dikuasai oleh kalangan istana dan mengalami kemunduran sehingga mayoritas masyarakat nusantara terbelenggu dalam kelisanan mulai menampakkan titik-titik longgar perubahan. Melalui kemampuan membaca mereka makin banyak mengenal kata. Kata telah membebaskan mereka dari keterbatasan dunia yang sempit. Dari pemnendaharaan kata yang makin banyak, kesadaran mereka makin tumbuh dan merekah. Mereka tidak hanya merasa sebagai obyek dunia. Mereka juga mulai mencipta dunia. Mereka memposisikan diri sebagai subyek dunia. Sebagaian dari mereka kemudian menulis dan dalam menulis mereka mendahuluinya dengan membaca.


Keberaksaraan telah membebaskan sosok Tirto Adi Surjo, Wahidin Sudirohusodo, Kartini, A. Rifai, Ahmad Dahlan dari belenggu keterbelakangan yang dialami oleh bangsanya. Mereka menjadi resah dan gelisah. Pengetahuan moderend yang diperoleh menjadikan mereka tidak lagi dapat melihat tradisi secara tradisional. Keberadaban suatu bangsa tidak lagi mengandalkan pada budaya lisan. Mereka menyadari bahwa melalui tulisanlah suatu bangsa dengan membangun dan mengaktualisasikan diri secara maksimal. Kelebihan bangsa barat yang lebih maju dan berhasil menjajah nusantara bukan disebabkan oleh takdir tuhan.


Mereka berhasil menjajah bangsa Asia Afrika karena penguasaan ilmu dan teknologi. Mereka lebih mengandalkan akal dan pikiran. Cara efektif melawan penjajah tidak patut lagi mengandalkan kekerasan atau kekuatan senjata. Cara perlawanan yang efektif adalah mencerdaskan rakyat untuk berani berfikir merdeka. Kemerdekaan substantif suatu bangsa tidak mungkin di realisasi tanpa adanya rakyat yang berani berfikir merdeka.


Dalam konteks itulah generasi muda pada masa penjajahan sangat gemar membaca, berdiskusi, berpolemik dan menulis. Kelompok ini biasanya tidak terbelenggu oleh kepentingan pribadi dan jangka pendek. Sikap altruis, yaitu kerelaan untuk berkorban demi kepentingan orang banyak cukup menonjol pada kelompok ini. Pada saat generasi sezamannya cenderung memikirkan memikirkan kepentingan diri dan keluarga melalui belajar dan mencari pekerjaan yang dapat memberi kemandirian ekonomi, generasi kreatif ini rela berkorban untuk kepentingan sempit dan sesaat yang dihadapi. Keberanian mereka dalam berjuang dengan pemikiran yang visioner itulah yang secara umum mereka disebut generasi pelopor.


Menurut sejarawan Onghokham (1991;136-7), posisi kaum muda tahun 08 dan 28 karena posisinya yang istimewa. Pada saat mayoritas masyarakat nusantara belum mengenal baca tulis, mereka mengenal dan mendapat ilmu barat. Berkat ilmu penguasa kolonial memungkinkan kaum muda ini sebagai intelegensia. Intelektual yang berfikir untuk masyarakatnya. Baik mereka yang belajar kedokteran, teknik, ilmu hukum, atau ekonomi tidak menyempitkan diri dalam bidang-bidang mereka, akan tetapi bacaan dan pendalaman pengetahuan mereka yang luas menyebabkan sadar akan isu-isu besar zaman mereka seperti kolonialisme, imperialism, hubungan internasional dan lain-lain. Generasi ini memang istimewa, berani menentang kolonialisme, menyodorkan suatu keadaan lain dari yang ada, yakni suatu indonesia merdeka."


Sebagai generasi pelopor secara kuantitas yang terlibat didalamnya tidak besar. Menurut Robert Van Niel (1984) kalangan terpelajar yang terlibat dalam dunia pergerakan tidak lebih dari 10% jumlah pelajar pada saat itu. Namun karena masalah yang diangkat banyak menyangkut masalah hajat hidup orang banyak pengaruhnya cukup besar dan signifikan dalam perubahan zaman. Gelora perjuangan kaum muda, sudah barang tentu bukan sekedar muda karena usia, melainkan karena pemikiran sangat menentukan perjalanan bangsa indonesia.
Dan mereka yang terjun dalam bidang pergerakan pada saat itu memang telah terseleksi oleh istem sosial-politik zamannya. Mereka yang tertarik dengan perjuangan rakyat tidak semata-mata disebabkan oleh keberanian, melainkan juga idealisme. Memperjuangkan bangsa dan negara bukan untuk memperoleh jabatan dan fasilitas. Sikap dan tindakan mereka sering menghadapi resiko ditangkap dan ditahan oleh aparat pemerintah kolonial. Suwardi Surya Ningrat, Douwes Dekker, Ciptomangonkusuma, Marcodikromo, Cokroaminoto, Tan Malaka, Sukarno, Hatta, Sjahrir dan banyak tokoh pergeragak lainnya yang ditangkap dan dipenjara oleh penguasa. Mereka tidak gentar. Konsekuensinya mereka yang berjuang sejak awal siap menghadapi resiko. Salah satunya ditanah merah Dan Boven Digul yang cukup menyiksa. Mereka yang ditangkap dan ditahan tidak malu. Mereka juga tidak dijauhi oleh masyarakat. Masyarakt tetap hormat dan kagum karena mereka dotahan justru oleh komitmen perjuangan untuk rakyat, bangsa dan negara. Dan setelah merdeka sebagian dari tokoh-tokoh yang ditahan tersebut dipercaya menjadi pejabat.


Dalam sejarah indonesia pelopor angkatan 08, 28, 45, 65 hingga generasi 98 jumlahnya tidak banyak. Baru setelah mereka menghadapi tantangan yang besar, kekuatan sosial politik yang lebih besar ikut mendukungnya. Demikian perubahan terjadi generasi muda tersebut tersisish atau di sisishkan oleh kekuatan sosial politik yang ada. Sebagai kekuatan moral, kaum muda berjuang bukan untuk merebut kekuasaan dan jabatan, melainkan lebih mendorong pemerintah untuk menjalankan kekuasaan yang melayani rakyat dan membawa kebanggaan sebagai bangsa. Memang sering timbul perdebatan tentang posisi dan peran generasi muda dala proses sejarah. Tetapi yang jelas kaum muda, khususnya mahasiswa terbiasa tampil sebagai kekuatan moral dalam suatu perjuangan.


Terlepas dari proses sejarah gerakan perubahan yang dilakukan kaum muda kadang membawa pesimisme, namun sejarah juga membuktikan bahwa kepeloporan generasi muda selalu memberikan suatu harap perubahan yang lebih baik. Kembali pada tema diatas, munculnya Nasionalisme dan pancasila tidak dapat dilepas pisahkan dari kepeloporan generasi muda. Nasionalisme indonesia maupun ideologi pancasila merupakan produk dan konstruksi kaum muda zamannya.


Nasionalisme dan pancasila pada mulanya dijadikan sebagai counter ideology terhadap kolonialisme, imperialisme dan feodalisme yang menyebabkan kemiskinan dan kebodohan masyarakat nusantara. Proses menghadapi kolonialisme, imperialisme dan feodalisme dengan menempatkan nasionalisme dan pancasila berada dalam posisi Yang secara diametral bertentangan. Selama penjajahan berlangsung tidak mungkin terealisasi praktek kehidupan yang demokratis. Pihak penjajah selalu menekankan aspek Expo eksploitasi dominasi dan hegemoni terhadap masyarakat nusantara.
Penjajahan yang melakukan politik segregasi sosial jelas tidak memperlakukan manusia yang ada di wilayah nusantara dalam posisi setara. Padahal kesetaraan merupakan prasyarat dasar bagi berlangsungnya praktek demokrasi. Pada saat yang bersamaan, politik segregasi yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda juga tidak memberi ruang bagi sesama warga untuk mengakui adanya perbedaan dan keberagaman. Konsekuensinya sikap empati dan toleransi sulit dikembangkan tumbuhkan.


Demikian halnya praktik feodalisme yang diterapkan oleh eh elite Bumiputera perlu dihilangkan demi penghormatan dan pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia yang adil dan manusiawi. Feodalisme tidak memberi ruang bagi rakyat Kebanyakan untuk berkembang secara luas. Sistem feodal cenderung membatasi mobilitas sosial. Hanya keturunan para bangsawan dan elit yang memperoleh peluang mengembangkan diri. Pada masa pergerakan nasional mereka ini sering disebut sebagai bangsawan keturunan. Sebaliknya para pemuda dan pelajar yang berprestasi tidak selalu berasal dari kelas bangsawan. Muncul istilah pada saat itu "bangsawan keturunan" dan "bangsawan pikiran". Bangsawan keturunan digunakan untuk menggambarkan para elit yang lebih mengandalkan garis keturunan dalam mencari pekerjaan atau menduduki tempat tertentu. Mereka ini sering dikategorikan sebagai elite tradisional. Sebaliknya para pemuda yang memiliki latar belakang pendidikan dengan kompetensi yang jelas disebut sebagai "bangsawan pikiran". Kelompok ini dalam mencari pekerjaan lebih mengandalkan prestasi dan hasil kerja kerasnya. Sebagai lawan dari generasi tradisional, kelompok yang terakhir tersebut disebut sebagai elit modern (Van Niel 1984). Kaum muda Pelopor mengutamakan meritokrasi, yaitu lebih menghargai prestasi dibanding sekedar relasi.


Hak asasi manusia selama Indonesia dalam cengkraman kolonialisme dan imperialisme juga tidak dapat terealisir. Hak untuk hidup, Hak untuk memiliki, menyatakan pendapat, hak berkumpul dan berorganisasi sangat dibatasi. Selain diberlakukan peraturan perundangan yang diskriminatif dan represif terhadap masyarakat pribumi, gubernur jenderal juga memiliki kekuasaan istimewa. Kekuasaan tersebut "extra orbitante rechten". Kekuasaan ini (interning, externing, dan verbaning) digunakan oleh Gubernur Jenderal untuk menindas tokoh-tokoh pergerakan dengan cara menangkap menahan dan membuang pada suatu daerah tertentu. Bahkan sejak tahun 1920-an, pemerintah kolonial Belanda membuat tempat pembuangan yang sangat keras dan menyengsarakan, yaitu Boven Digul.
Hak menyatakan kemerdekaan an yang merupakan bagian resensi dari hak asasi manusia tidak dapat direalisasi dalam alam penjajahan. Konsekuensi dari hal tersebut menyebabkan pembentukan masyarakat sipil adalah kemustahilan dalam masyarakat jajahan titik selama penjajahan masyarakat nusantara diperlakukan sebagai warga negara yang kedudukannya paling rendah. Warga pribumi di duduki oleh pihak Belanda dan bangsa Eropa. Golongan kedua diduduki oleh warga Timur (Cina Arab India). Warga asli Nusantara menjadi tersiksa dan nestapa di negerinya sendiri. Mereka tidak mempunyai hak untuk ikut mempengaruhi kebijakan politik penjajahan.


Kondisi sosial ekonomi dan politik yang tidak menguntungkan justru mampu merangsang pemikiran dan idealisme generasi muda waktu itu. Mereka berusaha membuktikan bahwa anak-anak Nusantara juga dapat berprestasi setara dengan bangsa timur asing maupun bangsa barat. Kalangan muda terpelajar waktu itu tidak mengeluh dan pasrah pada keadaan. Dalam situasi yang penuh keterbatasan mereka terus berjuang dan membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang dapat berprestasi titik Belenggu "mental inlander" yang banyak mempengaruhi menset masyarakat pada umumnya ingin dihilangkan. Cara pertama adalah Mereka memberi contoh dan bukti bahwa anak-anak pribumi itu tidak malas suka kerja keras serta memiliki prestasi. Mereka tidak minder dalam berinteraksi dengan orang timur asing maupun bangsa barat.


Upaya untuk menjadikan warga negara Indonesia bangga dengan negara dan tanah airnya memerlukan internalisasi nasionalisme. Pandangan hidup sebagai warga negara Indonesia yang merdeka serta bercita-cita menciptakan tatanan masyarakat yang adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan perlu pembelajaran dan pengamalan pancasila secara konsekuen dan konsisten. Posisi nasionalisme dan Pancasila tidak dapat semata-mata dijadikan jargon melawan kekuatan asing sebagaimana terjadi pada masa Indonesia belum merdeka.
Aktualisasi nasionalisme lu dikaitkan dengan upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia secara berbudaya. Pencapaian prestasi unggul menjadi prioritas. Kebanggaan sebagai bangsa dapat bangkit bila banyak warga yang berpartisipasi. Meritokrasi, proses pencapaian prestasi yang bersumber dari kesungguhan disiplin dan kerja keras jauh lebih dihargai dan dihormati. Sebaliknya keberhasilan yang disebabkan oleh kolusi nepotisme apalagi korupsi harus dihindari. Dalam konteks itulah penegakan hukum secara adil menjadi tuntutan yang mendesak.


Sejak awal pendiri bangsa para pendiri bangsa sepakat bahwa Indonesia adalah negara republik bukan negara monarki. Sebagai negara republik Indonesia memposisikan diri sebagai negara hukum (Rechsstaat) bukan negara kekuasaan (Manchsstaat). Kebebasan dan kewajiban warga negara dalam berinteraksi dengan individu lain maupun dengan lembaga negara diatur dalam suatu regulasi. Penguasa tidak dapat memaksa kehendak para rakyat tanpa dasar hukum yang jelas.
Pada negara hukum, hukum senantiasa diposisikan sebagai pengendali tertinggi kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan negara. Di operasionalisasikan pengaturan kedudukan wewenang tugas fungsi dan tanggung jawab jabatan yang busikan kepada lembaga-lembaga negara ataupun badan-badan pemerintahan serta hubungan pemerintahan negara dan rakyat. Konsekuensinya setiap orang maupun badan hukum wajib tunduk pada hukum, mereka bisa diganti dan dikenakan sanksi hukum bila melakukan perbuatan melawan hukum sedangkan hukum bersifat tetap sebagai acuan tata kehidupan bernegara.

Konsekuensinya penegakan hukum secara adil menjadi suatu keharusan dalam membangun masyarakat modern. Masyarakat perlu dibina dibiasakan dengan tata kehidupan yang tertib dan disiplin tanpa menghambat aktualisasi hak dasar dan kreativitasnya sesuai dengan sistem nilai Pancasila. Konsekuensinya berbagai regulasi yang ada harus sejalan dengan prinsip-prinsip dasar yang ada dalam Pancasila dan konstitusi negara. Pancasila harus lebih banyak dijadikan sebagai media mempersatukan bangsa Indonesia yang beragam dari latar etnis agama sosial dan budaya. Nasionalisme dan Pancasila diharapkan dapat menjadi faktor integrasi bangsa sekaligus menset warga Indonesia.


Dalam konteks itulah penghormatan dan pengakuan terhadap peran kaum muda dengan menempatkan nasionalisme dan Pancasila sebagai referensi kehidupan utama menjadi sangat esensial. Kita semua berkewajiban menjadi nasionalisme dan Pancasila menjadi sumber dan inspirasi etos kerja bagi warga Indonesia yang modern. Realisasi prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia dalam suatu kehidupan masyarakat sipil yang beradab serta bermartabat perlu diimbangi dengan kewajiban yang melekat pada diri warga negara.


Hal ini penting karena di era globalisasi informasi dan komunikasi berlangsung sangat cepat. Generasi muda cenderung direkayasa menjadi generasi penonton dan konsumen. Media massa elektronik memberi tawaran hiburan sepanjang 24 jam Dengan diselingi berbagai iklan yang memikat. Konsekuensinya berbagai pengaruh asing baik yang positif maupun yang negatif dengan cepat dan masif berdatangan. Informasi yang masuk pada diri seseorang tanpa disikapi sejarah kritis dikategorikan sebagai pengaruh bawah sadar. Ironisnya sebagian besar perilaku manusia lebih banyak ditentukan oleh pengaruh bawah sadar. Diperlukan sikap kritis dan kreatif dalam menyikapi proses budaya konsumtif dan hedonis. Usaha tersebut membutuhkan suatu penyadaran sebuah proses koensientisasi.

Untuk memulai proses tersebut dibutuhkan suatu penguatan dan pemberdayaan terhadap generasi muda. Nasionalisme dan Pancasila dapat dijadikan sebagai filter sekaligus obor dalam menyaring dan mengembangkan budaya asing yang sesuai dengan nilai-nilai budaya Nusantara.

Dalam kaitan itu pendidikan politik terhadap generasi muda bukan semata-mata untuk menguasai pengetahuan tentang hak dan kewajiban warga terhadap negara, demokrasi dan masyarakat sipil saja. Orientasi utama dan paling utama adalah mengembangkan mindset yang sesuai dengan nilai-nilai luhur yang ada dalam nasionalisme dan Pancasila. Generasi muda menjadi tahu dan sadar bahwa sejak awal bangsa Indonesia negara bangsa telah menerima berbagai perbedaan agama etnis ras budaya dan bahasa. Keberagaman dalam kehidupan masyarakat Indonesia memang suatu keniscayaan. Bukan semata-mata adanya sesanti Bhinneka Tunggal Ika, kita menghormati perbedaan melainkan juga disebabkan oleh kondisi sosiologis masyarakat Indonesia yang memang beragam.

Sudah barang tentu dalam memahami Pancasila sebagai kekuatan atau roh progresif dan revolusioner, rasi muda memerlukan suatu Kancah dan panggung. Kancah dan panggung tersebut adalah kehidupan riil yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Optimisme dan selalu berupaya untuk mengejar prestasi agar secara pribadi dapat berdiri tegak sejajar dengan bangsa lain dengan membangun reputasi yang baik menjadi suatu kebutuhan. Mereka dapat berhasil dan berprestasi dalam bidangnya masing-masing, misalnya dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kegiatan sosial, olahraga dan sebagainya. Melalui prestasi dan reputasi yang telah dilakukan tidak hanya menghilangkan sikap inferior pada yang bersangkutan, melainkan juga dapat menyinari dan memberikan semangat pada masyarakat sekitar. Nasionalisme dan Pancasila tidak hanya berhenti pada retorika melainkan sudah dalam in action.

Diperlukan suatu mindset berkembang untuk menopang keberhasilan generasi muda sekaligus bangsa Indonesia secara keseluruhan sebagai generasi Pelopor. Melalui perubahan mindset yang positif dimungkinkan generasi muda tidak hanya puas menjadi generasi pengekor melainkan akan memilih dan berjuang sebagai generasi Pelopor. Mereka yang telah menjadi pelopor biasanya tidak dikendalikan oleh kekuatan di luar dirinya. Mereka bukan sosok pribadi yang hanya sekedar dibentuk oleh lingkungan. Generasi pelopor adalah sosok pribadi yang berhasil mengendalikan pikirannya secara sadar sekaligus mengatasi kepercayaan atau keyakinan yang membatasi (self-limiting beliefs) darinya. mereka mampu mengembangkan mindset yang dinamis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun