Mohon tunggu...
Faris Rusydi
Faris Rusydi Mohon Tunggu...

Laki-laki. Mahasiswa. Aremania. Milanisti. Penggila sepakbola. Pecinta revolusi, diskusi, dan aksi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengaruh Zeitgeist (Jiwa Zaman) dalam Historiografi

15 Mei 2011   06:16 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:40 4139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Berangkat dari hal diatas, maka ketika itu sejarah dianggap merupakan proses kosmis dimana Tuhan dan manusia merupakan partisipan utama. Peristiwa yang terjadi di dunia tidak hanya merupakan perbuatan manusia, tetapi juga merupakan rencana-rencana Tuhan. Oleh karena itu karya historiografi saat itu tidak lebih dari sebuah epos ketuhanan, yang dipahami sebagai pertarungan antara “malaikat” melawan “iblis”, alias “baik” dan “jahat”. Hal ini sebagaimana ditulis Agustinus dalam City of God yang menggambarkan antara Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Dobuli (negara setan).

Gereja pun juga turut berperan dalam perkembangan historiografi saat itu. Kontribusi nyata adalah gereja menulis mengenai sejarahnya sendiri, dan menggunakannya sebagai media dalam kristenisasi serta melawan paganisme. Sejarawan abad pertengahan membawa prinsip “demi kemuliaan Tuhan” dalam menulis sejarah, sehingga karya-karya mereka tampak unsur-unsur ambisi pribadi, patronase, dan loyalitas kelompok. Banyak sejarawan kala itu merupakan biarawan, pejabat gereja, atau bahkan uskup sekalipun. Begitu jelasnya unsur kepentingan (terutama kepentingan gereja dan penguasa) inilah yang menjadi kelemahan penulisan sejarah era abad pertengahan ini.

Humanisme: Pencerahan Kembali Historiografi
Kesadaran akan “sejarah sebagai ilmu” makin lama tumbuh, dan sejarawan pun (dengan didorong arus renaissans) berusaha membawa sejarah kembali pada posisi yang lebih ilmiah. Usaha yang dimulai pada abad ke-12 inilah yang menjadi benih-benih dari historiografi modern. Sejarawan saat itu tidak didominasi oleh teolog ataupun gerejawan, tetapi masyarakat awam, sehingga posisi netralitas benar-benar terjaga. Ketertarikan kembali para sejarawan terhadap kebudayaan klasik dan peniruan-peniruan mereka pada model historiografi klasik membuat babak baru bagi historiografi. Dengan membawa sikap yang berdasarkan rasionalitas inilah, beberapa sejarawan mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam penulisan sejarah. Para sejarawan abad pertengahan akhir inilah yang akhirnya memasukkan kembali unsur penting dalam penulisan sejarah: Humanisme.

Humanisme pada dasarnya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pada bidang kesusastraan, terutama penulisan sejarah adalah apresiasi positif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dimana posisi ‘manusia’ dalam sebuah peristiwa lebih berperan dibanding Tuhan. Dalam penulisan sejarah humanis, para sejarawan mengurangi sifat-sifat mistis, menghindari keajaiban-keajaiban, dan memperkecil pengaruh Tuhan pada setiap peristiwa. Dalam konteks ketuhanan, mereka bukanlah ‘anti-kristen’ atau skeptis terhadap agama Kristen, tetapi mereka lebih bersikap mengabaikan daripada menolak nilai-nilai teologis. Tetapi pada sisi yang lain, humanisme ini mendorong para sejarawan cenderung melakukan sekularisasi di bidang sejarah dan memunculkan kecenderungan baru, yaitu: kebanggaan penduduk di Italia pada kehidupan kota.

Leonardo Bruni menjadi sejarawan panutan dalam historiografi humanis saat itu, karyanya yang berjudul The Twelve Books of Florentine History membawa unsur-unsur humanis dalam penulisan sejarah. Bruni menulis Florentine History dengan gaya retorik khas Romawi-Yunani klasik, dimana ia mengaku terinspirasi oleh kultur klasik dalam penulisannya. Ia juga menghapus hal-hal yang bersifat supranatural dan legenda-legenda pagan ataupun Kristen. Dalam hal ini ia mirip dengan Polybius, yang menganggap bahwa akurasi data dan kritik sumber merupakan hal yang penting dalam sebuah penulisan sejarah, tetapi menyajikan sejarah dengan gaya tulisan retoris.

Penulisan sejarah oleh Machiavelli dan Guicciardini adalah contoh yang menunjukkan masa transisi dari abad pertengahan ke masa renaissans. Mereka adalah sejarawan yang anti terhadap retorika, sangat menghargai kebenaran, dan cenderung menggurui. Dalam karya mereka, sejarah benar-benar bersifat sekuler dan terbatas pada analisa-analisa politik. Upaya-upaya sekulerisasi sejarah dan adanya unsur-unsur humanis inilah yang memicu abad pencerahan (renaissans) di bidang historiografi.

Efek humanis ini juga merembet ke gereja, dimana perpecahan-perpecahan mulai terjadi di kalangan gerejawan. Kristen terpecah-pecah pada beberapa kelompok, dan antar kelompok tadi saling bersaing dan saling melawan. Saat Machiavelli mulai menulis History of Florence, pada saat yang sama Martin Luther membakar surat kepausan di Wittenberg. Reformasi gereja ini membawa penulisan sejarah gereja bersifat kontradikitif. Antara golongan reformis dan kontra-reformis saling bertarung dan keduanya menggunakan sejarah sebagai alat untuk men-delegetimasi lawan mereka. Kaum Protestan berusaha untuk menemukan bukti-bukti bahwa upacara dan dogma Katolik bersifat semi-pagan, dan lembaga kepausan merupakan lembaga anti-kristus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Katolik dengan berusaha untuk membuktikan kesombongan-kesombongan Protestan dan kebid’ahan mereka.

Reformasi gereja membawa motivasi yang berbeda dalam penulisan sejarah, bukan terletak pada “pengetahuan untuk mengetahui proses evolutif sebuah zaman”, tetapi berubah menjadi “pembenaran untuk menyerang lawan”. Robert Barnes dalam karyanya yang berjudul The Life of The Popes of Rome menggambarkan bahwa kepausan bertanggungjawab terhadap kemelaratan yang terjadi pada masa abad pertengahan dan memuji pemikiran-pemikiran kaum sekuler yang merupakan lawan dari kepausan.

Humanisme membawa efek negatif bagi historiografi gereja, dimana saling serang dengan menggunakan media penulisan sejarah menjadi hal biasa pada masa itu. Masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk menjatuhkan lawan-lawannya dengan menunjukkan sejarah kelam mereka. Sejarah yang penuh dengan kontroversi ini pastinya tidak membawa dampak menenangkan, justru semakin memperkeruh suasana. Penulisan yang mampu memunculkan pertikaian fisik ini makin lama makin dijauhi dan unsur humanis mulai ditinggalkan. Kebangkitan keilmuan sejarah pun dimulai, setelah benih-benih kebangkitan melalui historiografi humanis, benih itu terus berkembang menjadi historiografi rasionalis yang sangat mementingkan akal sehat.

Ekspansi bangsa Eropa dalam mencari dunia baru (The New World) membawa era baru dalam penulisan sejarah. Minat sejarawan semakin meluas dan berkembang, dan penulisan a la Herodotus mulai banyak disukai oleh para sejarawan. Historiografi masa itu berkembang pada gaya penulisan yang bersifat deskriptif daripada narasi kronologis. Cerita mengenai kejelekan-kejelekan antar gereja berganti mengenai kisah-kisah kebudayaan dan adat-istiadat. Saat-saat inilah studi etnografi dan geografi memegang peranan penting dalam sebuah historiografi.

Ekspansi Eropa ini mampu membawa pengaruh dalam setiap perkembangan ilmu, terutama pada dogma-dogma gereja yang makin lama makin disangsikan kebenarannya serta penemuan-penemuan baru guna mengeksplorasi alam semesta lebih jauh. Sikap-sikap rasionalisme dan munculnya filsafat-filsafat baru (terutama di bidang sosial dan ilmu pengetahuan) membuat sejarah juga mengikuti arus zeitgeist (jiwa zaman). Keajaiban dan segala hal yang bersifat mistis (supranatural) semakin menghilang dan tergantikan oleh rasionalitas manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun