“Dari klasik kembali ke klasik, mungkin inilah pola yang terjadi pada penulisan sejarah saat ini. Apabila dipandang pada perspektif mistis-rasional, maka sejarah modern kini kembali ke era klasik dimana unsur-unsur yang berbau mistis dan simbolik berusaha untuk dimaknai kembali dan diberi porsi yang lebih. Oral history juga dikembangkan dengan lebih luas guna mengetahui pola-pola perkembangan zaman umat manusia.”
Berbicara mengenai historiografi modern saat ini, rasanya ada yang janggal ketika melihat modernitas itu dipahami sebagai sesuatu yang bersifat rasional dan meminggirkan hal-hal yang berbau mistis. Padahal, yang terjadi pada historiografi modern saat ini adalah pengembangan bidang oral history yang diharapkan kelak akan membantu manusia dalam mencari kehidupan di masa lalu. Penggunaan oral history, terutama dalam studi sejarah kuno tentunya akan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat mistis dan supranatural, dimana dalam hal ini rasionalisme dalam perspektif modern tentu berusaha membuang jauh-jauh hal-hal yang tidak bisa di logika.
Hal yang bersifat kontradiktif ini menjadi sebuah ‘permasalahan logika’ ketika melihat kondisi kultural dan sosial Indonesia. Kultur masyarakat Indonesia yang masih kental terhadap hal-hal yang bersifat mistis menjadi masalah tersendiri dalam penerapan rasionalisme di Indonesia. Skema oral history yang kini dikembangkan oleh para sejarawan modern menjadi buah simalakama, dimana pada satu sisi membantu dalam penambahan sumber serta di sisi yang lain terkadang masih kuatnya hal-hal mistis dalam kisah-kisah tersebut.
Apabila ditelaah, proses penulisan ini seperti ini bagai kembali ke masa klasik, dimana Herodotus dan Tuchydides membuat sebuah historiografi berdasarkan kesaksian-kesaksian dan berusaha melogika hal-hal yang bersifat mistis tadi. Kembali ke awal, mungkin pola historiografi mengikuti pola sejarah yang selalu berulang dan berulang. Seperti kembali ke masa Tuchydides menulis sebuah historiografi, atau mungkin Indonesia akan mengawali sebuah era sejarah baru? Entah, tapi yang jelas dunia pun turut mengembangkan metode oral history saat ini. Mungkin dengan melihat kembali proses berkembangnya teori-teori sejarah, kita bisa mengetahui ke arah mana perjalanan historiografi dunia kelak di masa depan.
Historiografi Klasik
Berbicara mengenai historiografi, tentu tidak bisa mengesampingkan peran ilmuwan Yunani kuno yang suka mencari hubungan genealogis mereka dan menggambarkan kisah-kisah lama dalam bentuk syair kepahlawanan. Homerus mencatat kisah Illiad and Oddyssey dalam sebuah syair kepahlawanan yang begitu retoris dan sastrawi. Pengkisahan ini lambat laun berkembang menjadi sebuah tuntutan intelektual, dimana sejarah merupakan sebuah pengetahuan mengenai masa lampau yang diperlukan untuk mengetahui proses evolutif kekinian. Hal ini memunculkan gagasan untuk membuat sebuah historiografi dalam bentuk sebuah prosa, gagasan yang di-backing-i oleh sejumlah filsuf rasionalis saat itu.
Herodotus menjadi pionir dalam usaha prosanisasi historiografi, dimana ia menawarkan sebuah penulisan sejarah yang sistematis, memakai perspektif dari berbagai bidang ilmu, dan tidak terjebak pada keberpihakan. Tuchydides juga menampilkan kesegaran dalam perkembangan historiografi pada masa itu, dimana ia menjadi penulis sejarah yang anti terhadap sifat retorik, mengedepankan kritik sumber, menanggalkan mitos dan hal-hal yang bersifat epik, menyingkirkan segala hal yang berbau supranatural, sehingga ia menjadi seorang yang bisa dibilang “sejarawan sekuler” dan “bapak sejarah kritis”.
Dua aliran besar ini, dimana Herodotus merupakan ahli “sejarah kebudayaan” dan Tuchydides yang ahli “sejarah politik” menjadi aliran besar dalam penulisan sejarah saat itu. Hingga akhirnya Polybius muncul dalam kancah historiografi Yunani klasik dengan menggabungkan prinsip kedua sejarawan tersebut. Ia memegang teguh prinsip kritik sumber dan akurasi data Tuchyides dengan gaya bahasa serta multi-perspektif keilmuan a la Herodotus dalam menulis sebuah karya sejarah.
Netralitas menjadi unsur penting dalam sejarah, seperti yang dilakukan oleh ketiga tokoh yang telah kita bahas diatas. Tetapi hal ini tidak berlaku bagi Titus Livius, dimana baginya sejarah adalah sebuah keberpihakan dan kebanggaan. Subyektifitas yang tinggi dan sifat-sifat nasionalis dalam karya Livius. Ia memandang sejarah adalah sebuah ilmu pengetahuan sekaligus seni; dimana fakta, mitos, keajaiban, dan isyarat-isyarat supranatural ia campur-adukkan dalam karyanya. Ia adalah seorang penulis sastra yang sangat baik, tetapi mungkin bukan merupakan contoh penulis sejarah yang baik. Penghormatannya yang berlebihan terhadap Romawi merupakan contoh buruk dalam sebuah penulisan sejarah.
Keberpihakan ini nantinya akan menjadi sebuah proses penting dalam kemunduran karya-karya historiografi zaman klasik. Pengagungan terhadap satu sosok tertentu dan keberpihakan terhadap golongan tertentu ini kelak akan dimanfaatkan oleh golongan Kristen yang akan meletakkan prinsip-prinsip ketuhanan pada umat manusia saat itu. Proses-proses ini yang kelak akan dimainkan oleh Marcus Aurelius (Variae), Procopius (History of His Own Time), Uskup Gregorius (History of The Franks), dan yang lainnya.
Historiografi Gerejasentris
Penulisan sejarah bergaya Livius menjadi populer pasca kekalahan paganisme atas agama Kristen. Caesar Constantine yang menetapkan agama Kristen sebagai agama negara pasca Konsili Nicea menggelorakan semangat anti-pagan dan kristenisasi di kalangan biarawan dan pendeta-pendeta kristen. Penulisan sejarah pun mengikuti zeitgeist (jiwa zaman) saat itu, bahkan para pendeta dan uskup ini ikut menulis sejarah. Kini sejarah bukan milik para ilmuwan dan filsuf, tetapi juga agamawan dan tentunya: penguasa.
Prinsip yang mendasarkan segala hal pada “keimanan-ketuhanan” menjadi dasar penulisan sejarah kala itu. Hal ini tentu saja meminggirkan prinsip kepercayaan terhadap unsur alam, pengetahuan, rasionalitas, akal-budi, atau yang bisa kita sebut sebagai pagan. Unsur propaganda (penyangkalan) terhadap paganisme menjadi perhatian utama dibandingkan analisis kritik sumber. Hal ini menimbulkan sebuah pertarungan antara tulisan-tulisan yang bersifat sekuler dan religius, dan akhirnya kekhasan abad pertengahan pun muncul: hampir semua tulisan bersifat pengagungan terhadap sejarah Yahudi dan meminggirkan sejarah Yunani-Romawi klasik.
Berangkat dari hal diatas, maka ketika itu sejarah dianggap merupakan proses kosmis dimana Tuhan dan manusia merupakan partisipan utama. Peristiwa yang terjadi di dunia tidak hanya merupakan perbuatan manusia, tetapi juga merupakan rencana-rencana Tuhan. Oleh karena itu karya historiografi saat itu tidak lebih dari sebuah epos ketuhanan, yang dipahami sebagai pertarungan antara “malaikat” melawan “iblis”, alias “baik” dan “jahat”. Hal ini sebagaimana ditulis Agustinus dalam City of God yang menggambarkan antara Civitas Dei (negara Tuhan) dan Civitas Dobuli (negara setan).
Gereja pun juga turut berperan dalam perkembangan historiografi saat itu. Kontribusi nyata adalah gereja menulis mengenai sejarahnya sendiri, dan menggunakannya sebagai media dalam kristenisasi serta melawan paganisme. Sejarawan abad pertengahan membawa prinsip “demi kemuliaan Tuhan” dalam menulis sejarah, sehingga karya-karya mereka tampak unsur-unsur ambisi pribadi, patronase, dan loyalitas kelompok. Banyak sejarawan kala itu merupakan biarawan, pejabat gereja, atau bahkan uskup sekalipun. Begitu jelasnya unsur kepentingan (terutama kepentingan gereja dan penguasa) inilah yang menjadi kelemahan penulisan sejarah era abad pertengahan ini.
Humanisme: Pencerahan Kembali Historiografi
Kesadaran akan “sejarah sebagai ilmu” makin lama tumbuh, dan sejarawan pun (dengan didorong arus renaissans) berusaha membawa sejarah kembali pada posisi yang lebih ilmiah. Usaha yang dimulai pada abad ke-12 inilah yang menjadi benih-benih dari historiografi modern. Sejarawan saat itu tidak didominasi oleh teolog ataupun gerejawan, tetapi masyarakat awam, sehingga posisi netralitas benar-benar terjaga. Ketertarikan kembali para sejarawan terhadap kebudayaan klasik dan peniruan-peniruan mereka pada model historiografi klasik membuat babak baru bagi historiografi. Dengan membawa sikap yang berdasarkan rasionalitas inilah, beberapa sejarawan mengangkat kembali nilai-nilai kemanusiaan dalam penulisan sejarah. Para sejarawan abad pertengahan akhir inilah yang akhirnya memasukkan kembali unsur penting dalam penulisan sejarah: Humanisme.
Humanisme pada dasarnya adalah nilai-nilai kemanusiaan. Pada bidang kesusastraan, terutama penulisan sejarah adalah apresiasi positif terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dimana posisi ‘manusia’ dalam sebuah peristiwa lebih berperan dibanding Tuhan. Dalam penulisan sejarah humanis, para sejarawan mengurangi sifat-sifat mistis, menghindari keajaiban-keajaiban, dan memperkecil pengaruh Tuhan pada setiap peristiwa. Dalam konteks ketuhanan, mereka bukanlah ‘anti-kristen’ atau skeptis terhadap agama Kristen, tetapi mereka lebih bersikap mengabaikan daripada menolak nilai-nilai teologis. Tetapi pada sisi yang lain, humanisme ini mendorong para sejarawan cenderung melakukan sekularisasi di bidang sejarah dan memunculkan kecenderungan baru, yaitu: kebanggaan penduduk di Italia pada kehidupan kota.
Leonardo Bruni menjadi sejarawan panutan dalam historiografi humanis saat itu, karyanya yang berjudul The Twelve Books of Florentine History membawa unsur-unsur humanis dalam penulisan sejarah. Bruni menulis Florentine History dengan gaya retorik khas Romawi-Yunani klasik, dimana ia mengaku terinspirasi oleh kultur klasik dalam penulisannya. Ia juga menghapus hal-hal yang bersifat supranatural dan legenda-legenda pagan ataupun Kristen. Dalam hal ini ia mirip dengan Polybius, yang menganggap bahwa akurasi data dan kritik sumber merupakan hal yang penting dalam sebuah penulisan sejarah, tetapi menyajikan sejarah dengan gaya tulisan retoris.
Penulisan sejarah oleh Machiavelli dan Guicciardini adalah contoh yang menunjukkan masa transisi dari abad pertengahan ke masa renaissans. Mereka adalah sejarawan yang anti terhadap retorika, sangat menghargai kebenaran, dan cenderung menggurui. Dalam karya mereka, sejarah benar-benar bersifat sekuler dan terbatas pada analisa-analisa politik. Upaya-upaya sekulerisasi sejarah dan adanya unsur-unsur humanis inilah yang memicu abad pencerahan (renaissans) di bidang historiografi.
Efek humanis ini juga merembet ke gereja, dimana perpecahan-perpecahan mulai terjadi di kalangan gerejawan. Kristen terpecah-pecah pada beberapa kelompok, dan antar kelompok tadi saling bersaing dan saling melawan. Saat Machiavelli mulai menulis History of Florence, pada saat yang sama Martin Luther membakar surat kepausan di Wittenberg. Reformasi gereja ini membawa penulisan sejarah gereja bersifat kontradikitif. Antara golongan reformis dan kontra-reformis saling bertarung dan keduanya menggunakan sejarah sebagai alat untuk men-delegetimasi lawan mereka. Kaum Protestan berusaha untuk menemukan bukti-bukti bahwa upacara dan dogma Katolik bersifat semi-pagan, dan lembaga kepausan merupakan lembaga anti-kristus. Hal yang sama juga dilakukan oleh Katolik dengan berusaha untuk membuktikan kesombongan-kesombongan Protestan dan kebid’ahan mereka.
Reformasi gereja membawa motivasi yang berbeda dalam penulisan sejarah, bukan terletak pada “pengetahuan untuk mengetahui proses evolutif sebuah zaman”, tetapi berubah menjadi “pembenaran untuk menyerang lawan”. Robert Barnes dalam karyanya yang berjudul The Life of The Popes of Rome menggambarkan bahwa kepausan bertanggungjawab terhadap kemelaratan yang terjadi pada masa abad pertengahan dan memuji pemikiran-pemikiran kaum sekuler yang merupakan lawan dari kepausan.
Humanisme membawa efek negatif bagi historiografi gereja, dimana saling serang dengan menggunakan media penulisan sejarah menjadi hal biasa pada masa itu. Masing-masing kelompok berlomba-lomba untuk menjatuhkan lawan-lawannya dengan menunjukkan sejarah kelam mereka. Sejarah yang penuh dengan kontroversi ini pastinya tidak membawa dampak menenangkan, justru semakin memperkeruh suasana. Penulisan yang mampu memunculkan pertikaian fisik ini makin lama makin dijauhi dan unsur humanis mulai ditinggalkan. Kebangkitan keilmuan sejarah pun dimulai, setelah benih-benih kebangkitan melalui historiografi humanis, benih itu terus berkembang menjadi historiografi rasionalis yang sangat mementingkan akal sehat.
Ekspansi bangsa Eropa dalam mencari dunia baru (The New World) membawa era baru dalam penulisan sejarah. Minat sejarawan semakin meluas dan berkembang, dan penulisan a la Herodotus mulai banyak disukai oleh para sejarawan. Historiografi masa itu berkembang pada gaya penulisan yang bersifat deskriptif daripada narasi kronologis. Cerita mengenai kejelekan-kejelekan antar gereja berganti mengenai kisah-kisah kebudayaan dan adat-istiadat. Saat-saat inilah studi etnografi dan geografi memegang peranan penting dalam sebuah historiografi.
Ekspansi Eropa ini mampu membawa pengaruh dalam setiap perkembangan ilmu, terutama pada dogma-dogma gereja yang makin lama makin disangsikan kebenarannya serta penemuan-penemuan baru guna mengeksplorasi alam semesta lebih jauh. Sikap-sikap rasionalisme dan munculnya filsafat-filsafat baru (terutama di bidang sosial dan ilmu pengetahuan) membuat sejarah juga mengikuti arus zeitgeist (jiwa zaman). Keajaiban dan segala hal yang bersifat mistis (supranatural) semakin menghilang dan tergantikan oleh rasionalitas manusia.
Rasionalisme (Aufklarung), hal inilah yang menjadi awal bagi sejarah modern yang ada saat ini. Segala pengetahuan (termasuk sejarah) yang didasarkan pada akal sehat manusia dengan mengesampingkan peran-peran supranatural (mistis dan ketuhanan) menjadi unsur penting dalam setiap tulisan sejarawan saat itu. Voltaire, Monteqieu, Rosseau, Raynal, dan Heeren menularkan prinsip rasionalitas kepada dunia. Sejarah kini tidak hanya terbatas pada persoalan intrik gereja, tetapi meluas pada sejarah sosial, kultural, ekonomi, dll.
Sejarawan rasionalis menerima pendekatan kultural dan memperkenalkan prinsip-prinsip sosiologi dalam historiografi. Mereka juga menghindari unsur-unsur khayal, mistis, supranatural, dan prinsip teologi (keagamaan), lalu menggantinya dengan unsur-unsur natural (alami). Sejarawan rasionalis tidak mengesampingkan peran Tuhan, hanya meminimalisir peran Tuhan dalam sebuah historiografi, dimana Tuhan berperan melalui hukum alam yang telah dibuatnya. Dalam hal umum, kaum rasionalis ini berusaha untuk menyepakati dua hal yang bertentangan pada masa sebelumnya (historiografi gerejasentris dan historiografi humanis) dengan mencari jalan tengah pada dua perspektif historiografi tersebut. Dari rasionalisme inilah yang kelak menjadi awalan bagi historiografi modern yang kita gunakan pada saat ini.
Dari Klasik Kembali ke Klasik
Pengaruh zeitgeist (jiwa zaman) dalam perkembangan historiografi sangat besar sekali. Hampir setiap penulisan sejarah dari masa ke masa selalu dipengaruhi jiwa zaman yang ada serta kondisi sosial-masyarakat yang ada. Dunia begitu terpengaruh oleh dua tipe penulisan sejarah ketika Herodotus dan Tuchydides menawarkan prosanisasi penulisan sejarah. Dunia juga ikut terseret dalam arus peperangan fisik dan intelektual antara Kristen dan Pagan, bahkan historiografi gerejasentris berperan penting dalam perkembangan sejarah kedepannya, dimana perlawanan terhadap historiografi tersebut menjadi benih historiografi modern yang dipakai saat ini. Tumbuh berkembangnya perspektif humanis, penghargaan kembali terhadap karya-karya masa lampau (baik era klasik dan pertengahan), dan penggunaan akal sehat (rasionalisme) memicu tumbuh berkembangnya liberalisme dan nasionalisme. Kini, di era modern sejarah bukan sekedar humanistik dan rasionalitas saja, tetapi juga menaruh perhatian yang cukup tinggi pada oral history (sejarah lisan) dan sejarah kultural (dimana memberi porsi yang cukup besar pada nilai-nilai mistis dan supranatural).
Dari klasik kembali ke klasik, mungkin inilah pola yang terjadi pada penulisan sejarah saat ini. Apabila dipandang pada perspektif mistis-rasional, maka sejarah modern kini kembali ke era klasik dimana unsur-unsur yang berbau mistis dan simbolik berusaha untuk dimaknai kembali dan diberi porsi yang lebih. Oral history juga dikembangkan dengan lebih luas guna mengetahui pola-pola perkembangan zaman umat manusia.
Homerus memulai dengan syair kepahlawanan yang begitu retorik dan penuh dengan kemistisan serta hal-hal yang bersifat supranatural. Herodotus dan Tuchydides berusaha menghilangkan hal-hal yang berbau supranatural tadi dengan mengedepankan kritik sumber dan akurasi data. Gereja lalu membawa kembali unsur-unsur mistis (terutama pada prinsip teologis dan ketuhanan) dengan mengedepankan peran Tuhan dalam sejarah umat manusia. Hal ini di-counter kembali oleh kaum humanis di masa akhir abad pertengahan yang berusaha untuk mengurangi hal-hal mistik dengan mengedepankan peran manusia dibanding Tuhan. Kaum Reformis dengan memanfaatkan ide-ide sekuler dari kaum humanis memanfaatkan sejarah kembali ke jalur mistisasi, awal masa Renaissans dunia historiografi menampilkan kembali pertarungan antara “angel” dan “demon” serta perang internal antara Katolik dengan Protestan. Kejengahan terhadap hal-hal yang bersifat mistis kembali ditampilkan dalam karya-karya yang bersifat rasional di awal abad ke-19. Rasionalisme yang merupakan hasil kompromi antara prinsip klasik dengan prinsip gereja ini menjadi faktor penting dalam perkembangan historiografi modern. Setelah puas dengan ide-ide “akal sehat” serta pengembangan dalam hal liberalisme, nasionalisme, serta sekulerisme, dunia kembali menyentuh hal-hal mistis dengan memberi perhatian pada oral history. Rasanya seperti kembali ke zaman klasik, dimana kritik sumber dan akurasi data menjadi penting, penulisan sejarah yang lebih bersifat prosa dan bergaya retoris, dan juga membawa hal-hal mistis yang ditulis lebih rasional.
Daftar Pustaka
Wikipedia Indonesia – Historiografi.
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 05:50 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Historiografi
Blog Roda Zaman – Penulisan Sejarah.
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:24 WIB.
http://rodazaman.blogspot.com/2009/05/penulisan-sejarah.html
Blog Roda Zaman – Perspektif Global dalam Penulisan Sejarah.
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:36 WIB.
http://rodazaman.blogspot.com/2009/05/perspektif-global-dalam-penulisan.html
Blog Roda Zaman – Strukturisme Historis Pendekatan Sejarah.
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:37 WIB.
http://rodazaman.blogspot.com/2009/05/strukturisme-historis-pendekatan.html
Wikipedia Indonesia – Abad Renaisans
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:53 WIB.
http://id.wikipedia.org/wiki/Abad_Renaisans
Forum Aku Percaya – Sejarah Kristen.
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:46 WIB.
http://www.akupercaya.com/forums/ilmu-pengetahuan-adat-istiadat-dan-ajaran-
kristen/5719-sejarah-kristen.html
Wikipedia – Renaissance
Waktu Akses: 14 Juni 2009, jam 06:52 WIB.
http://en.wikipedia.org/wiki/Renaissance
Haryono, Anton. Bahan Kuliah Historiografi Umum (Barat).
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. 2005. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Budiyanto, Hari. Makalah: Perkembangan Teori Sejarah. 2009. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Armstrong, Karen. Muhammad: Sebuah Biografi Kritis. 2001. Surabaya: Risalah Gusti.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI