Sebuah kata kotor yang sangat tabu untuk diucapkan ditengah-tengah masyarakat Jawa. Kata berawalan huruf "J" (apabila di Jawa Tengah "D"), terdiri dari 6 huruf, dan berakhiran "K". Kata ini seharusnya disensor dalam pembuatan artikel ini (untuk kesopanan), tetapi saya menginginkan sebuah hasil yang apa adanya sehingga saya tidak menerapkan sensor disini, lagipula saya sebagai orang Jawa Timur juga terbiasa mengucapkan kalimat ini. Kata ini adalah "Jancok" (atau "Dancuk" di Jawa Tengah).
Rahmad, seorang kawan SMA saya yang dahulu merupakan murid pindahan dari Medan, mengaku bahwa kata ini diajarkan oleh kawan-kawannya (termasuk saya). Ketika itu ia tidak mengetahui apa makna dari kata "jancok" tersebut, hingga akhirnya ia dikerjai oleh kawan-kawan di kelas yang memberitahu bahwa kata "jancok" itu berarti "permisi". Maka selanjutnya yang terjadi adalah dia dipanggil ke ruang kepala sekolah dan kami tertawa terbahak-bahak. Kisah Rahmad ini mengingatkan saya akan kejadian ketika saya masih kelas X SMA dulu.
Dari kisah tadi obrolan mengenai "jancok" pun berlanjut. Sebagian besar pengguna kata "jancok" pada dasarnya tidak mengetahui apa makna kata tersebut. Kata "jancok" hanya sekedar menjadi luapan ekspresi dan logat arek Malang, tetapi ada pula yang sok tahu dengan mengartikannya sebagai "shit", "bedebah", atau "fuck you". Seperti yang dikatakan Ana (kawan SMA saya) yang menyatakan bahwa merespon kata "jancok" haruslah melihat ekspresi dari pengucapnya. Apabila kata "jancok" itu terucap dikala ia sedang marah, maka dapat dipastikan ia sedang kalap dan benar-benar marah. Lain hal apabila pengucapan "jancok" itu disertai canda dan tawa, bisa dipastikan kata ini adalah sebuah kata pengakraban dan persahabatan.
Beberapa kawan yang mengobrol dengan saya saat itu menyepakati kata Ana tadi, "jancok" lebih merupakan ekspresi pengucapan yang tidak memiliki makna. Penggunaan kata ini pun juga lebih menyimbolkan persahabatan daripada permusuhan. Hal ini dicontohkan Azmi (kawan SMP saya), dia selalu menyebut kata kotor tersebut dalam beberapa kosakata. Seperti malam itu dimana dia baru datang dan bertanya kepada saya "ya'opo cok kabarmu??, wis nduwe ojob ta? Jancok koen ga kondo-kondo", atau mungkin dalam kesempatan lain dia berucap "wis mangan ta cok??". Ekspresi kekesalan dengan menggunakan kata kotor tersebut malam itu juga diserukan oleh Budi (kawan SMP yang kini satu kampus dengan saya) yang mengeluhkan panasnya hot-plate ketika menyentuh tangannya dengan mengucapkan "juaaancuoooook!!!", sungguh mantap sekali pengucapannya.
Sebenarnya, beberapa kawan saya mengakui bahwa kata "jancok" merupakan sebuah kata-kata yang tabu untuk diucapkan. Kata ini memiliki tingkat ketidaksopanan yang sangat tinggi. Satu hal yang pasti, menurut mereka kata ini dilarang diucapkan dihadapan orang yang lebih tua. Sehingga ketika ucapan itu terlontar, saya teringat masa kecil ketika ibu pernah menampar saya karena pernah mengucapkan kata tersebut di lapangan saat sedang bermain sepakbola. Tidak hanya ditampar, tetapi juga dijewer. Ini adalah bukti bahwa kata ini sebenarnya sangat tabu diucapkan ditengah-tengah masyarakat. Mereka juga mengakui bahwa ada kalanya mereka juga emosi (marah) apabila kata itu diucapkan kepada mereka sendiri, tetapi mereka juga melihat dari ekspresi pengucap dahulu apabila merespon kata "jancok" yang dialamatkan kepada mereka.
Budaya misuh dengan kata "jancok" telah mengakar, dan mungkin juga sudah mendarah-daging dalam kehidupan anak muda di Kota Malang. Seperti yang dituturkan oleh Dedi (kawan SMA saya yang ketua rohis) yang mengatakan bahwa budaya misuh ini sudah menjadi budaya yang biasa di Kota Malang, dari tua sampai muda, laki-laki sampai perempuan, dan orangtua hingga anak-anak sudah terbiasa mengucapkan kata "jancok" dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan apabila anda datang ke kota Malang, jangan heran mendapati kaos-kaos atau poster berukuran besar yang bertuliskan "PSSI Jancok"; atau mungkin ketika anda menonton pertandingan Arema di Stadion Kanjuruhan maupun Gajayana, bisa dipastikan kata "Wasiiiit Jancok" terlontar dari seluruh Aremania yang memadati stadion. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan kata ini sudah menjadi suatu hal yang umum di masyarakat, walaupun masih tabu untuk diucapkan.
Dari segi moral, penggunaan kata ini merupakan hal yang sangat tidak sopan dan menyalahi norma kesopanan. Kata-kata kotor seperti ini juga mampu memicu kerusuhan dan kemarahan. Tetapi kultur dan budaya tampaknya mampu mereduksi efek negatif kata ini, sehingga menjadi sebuah kata yang hanya menjadi luapan ekspresi saja. Sangat berbeda apabila mendapati kata ini di Jawa Tengah dan DIY, dimana kata ini benar-benar masih haram untuk diucapkan. Benturan bahasa ini saya rasakan ketika masih mengawali hidup di Yogyakarta, dan kultur Yogyakarta pula yang mampu mereduksi kebiasaan pengucapan kata-kata kotor ini pada diri saya. Yogyakarta masih menganggap sangat tabu pengucapan kata "jancok" sebagai ekspresi diri dan pisuhan.
Saya ingat dalam sebuah diskusi dengan kawan-kawan Plat N (Komunitas Mahasiswa Malang Raya UGM) mengenai pisuhan di Yogyakarta. Kami menganggap konyol pisuhan khas Yogyakarta seperti "asem", "asu", dan "bajigur"; terutama kata "asem" yang merupakan jenis tumbuhan dan kata "bajigur" yang kami tahu adalah nama sebuah minuman (mungkin sebuah plesetan dari kata "bajingan"). Tapi saya menyadari bahwa misuh bukan merupakan suatu hal yang baik. Oleh karena itu jangan sekali-kali mengucapkan kata-kata kotor di kala marah, karena itu akan mampu memicu perkelahian; tetapi kalau mengucapkannya sambil bercanda dan tertawa, itu terserah anda.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI