Oleh: Paman Doblang
Ada tiga hal yang selalu kubawa dalam ingatan, meski hidup terus berjalan: luka yang tak sembuh, cinta yang tak selesai, dan Vespa yang tetap setia.
Luka itu bukan selalu berdarah. Kadang bentuknya adalah diam panjang di ujung perpisahan. Kadang juga berupa kalimat terakhir yang tak pernah sempat diucapkan. Luka punya cara sendiri untuk tinggal di dada, menumpuk bersama debu kenangan.
Cinta datang seperti angin di sore hari: tak bisa kulihat, tapi bisa kurasa. Ia hadir saat aku dan dia duduk berdua di atas Vespa yang mogok di tengah hujan. Kami basah, tapi tertawa. Di jok kecil itu, cinta terasa cukup. Tapi cinta, seperti Vespa tuaku, tak selamanya mulus. Ada masa-masa macet, mogok, dan harus didorong berdua. Sampai akhirnya, aku sendiri yang menuntunnya---karena dia memilih turun dan berjalan lebih dulu.
Vespa tua itu kini kupakai sendiri. Warnanya sudah pudar, kenangannya belum. Setiap suara knalpotnya seperti membuka pintu-pintu yang selama ini kupaksa tutup. Kadang aku ingin menjualnya, melupakannya. Tapi seperti cinta, Vespa itu terlalu banyak menyimpan cerita.
Aku bukan orang yang pintar melupakan. Aku lebih sering berdamai. Dan mungkin, inilah caraku berdamai: menulis tentang luka, tentang cinta, dan tentang Vespa---tiga hal yang membuatku tetap hidup, meski sering merasa hampa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI