Mohon tunggu...
Cahya Dewi Mariana
Cahya Dewi Mariana Mohon Tunggu... -

belajar menuangkan ide dalam bentuk tulisan, untuk dibaca, dinikmati, dan diambil hikmah positif nya

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Pangeran Arzan

27 November 2015   16:28 Diperbarui: 27 November 2015   18:16 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Suatu sore yang cerah beberapa gadis Desa Bunaya berkumpul di taman tengah kota. Mereka menggelar tikar dan makan minum sambil menikmati matahari tenggelam.

“Teman-teman, ceritakan kalian ingin menikah dengan siapa suatu hari nanti?”

“Tentu saja aku ingin menikah dengan kekasihku, Dodo penjual kuda” sahut Alya.

“Hmmm…kalau aku mengikuti kata orang tua saja yang mau menjodohkan aku dengan Wak Akong, pengusaha batik desa sebelah” jawab Emily riang.

“Aku ingin menikah dengan pemuda paling tampan di desa kita” celetuk Wima si gadis manis berambut pirang.

“Apa??? Sungguh beruntung jika kau bisa memikat hati Bonny, Wima!” seru Emily.


“Bagaimana denganmu, Mecca?”

Mecca tampak bingung menjawab pertanyaan temannya.   

“Tentu saja Mecca bingung karena dia tidak mempunyai pacar” sahut Wima melirik kearah Mecca.

“Hmmmm…..aku ingin…..menikah dengan Pangeran Arzan”

Semua menertawakan Mecca.

“Sudahlah Mecca, tidak usah bermimpi yang tinggi, kita hanya gadis desa dan tidak mungkin bisa menikah dengan Pangeran Arzan”

Malam mulai turun dan satu-persatu dari mereka meninggalkan taman sambil menepuk bahu Mecca agar sadar dan tidak bermimpi terlalu tinggi.

Tinggallah Mecca seorang diri. Ia hanya menyakini apa yang dikatakan hatinya, bahwa ia bisa menikah dengan Pangeran Arzan. Meski sekalipun ia belum pernah bertemu dengan Pangeran Arzan, tapi ia sudah jatuh cinta mendengar kebaikan Pangeran Arzan.  

Minggu demi minggu berlalu dari percakapan sore itu, bulan pun berganti, dan tidak ada yang berubah. Mecca masih teguh pada impiannya bahwa ia bisa menikah dengan Pangeran Arzan, dan teman-temannya masih saja menyarankan dirinya untuk segera sadar.

Suatu malam ketika para gadis Desa Bunaya baru saja meninggalkan taman datanglah seorang pengembara menghampiri Mecca yang sedang duduk diatas tikar. Pengembara bernama Liona, ia sedang kemalaman dan bermaksud mencari penginapan di desa itu. Dan Mecca pun menawarkan rumahnya untuk menginap karena dia juga mempunyai dua kamar kosong. Sang pengembara senang sekali.

“Mengapa semua teman-teman Anda bersikap begitu kepada Anda?” tanya Liona.

Mecca tersenyum. “Mereka berusaha menyadarkan saya agar tidak bermimpi terlalu tinggi”

“Apa yang menjadi mimpi Anda?”

“Suatu hari nanti saya ingin menikah dengan Pangeran Arzan”

“Mengapa Anda mempunyai impian seperti itu? Apa Pangeran Arzan juga jatuh cinta dengan Anda?”

“Saya tidak tahu, kami belum pernah bertemu, saya mengagumi beliau karena kebaikannya yang suka menolong rakyat dan membebaskan rakyat kecil dari biaya pendidikan.”

Pembicaraan mereka semakin akrab. Malam itu Mecca senang sekali karena Liona ternyata teman yang baik, ia tidak meremehkan impian Mecca dan bahkan memberi dukungan agar Mecca bisa meraihnya kelak.

Dan keesokan pagi nya pun Liona pamit untuk meneruskan perjalanan ke negeri seberang.

“Mecca, jangan takut untuk bermimpi, jangan kecilkan kuasa Tuhan untuk mewujudkan impianmu” begitu pesan terakhir Liona sebelum kudanya berjalan.

Mecca pun melanjutkan hidupnya dengan semakin yakin bahwa impiannya kelak akan terwujud. Hari itu saatnya pergi ke kota untuk menjual hasil tenunan nya sebulan terakhir. Dia senang sekali karena hasil tenunannya habis dibeli seorang saudagar. Sambil bersenandung riang ia pun menghitung uang yang diperolehnya hari itu.

“Hai Mecca, lama tidak bertemu, apa kamu sudah menikah dengan Pangeran Arzan?” sapa Emily sambil mencibir. Ia pun berlalu sambil menggandeng tangan suaminya, Wak Akong.

Melihat Emily tampak bahagia bersama Wak Akong, hati Mecca tiba-tiba miris. Hampir dua tahun impiannya untuk menikah dengan Pangeran Arzan, dan selama itu semua gadis Bunaya telah menikah dan memiliki anak. Hanya ia yang masih belum menikah. Dan semua orang mencibirnya.

“Kamu pasti sedang memikirkan kata-kata Emily tadi ya?” celetuk Liona membuat Mecca terkejut.

“Sejak kapan kamu berada disini, Liona?” tanya Mecca mengusap pipinya.

“Cukup untuk mendengar dan melihat apa yang disampaikan temanmu Emily tadi, dan aku sebagai temanmu tidak terima kamu diperlakukan seperti ini! Sekarang ayo ikut aku!” ajak Liona geram sambil menggandeng tangan Mecca.

“Kita mau kemana?”

“Bagaimana kamu meraih impianmu kalau kamu hanya berdiam di Bunaya dan hanya sesekali saja ke kota. Kamu tidak akan menikah dengan Pangeran Arzan kalau kamu tidak melakukan apapun” nasihat Liona sambil menyuruh Mecca naik ke atas kuda.

“Kita mau kemana, Liona?” tanya Mecca lagi masih tidak mengerti.

“Mumpung kamu di kota, aku ajak kamu ke istana Pangeran Arzan”

Sontak Mecca loncat turun dari kuda. “Aku tidak mau!” teriaknya.

“Hei, kenapa tidak mau? Kamu tidak berusaha mengenal Pangeran Arzan lalu bagaimana kamu mau menikah dengannya?”

“Aku pasti akan malu jika harus menyatakan cintaku kepada Pangeran Arzan, dia pasti akan menolakku dan menyadarkan aku bahwa aku ini hanya gadis Bunaya, gadis desa. Sudahlah Liona, mungkin memang benar orang bilang bahwa aku tidak boleh bermimpi terlalu tinggi”

“Kamu belum bertemu Pangeran Arzan, Mecca, darimana kamu tahu kalau dia akan menolakmu. Ayolah!! Istana tinggal beberapa langkah lagi dari sini!” paksa Liona sambil menggandeng tangan Mecca dengan erat. Dengan berat hati Mecca pun menurut.

Istana Negeri Kuncup Teratai memang tampak megah, meski sering melewati setiap pergi ke kota tapi tak sekalipun Mecca pernah masuk di dalamnya. Sesekali ia hanya mengintip melalui celah dinding apa yang ada didalamnya, tapi selalu yang tampak dari celah kecil itu hanyalah kumpulan prajurit yang berlatih perang. Dan kini Liona mengajaknya memasuki istana itu. Mecca heran bagaimana bisa Liona yang sudah dianggap sahabatnya ini melewati beberapa penjaga gerbang dengan mudah, bahkan mereka hanya menunduk penuh hormat kepada Liona.

Liona dan Mecca sampai pada sebuah ruangan yang sangat luas dengan empat pilar besar ditengahnya, beralas karpet merah yang tebal, dengan beberapa orang sedang berkumpul diujung ruangan itu. Duduk ditengah seorang wanita setengah baya sedang menikmati pertunjukan tari. Sejenak semua aktifitas berhenti dan semua mata memandang kepada Liona dan Mecca. Tangan Mecca makin erat digandeng Liona. Mecca menunduk malu dan tetap membuntuti Liona mendekati wanita setengah baya berbaju emas itu.

“Ibunda, saya sudah menemukan gadis pilihan saya saat ini” kata Liona sambil membungkuk penuh hormat.

“Siapa nama wanita yang beruntung itu, Anakku?”

Liona membalikkan badan dan menyuruh Mecca untuk bertimpuh disampingnya. Mecca masih tidak percaya dengan apa yang dihadapannya saat ini. Ia masih tidak mengerti dengan Liona.

“Wanita beruntung itu berasal dari desa Bunaya, Ibunda, bernama Mecca” jawab Liona.

Begitulah akhirnya bahwa ternyata Liona, sahabat Mecca, adalah Pangeran Arzan yang sedang menyamar untuk mencari permaisuri. Pangeran Arzan pun menikah dengan Mecca dan semua rakyat berpesta. Wanita dari Bunaya pun datang dan memberi selamat kepada Mecca. Percayalah, tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan jika Dia berkehendak. Mecca mengajarkan kita agar tidak takut bermimpi besar.

  

       

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun